Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2019

Duh Mel, Amel!

Rasanya Amel memang payah dalam segala hal. Payah sekali. Hidupnya selalu melulu dihinggapi kepayahan, dari jenis spele sampai ke yang luar biasa. Bayangkan saja, selama merantau Amel tak pernah mengirimkan baju kotornya ke jasa tukang cuci. Setiap tiga kali dalam seminggu ia mencuci bajunya sendiri, tentu sembari mendengarkan lagu Poker Face dari Lady Gaga. Tak hanya itu, ia pun selalu mengangkat galon sendiri, tak pernah menyuruh abang-abang tukang galon untuk memasukannya langsung ke dispenser. Ia juga payah dalam hal kebersihan lingkungan. Buktinya, setiap melihat sampah di jalan dirinya akan langsung memungutnya untuk dimasukan ke tong sampah, tidak menunggu tukang kebersihan yang sudah dibayar untuk melakukannya. Bahkan saking gobloknya Amel, tiap ia memesan minum di kantin, dirinya selalu meminta pada pelayan agar minumannya tak usah dikasih sedotan. Padahal kita tahu kalau sedotan itu diciptakan untuk mempermudah orang-orang dalam hal menenggak minuman. Sudah pasti hal-ha

Kenangan-kenangan Keparat

Mengenangmu di pagi hari sembari menghisap kretek serta segelas jeruk hangat, dan sialnya hujan juga ikut-ikutan datang, membuat semua menjadi lebih mudah. Siapa bilang bahwa untuk melupakan seseorang itu selalu sulit? Untuk mereka yang sedang berusaha melupakan seseorang yang dirasa spesial di masa lalu, saya sarankan untuk berhenti mencobanya. Sebab, kelakuan semacam itu justru malah membuat kita akan semakin terus tak bisa melupakannya. Dan sudah menjadi bawaan manusiawi bahwa sebenarnya kita tidak akan pernah bisa–kalau enggan mengatakannya mustahil–untuk melupakan apa yang kita pernah alami. Seorang teman yang mengambil kuliah jurusan Psikologi pernah mengatakan hal ini sewaktu kami KKN bersama, katanya: otak kita terbagi menjadi beberapa bagian; ada tempat untuk menyimpan emosi, seperti rasa cinta, kasih sayang, marah, sedih, bahagia dan semacamnya, dan ada tempat untuk menyimpan kenangan, dari mulai kita orok sampai pada saat malaikat Izrail mengeluarkan nyawa dari tubuh

Perempuanku

            Sore tadi saya mampir ke rumah tetangga dengan seorang teman, kebetulan teman saya ini adalah keponakan tetangga saya, dan rumah teman saya pun tak jauh dengan rumah pamannya. Jalan menuju rumah tetangga saya ini agak sedikit menanjak, karena memang letak rumahnya berada di atas bukit. Saya berjalan beriringan menyusuri jalan aspal perkampungan, kemudian setelah itu menaiki jalan setapak yang menanjak. Jalan setapak menanjak ini cukup licin sebab konturnya sudah bukan tanah lagi, melainkan beton. Menurut Kepala Desa, beton-beton jalan di perkampungan saya merupakan ciri kemajuan   desa, dan tentu keberhasilan kepemimpinanya.             Setelah sekitar lima menit menaiki tanjakan, saya dan teman sudah sampai di tanah landai, halaman rumah mang Oje, tetangga saya itu. Saat saya berada di halaman rumahnya, mang Oje–dengan setelan sarung, peci hitam, dan baju partai, tentu sambil merokok juga–tersenyum dan bergegas menghampiri kami berdua. Ia tetap ramah seperti biasany

Serentetan Keluhan

Tak lama setelah saya berjanji untuk tidak melakukannya, saya kembali melakukannya, dua kali malah. Sebenarnya kalau ditanya ‘kenapa’ sukar untuk saya jawab. Tapi, kalau saya tak berusaha untuk menjawab ‘kenapa’ saya terus melakukannya, itu sama saja saya membunuh diri berkali-kali. Apa benar saya menikmati semua ini? Menikmati semua pemberian setan ini? Entahlah, rasanya saya sudah tak bisa untuk menolak. Jangankan menolak, untuk mengelak pun saya harus bersusah payah.             Lama-lama saya bosan hidup seperti ini, hidup dalam kungkungan setan. Saya bosan kalau harus terus menerus merawat dan membesarkan nafsu saya. Saya baru sadar, sebab memang salah saya sendiri, sekarang nafsu diri saya sudah lebih besar dan lebih cerdas daripada diri saya sendiri. Senjata makan tuan memang. Sekarang saya kalah oleh nafsu saya, saya kalah sudah sejak lama. Saya kalah berkali-kali, saya kalah telak, saya tak bisa melawan, saya ancur lebur. Susah sekali untuk membalikan keadaan, jangankan

Sekelumit Akhiran

Gambar
        Dua minggu di awal januari, tepatnya pada hari sabtu tanggal sembilan belas, dosen itu membalas “kamu jangan memburu-buru saya. Kalau pun saya tolak skripsimu, itu juga butuh waktu. Apalagi untuk di-acc!” Begitulah nasib seorang mahasiswa yang dikejar oleh tetangganya untuk segera merampungkan kuliahnya, bukan orang tuanya. Sebenarnya, menurut pengakuan mahasiswa yang bersangkutan, orang tua si mahasiswa tak pernah memburu-buru dirinya untuk segera lulus meski juga tak pernah menyuruhnya untuk berlama-lama kuliah. Hanya saja, yang jadi polemik orang tuanya–yang kini menjalar ke mahasiswa yang bersangkutan–adalah kenyataan bahwa ibu bapaknya tak tahan setiap hari mendengar tetangga-tetangga di kampung terus mencecar dengan pertanyaan kapan anaknya lulus. Sederhana mungkin kelihatannya, tapi kehidupan di kampung tidak pernah sesederhana kelihatannya.           Setiap kali ditelpon orang tuanya, si mahasiswa yang bersangkutan selalu menjawab pertanyaan “kapan kuliahnya sele