Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2024

Antara Jazz, Parfum, dan Insiden

  Setiap membaca kembali novel Jazz, Parfum, dan Insiden karya Seno Gumira Ajidarma. Aku seperti benar-benar menjadi “Aku” dalam cerita. Entah karena ceritanya teramat memikat atau karena ceritanya seperti menceritakan kisah hidupku, aku tak tahu kenapa. Yang jelas perasaan itu selalu ada, terlebih nyata. Aku yang membaca, Aku yang merenung, Aku yang hidupnya awut-awutan. Kerap aku merasa buku ini bukanlah novel. Melainkan semacam buku kiat-kiat bagaimana caranya sukses menjalani hidup. Soalnya setiap kali membaca, sesering itu pula aku merasa bisa dan mampu memperbaiki diri. Menambal yang bolong-bolong, menjahit yang sobek-sobek, dan mengompres yang demam-demam. Hidup, kehidupan, apalah artinya? Jazz Hidup sering tak terduga. Kejadian-kejadian bermunculan, peristiwa-peristiwa berkelebatan. Kadang cepat, kadang pelan, kadang keras, kadang sunyi, kadang …. Kadang aku perlu begini dalam hidup. Kadang aku kudu mengubah rencana. Kadang aku kudu pandai membaca perasaan tukang batagor.

Ruang Tunggu

Malam itu hujan. Tak besar tapi cukup intens. Aku sudah sampai di stasiun dua jam sebelum kamu muncul di parkiran dengan setengah basah kuyup karena jas hujan yang tak kompeten. Aku duduk di bangku, di depan warung yang sudah tutup. Maklum. Meski waktu baru jam sembilan, tapi hujan yang kepala batu membuatnya terasa seperti setengah tiga pagi. Aku duduk dan merokok. Sendiri. Mengamati Kang Parkir dan Kang Wedang Ronde mengobrol. Tak terlalu jelas aku mendengarnya. Hanya kadang-kadang mereka begitu bersemangat dan tertawa-tawa berdua. Aku menebak mereka sedang membicarakan pengalaman mancing masing-masing. Kupikir, apalagi yang bisa bikin dua orang dewasa bersemangat dan tertawa seperti itu kalau bukan soal memancing. Apa hidup sebenarnya seperti memancing? Hanya orang-orang tekun dan sabar yang dapat bertahan untuk memancing. Orang tanpa dua hal tadi tak mungkin mampu. Orang yang mentalnya tak jempolan dan grasak-grusuk tak mungkin bertahan. Maka hanya merekalah orang-orang tekun y

Sang Juru Selamat

  Alangkah konyolnya kehidupan. Orang mengaku beriman tapi tak iman pada akal sehat. Padahal syarat utama beriman adalah berakal sehat. Tanpa akal sehat, mengapa juga malaikat kudu repot mencatat apa yang dilakukannya? Dilirik saja tidak apalagi dicatat. Banyak orang mengaku beriman. Salat selalu tepat waktu. Di masjid tak pernah kelewat. Tapi sering kali kelakuannya kelewat batas seperti orang yang tak beriman. Barangkali mereka memang tidak beriman, sebenarnya. Hanya pura-pura. Biar terlihat mentereng di hadapan mertua. Agar tampak saleh di mata anak-anaknya. Supaya seperti orang-orang yang sudah mendapat jaminan surga tindak-tanduknya. Orang-orang yang mengaku beriman itu mengkhianati akal sehatnya. Atau mungkin, sebetulnya akalnya memang tak pernah sehat dan sakit-sakitan. Makanya mereka berani main belakang. Soalnya, mana ada orang akalnya sehat tapi kelakuannya mahiwal. Seperti cerita yang datang dari sebuah tanah. Tanah yang jauh dari pantai tapi yang dekat dari gunung. Tepatn