Sekelumit Akhiran


        Dua minggu di awal januari, tepatnya pada hari sabtu tanggal sembilan belas, dosen itu membalas “kamu jangan memburu-buru saya. Kalau pun saya tolak skripsimu, itu juga butuh waktu. Apalagi untuk di-acc!” Begitulah nasib seorang mahasiswa yang dikejar oleh tetangganya untuk segera merampungkan kuliahnya, bukan orang tuanya. Sebenarnya, menurut pengakuan mahasiswa yang bersangkutan, orang tua si mahasiswa tak pernah memburu-buru dirinya untuk segera lulus meski juga tak pernah menyuruhnya untuk berlama-lama kuliah. Hanya saja, yang jadi polemik orang tuanya–yang kini menjalar ke mahasiswa yang bersangkutan–adalah kenyataan bahwa ibu bapaknya tak tahan setiap hari mendengar tetangga-tetangga di kampung terus mencecar dengan pertanyaan kapan anaknya lulus. Sederhana mungkin kelihatannya, tapi kehidupan di kampung tidak pernah sesederhana kelihatannya.

          Setiap kali ditelpon orang tuanya, si mahasiswa yang bersangkutan selalu menjawab pertanyaan “kapan kuliahnya selesai” dengan tenang. Ia kerap kali menceritakan mengapa dirinya masih saja belum mengerjakan skripsi meski sudah semester sepuluh, dan motivasi utama ia masih belum mengerjakan skripsi adalah karena sibuk berorganisasi. Tidak dapat dipungkiri memang, tak lengkap rasanya menjadi mahasiswa kalau tidak pernah berorganisasi, gabung komunitas, mengurus sebuah acara, menjadi panitia gratisan, atau sekedar berkumpul dengan perkumpulan-perkumpulan yang bergerak di ranah hobi. Mahasiswa tanpa kegiatan ekstra adalah seperti kepala yang tidak memiliki otak kanan. Namun, menjelaskan mengapa seorang mahasiswa penting untuk berorganisasi pada tetangga-tetangga di kampung lebih pelik daripada menjelaskan bahwa tidak semua anggota PKI itu bersalah serta wajib dikutuk. Setelah setahun bermain petak umpet dengan orang tuanya, dengan kesadaran bahwa si mahasiswa yang bersangkutan memiliki tanggung jawab moral pada ibu bapaknya untuk menyelesaikan kuliah, maka di dua minggu awal januari itu ia merampungkan skripsinya.

            Ia sedang berada dalam puncak semangatnya sembari menikmati momentum kemenangan melawan kemalasan saat mengirim pesan itu ke dosen pembimbingnya. Dan harusnya si mahasiswa yang bersangkutan mendengarkan pepatah orang bijak bahwa jangan terlalu larut dalam kemenangan, sebab itu hanya merupakan hiburan sesaat sebelum kekalahan. Sebagai mahasiswa biasa yang masih mengandalkan subsidi orang tua untuk segala macam keperluan pergerakan memperjuangkan ideologinya, tentu saat mendapat balasan semacam itu dari dosen pembimbingnya, hatinya menjadi kerut. Ada-ada saja memang kelakuan dosen pembimbing di bumi akademik ini, selalu merasa benar untuk menegakan semua proses akademik yang ada. Sementara, yang tidak diketahui oleh si dosen pembimbing itu kenyataan bahwa mahasiswa bimbingannya sedang dikejar tuntutan tanggung jawab moral pada orang tuanya, terutama pada para tetangga tercinta.

            Dosen pembimbing tak pernah tahu bagaimana rasanya setiap hari ditelpon orang tua dan dicecar pertanyaan kapan lulus. Meski memang, seharusnya si mahasiswa yang bersangkutan sudah menyelesaikan studinya setahun yang lalu jika dirinya emoh menjawabi pertanyaan semacam itu. Namun, apa daya, dirinya terjebak dalam sebuah iklim yang membuatnya merasa berguna untuk sesama. Dosen pembimbing juga mungkin tak pernah tahu rasanya saat mendengar ibunya menceritakan pembicaraannya dengan para tetangga di telpon pada anaknya dengan nada sedih. Si mahasiswa yang bersangkutan juga mafhum kalau ini semua memang kesalahannya. Sebab, ia terlalu memedulikan bahwa dirinya harus menambah pengalaman di luar kuliah, banyak berjejaring, berteman dengan orang baru, membangun relasi yang mungkin bisa bermanfaat di masa depan, dan siapa tahu dengan bergerak seperti itu ia menemukan perempuan idamannya. Ia terlalu peduli untuk membantu masyarakat pinggiran, mengedukasinya, memberinya harapan. Ia juga terlalu peduli untuk mengurusi masalah-masalah sosial masyarakat yang harusnya bisa dengan mudah diselesaikan oleh pemerintah. Si mahasiswa yang bersangkutan terlalu peduli dengan semua hal tidak penting itu, sampai lupa bahwa dirinya punya tanggung jawab moral pada orang tua–terutama para tetangga–untuk segera lulus kuliah.

            Sekarang si mahasiswa yang bersangkutan mengalah, mengikuti alur yang sudah ditetapkan oleh dosen pembimbingnya untuk selalu bersabar dan bertawakal dalam rangka menghormati proses akademik. Meski si dosen pembimbing bisa dengan seenaknya merubah jadwal konsultasi, susah dihubungi kalau sedang butuh-butuhnya, dan bahkan menghilang beberapa hari sampai-sampai si mahasiswa yang bersangkutan harus terus mengirimnya pesan menurut waktu shalat. Ada kalanya juga si mahasiswa yang bersangkutan datang ke kampus untuk sekadar duduk-duduk mengobrol ngalor ngidul dengan teman-teman senasib sepenangggungan, sementara dosen pembimbingnya lewat melewati mereka dengan langkah tak memedulikan anak bimbingannya. Terpacu keinginan kuat, si mahasiswa yang bersangkutan berlari mengejar junjungannya sebelum kemudian menyapanya dan diteruskan dengan pertanyaan apakah dirinya bisa mengobrol untuk berkonsultasi dengannya. Beginilah apa yang dikatakan dosen pembimbingnya dengan ketus “kamu kalau mau ketemu saya harus buat janji dulu!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...