Postingan

Perjalanan Menuju Kemarin

  Aku tak akan ke mana-mana. Tenang saja. Aku akan ada di sini, menemanimu, selalu. Kamu tak perlu cemas tak usah khawatir. Simpan saja tenagamu untuk belajar biar lolos tes CPNS. Bukankah itu salah satu mimpi besar dalam hidupmu? Perjuangkan saja itu. Fokus saja ke situ. Soal aku di sini, belakangan saja. Tak harus dipikir dari sekarang. Aku pun sadar, sadar sekali. Kamu masih perlu waktu. Yang kamu perlukan hanyalah waktu. Bisa jadi lama atau sebentar tapi yang kamu perlukan hanyalah waktu. Hadapi ketakutan itu, hadapi kemarahanmu. Jangan biarkan masa lalu menginjak-injak masa depanmu yang cerah. Terus maju meski sakit. Tetap berjalan walau kaki terasa perih walau langkah terasa berat. Aku yakin kamu pasti bisa. Kamu akan selalu bisa. Cinta yang sebenarnya memang selalu datang terlambat. Ia datang setelah kita terluka dan dipenuhi banyak luka. Ia datang setelah hati kita patah, setelah harapan-harapan kita sekarat, setelah mimpi-mimpi kita meranggas mengenaskan. Ia memang sengaja

Dunia Tanpa Tambeng Kecobung

Seminggu tumbang dan di pikiranku hanya ada tambang. Newcastle United semakin di depan, Manchester United masuk koalisi. Belum lagi katanya Liverpool juga menaruh minat dan tertarik. Bukan main. NU dan MU: dipisahkan tahlil, disatukan Bahlil. Soal qunut mereka gelut, tapi soal tambang, siapa yang tak sayang? Aku pikir-pikir, kalau disebut salah ya tak salah. Disebut keliru, kelirunya di mana? Toh tak ada peraturan yang dilanggar. Mau itu ormas, orba, orla, ordal, siapa pun itu, dari zaman jebot juga sudah banyak yang mengelola tambang. Sah-sah saja. Asal tebal kulit wajah. Asal nanti jangan mengeluh jika orang sudah tak mau lagi mendukung NU, misalnya. Sebab legitimasi moralnya sudah tak ada, dan kalau sudah begitu, tak mungkin lagi bisa jadi klub yang disayang suporter. Di awal kukira soal tambang tak akan seserius ini. Namun lama-lama, mencekam juga rasanya. Dalam rangka membela ubaru —soalnya ulama sudah ketinggalan zaman—ketua gerakan pemuda suporternya sampai bilang begini:

Basorexia

  It’s been a while. Since I’m writing in English. The last time I wrote something in another language, was for my thesis. But, well, now, to mark my two hundred works on my blog—actually on my way—I think it’s a perfect time to start again. That is life. You start something. Doing it for many years. Start to feel bored. Forget. You feel empty. Start searching for something to do. Remember. Do what you used to do again. Again, again, and again. It’s like the first time you fall in love with someone. You tried so hard at the beginning but when she was already yours, you started to forget how important a little thing should be. And then you start again, again, again. Learn from your mistakes. I don’t know what’s the best topic to talk about. I don’t know, really, and I don’t care. I just want to write something in English. In another language—perhaps it can take me—to another world. Probably about my future, or my anxiety, or about how bad our nation has been lately, or, for sure,

Hajat Laut Pakidulan

  Ingatanku terlempar jauh. Pada suatu masa saat aku masihlah seorang bocah. Entah berapa tahun usia. Tapi di tahun itu, itulah pengalaman pertamaku ikut menyaksikan serunya tasyakur nelayan di pantai selatan; Hajat Laut Pakidulan. Waktu itu pagi-pagi. Aku bareng kakak perempuanku berangkat ke Pantai Santolo, hendak menonton kakakku yang lelaki mewakili sekolahnya lomba dayung perahu. Sungguh pengalaman mengesankan. Tiba di pantai Santolo yang sudah dipenuhi orang-orang; penonton, pedagang, pengamen, aparat keamanan, dan tentu saja tukang parkir. Pantai pagi cerah, sejuk, walau sesak namun nafas benar-benar ringan rasanya. Aku tak benar-benar ingat seperti apa lomba dayung perahu itu. Ingatanku hanya terbatas pada debur ombak, dan debar semangat para pedayung perahu di kejauhan sana yang berjejer bagai barisan tentara Korea Utara. Rapi sekali. Di tengah laut, mereka semua meneriakkan seruan-seruan semangat, teriakan-teriakan yang membangkitkan gairah perlombaan. Ikat di kepala me

