Perempuanku


            Sore tadi saya mampir ke rumah tetangga dengan seorang teman, kebetulan teman saya ini adalah keponakan tetangga saya, dan rumah teman saya pun tak jauh dengan rumah pamannya. Jalan menuju rumah tetangga saya ini agak sedikit menanjak, karena memang letak rumahnya berada di atas bukit. Saya berjalan beriringan menyusuri jalan aspal perkampungan, kemudian setelah itu menaiki jalan setapak yang menanjak. Jalan setapak menanjak ini cukup licin sebab konturnya sudah bukan tanah lagi, melainkan beton. Menurut Kepala Desa, beton-beton jalan di perkampungan saya merupakan ciri kemajuan  desa, dan tentu keberhasilan kepemimpinanya.

            Setelah sekitar lima menit menaiki tanjakan, saya dan teman sudah sampai di tanah landai, halaman rumah mang Oje, tetangga saya itu. Saat saya berada di halaman rumahnya, mang Oje–dengan setelan sarung, peci hitam, dan baju partai, tentu sambil merokok juga–tersenyum dan bergegas menghampiri kami berdua. Ia tetap ramah seperti biasanya, menanyakan kabar saya, dan hal ikhwal tentang Jogja tempat saya ngumbara.

            Mang Oje sebenarnya bukan tokoh yang terbilang luar biasa di kampung, tapi semua orang 
sepertinya menyayanginya. Mang Oje adalah seorang petani dengan beberapa kebun yang dimilikinya sendiri, termasuk orang yang cukup berada meski penampilannya biasa-biasa saja, dan yang membuat semua orang sepertinya sayang kepadanya adalah fakta bahwa mang Oje adalah Guru Ngaji merangkap tukang adzan di masjid. Sebenarnya mang Oje bukan ustad, hatinya terpanggil untuk mengajar ngaji anak-anak setelah peristiwa meninggalnya Kyai Haji Oyong di kampung. Sejak saat itu ia konsisten mengabdikan waktu malamnya untuk mengajari anak-anak mengaji. Mang Oje juga aktif dalam urusan adzan di masjid, hampir di setiap lima waktu shalat ialah yang mengumandangkan adzan. Itulah mang Oje yang saya kenal dulu, sekarang ada yang berbeda darinya, meski sedikit.

            Adalah fakta bahwa sekarang di depan rumahnya, mang Oje memelihara seekor anjing yang membuat perbedaan. Suatu paradoks dengan citranya sebagai guru ngaji dan muadzin di kampung yang seharusnya menganggap anjing merupakan binatang najis. Namun, mang Oje sepertinya tak memedulikan hal tersebut. Ia mengungkapkan kalau anjing itu pemberian dari temannya, dan ia enggan untuk menolak pemberian tersebut sebab mang Oje tak ingin melukai perasaan temannya itu. Mang Oje pun akhirnya merawat anjing pemberian temannya itu sampai besar, saya sekarang sedang menatap anjing yang sedari tadi juga menatap saya.

            Anjing yang dirawat mang Oje bukanlah anjing kampung, melainkan anjing ras luar, siberian husky. Dengan wajah eksotisnya yang mirip serigala, serta bulu-bulunya yang lembut dan indah, anjing di depan saya ini begitu cantik. Berbeda dengan kebanyakan warna siberian husky yang terang, bulu anjing di depan saya ini hitam mulus dan hanya sedikit warna putih di bagian wajah mengikuti lingkaran matanya yang sipit. Saya begitu terpesona dengannya, saya pun tergoda untuk mendekatinya dan mengelus-ngelus kepalanya. Anjing ini balik mendekati saya dan mengelus-ngeluskan kepalanya ke tangan dan ke tubuh saya, sebelum akhirnya kemudian berlanjut menjilati wajah saya.

            Saya risih sebenarnya kalau harus dijilati oleh anjing, tapi yang membuat saya tahan sejauh ini adalah fakta bahwa lama-kelamaan wajah anjing ini berubah menjadi sesosok wajah perempuan sipit yang menciumi bibir dan pipi saya. Sekarang tak cuma wajahnya yang berubah, seluruh tubuhnya berubah menjadi sosok perempuan utuh mirip perempuan Jepang. Demi menghilangkan penasaran saya pun bertanya pada mang Oje apa jenis anjing yang dipeliharanya dan sebelum mang Oje menjawab perempuan itu berbisik lembut “Aku Shiba Inu”. Ternyata perkiraan saya tadi salah, pantas saja anjing yang berubah menjadi sosok perempuan di depan saya ini sangat Jepang sekali.

            Perempuan ini masih menciumi bibir, pipi, dan sesekali memeluk erat saya. Entah apa namanya perasaan yang saya rasakan sekarang, yang jelas saya menerima semua perlakuan dari perempuan ini tanpa protes sedikit pun. Bukan saya tak menikmatinya lagi, tapi rasa penasaran saya semakin membuncah untuk menanyakan siapa perempuan ini sebenarnya. Saya pun menggenggam bahunya dengan kedua tangan dan melepas pelukannya sembari tetap memeganginya.

            “Siapa kamu sebenarnya?” Tanyaku memburu.

            “Aku perempuan yang kamu inginkan!” Tegasnya.

            Saya tersadar, perlahan-lahan perempuan yang sedang saya pegangi ini menitikan air mata sembari menatapi saya dengan ratapan memohon. Ia menangis, gurat wajahnya kecewa sebab saya tak dapat memercayainya. Ia kecewa sebab saya tak dapat memercayai bahwa sebenarnya jauh di lubuk hati paling dalam saya memang menginginkan perempuan anjing sepertinya. Saya pun menangis menyesalinya, saya berusaha mencoba meyakinkannya lagi kalau saya memang mencintainya. Saya membuat puisi cinta dan lantas membacakanya langsung, saya menciuminya lagi, lagi, dan lagi, saya memeluknya, saya menangis, saya memohon, saya mengutuk diri saya sendiri, saya terus-menerus menangis. Semua yang saya lakukan tak berarti, perempuan di depan saya ini perlahan-lahan kembali menjadi sesosok anjing hitam dengan sedikit corak putih di dekat lingkar matanya.

            Saya terbangun dengan keringat mengucuri seluruh tubuh. Saya buru-buru menghadap jendela menatap matahari terbit, “Aku mencintaimu, anjingku.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...