Kenangan-kenangan Keparat


Mengenangmu di pagi hari sembari menghisap kretek serta segelas jeruk hangat, dan sialnya hujan juga ikut-ikutan datang, membuat semua menjadi lebih mudah. Siapa bilang bahwa untuk melupakan seseorang itu selalu sulit?

Untuk mereka yang sedang berusaha melupakan seseorang yang dirasa spesial di masa lalu, saya sarankan untuk berhenti mencobanya. Sebab, kelakuan semacam itu justru malah membuat kita akan semakin terus tak bisa melupakannya. Dan sudah menjadi bawaan manusiawi bahwa sebenarnya kita tidak akan pernah bisa–kalau enggan mengatakannya mustahil–untuk melupakan apa yang kita pernah alami. Seorang teman yang mengambil kuliah jurusan Psikologi pernah mengatakan hal ini sewaktu kami KKN bersama, katanya: otak kita terbagi menjadi beberapa bagian; ada tempat untuk menyimpan emosi, seperti rasa cinta, kasih sayang, marah, sedih, bahagia dan semacamnya, dan ada tempat untuk menyimpan kenangan, dari mulai kita orok sampai pada saat malaikat Izrail mengeluarkan nyawa dari tubuh kita. Dan, dua bagian tersebut menempati tempat bersampingan di dalam otak kita, seperti letak jari telunjuk dan jari tengah. Maka adalah sia-sia semata perbuatan semacam itu, sekuat apapun kita mencoba, sekeras batu pun tekad kita, semuanya akan berakhir dengan kesia-siaan. Membuang usia.

Haram jadah jadinya kalau ada orang yang menyuruh kita untuk melupakan seseorang atas nama kebaikan. Adalah sebuah perlakuan tidak adil bagi diri kita kalau terus memaksakannya. Kita tak akan pernah berada dalam keadaan baik, yang ada malah setiap hari kita terjebak dalam lingkaran setan tanpa ujung. Apalagi jika hal-hal yang akan kita lupakan ini berisi hal-hal sangat indah. Omong kosong belaka. Sebab, pada dasarnya kita tak perlu melupakan hal-hal yang pernah membuat diri ini berbahagia. Dan, mengapa seringkali kita berpikir harus menolak sebelum kemudian mengenyahkan kenangan manis serasa kolak itu?

Pada suatu masa, saya pernah merasa kepayahan demi mencoba melupakan seseorang. Katakanlah orang ini spesial bagi saya. Dalam rentang waktu yang tidak sebentar saya terus mencoba untuk melupakannya, kembali ke titik nol terlebih dahulu sebelum kemudian melanjutkan hidup. Hasilnya luar biasa, selama rentang waktu yang tidak sebentar itu saya malah selalu gelisah karena tak pernah berhasil. Setiap hari, kenangan dengan orang itu malah menjadi-jadi di dalam benak saya, menari-nari dengan luwesnya. Saya pun merasa mungkin usaha yang saya lakukan kurang maksimal, dan kemudian saya terus mencoba, mencoba dengan lebih edan-edanan. Namun tetap saja, kenangan itu malah membatu, tak pernah mencair. Saya terus mencoba, sampai waktu menuntun saya menuju pertemuan dengan teman KKN itu.

Setelah saya mengobrol–lebih tepatnya mendengar, sebab kenyataannya saya lebih banyak mendengarkan–dengannya, semua terasa lebih mudah dan masuk akal, sangat masuk akal. Selain itu, semuanya menjadi lebih sederhana, sesederhana warung makan yang memakai kata “sederhana” sebagai judul tempatnya berjualan. Menurutnya, tak usahlah kita menyiksa diri dengan melakukan percobaan semacam itu. Jika memang kenangan-kenangan tersebut masih sering terbayang di dalam batok kepala maka solusinya hanya satu: biarkan saja. Itu suatu keadaan normal, sebuah fase yang seringkali harus kita lewati. Tak usah terlalu risau jika memang masih belum bisa, biarkan saja mengalir, mengalir, dan mengalir. Percayalah, suatu saat semua kenangan-kenangan indah-keparat itu, jika terus kita biarkan mengalir akan menjadi sebuah kesan sebatas lewat saja, tak lebih.

Bayangkan hal ini: mustahil bagi kita untuk membendung sebuah sungai dengan kedalaman serta arus besar yang tak pernah kering. Jika pun kita berhasil melakukannya, lantas sekuat apa bendungan yang sudah kita bangun? Lama kelamaan akan tetap jebol, dan itu sama saja dengan memperburuk keadaan. Namun, jika kita membiarkan arus itu mengalir, maka keadaannya tak akan seburuk semisal kita membendungnya tadi. Meski memang perjalanan si arus tak pernah mulus, kadang menghantam batu, pohon, jatuh ke jurang, berliku, menghantam, dan menyeret apapun yang dilaluinya, tapi pada akhirnya ia akan sampai juga menuju perhentian terakhir di luasnya samudera.

Dan, bukankah seorang bijak bestari pernah berkata bahwa hati kita harus selalu seluas samudera?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...