Raumdeuter

  “Katakanlah (Muhammad), ‘Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapa yang akan memberimu air yang mengalir?’” —Al-Mulk: 30 Dunia adalah ruang sempit. Sulit dibantah. Memang selebar daun kelor. Aku tak mungkin mengelak. Dalam ruang sempit inilah mimpi bertarung melawan waktu. Waktu yang terlatih, waktu yang terampil, waktu yang telah teramat teruji di sepanjang usia manusia yang membentang dari zaman Nabi Adam sampai zaman Adam Levine. Waktu yang itu-itu juga. Bagaimanapun aku mencoba melawan, ampun! Ia memang bajingan yang keras kepala. Kini aku sadar. Waktu sungguh tak bisa dikalahkan. Tak mungkin. Satu-satunya cara untuk membuat pergerakannya sedikit melambat hanya dengan menjadikannya sekutu. Setiap usaha dan percobaan untuk mengejar dan mengalahkannya hanya akan membuang usia yang sedikit ini. Waktu, harus sekuat apa agar aku bisa menjadi sekutu? Perjalanan ini masihlah panjang. Tapi usia bertambah kurang, tenaga berlipat menyusut, pikiran seri

Menjelang Dekat, Terlampau Pekat

  Tadi malam lapar datang dan aku pergi keluar. Kudatangi tempat nasi goreng. Sudah lama aku tak makan nasi goreng, sepertinya akan nikmat. Aku masuk dan memesan seporsi. Yang melayani seorang lelaki, remaja. Masih muda betul, pikirku. Tampak dari raut wajah dan suaranya. Aku menduga ia baru lulus SMA. “Mau pedas atau biasa, A?” Biasa saja, kataku. Sebab aku lelaki biasa-biasa saja, maka aku hanya menginginkan hal-hal yang juga biasa. Tak perlu pedas. Cukup. Hidupku sudah terlampau pedas. Si lelaki cekatan. Menyalakan kompor, menyiramkan segelas air dan membersihkan wajan dengan kecepatan luar biasa. Ia besarkan api biar wajan cepat panas dan air menguap, supaya minyak bisa masuk dengan tenang. Minyak dituangkan, disusul bumbu-bumbu, dan telur. Diaduknya dengan kecepatan yang membuat aku berpikir bahwa pastilah ia seorang mahir. Meski masih muda, tapi ia terlihat sangat dipenuhi pengalaman— caranya menyiapkan pesanan benar-benar top. Sepiring nasi goreng siap. Seorang remaja la

Arsenal, Revolusi Mental, dan Periode yang Banal.

  Musim telah berakhir. Tapi musim akan selalu kembali. Mungkin nanti. Mungkin musim depan. Hari ini kita kalah. Dan sanggupkah kita untuk terus bertarung pada setiap musim? Beranikah kita untuk tetap berdiri, berlari, dan terus melawan mereka yang mendominasi? Bertarung melawan si jenius Pep Guardiola bukan perkara mudah. Dari kepalanya yang botak, entah kenapa, selalu saja ada ide-ide bajingan yang bikin pemerhati taktik geleng-geleng kepala. Melawan dirinya yang cemerlang, menyaingi kepiawaiannya meracik taktik dan pengalamannya yang seabreg, benar-benar bukan hal enteng. Mikel Arteta pun, murid yang belajar dan berguru kepada dirinya selama bertahun-tahun, sampai saat ini masih belum mampu mengungguli gurunya itu. Melawan Pep Guardiola sudah sesulit itu. Apalagi melawan orang-orang yang bertarung di belakang layar, yang tak kelihatan tapi nyata terasa manfaatnya bagi klub. Mereka para pemilik, para penanggung jawab keuangan, dan para pengacara yang dengan bacot saktinya mampu