Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2019

Cerita Ganjil

Kesatu. Rumah Sakit itu terletak di pinggir jalan lurus yang membentang membelah perkebunan tebu. Rumah Sakit itu terbilang baru seumuran jagung, dan satu-satunya bangunan yang ada di sepanjang jalan. Rumah Sakit itu dicat putih seperti kebanyakan rumah sakit pada umumnya. Rumah sakit itu adalah bangunan yang pertama kali dibangun oleh pemerintah setempat demi menunjukan hutang moral para politisi bajingan pada masyarakat. Rumah Sakit itu berdiri sendiri, menjadi dinding pembatas antara si orang sakit dan si orang sehat.            “Amit-amit, amit-amit.”            “Kenapa dengan anakku?”            Si suster yang baru enam bulan bekerja ini tak langsung menjawab. Ia bingung bagaimana caranya menjelaskan kondisi bayi yang baru lahir itu sehalus mungkin kepada ibunya yang barusan bertanya. Sebab, bayi ini tidak seperti bayi kebanyakan yang mesti memiliki tekstur kulit wajah yang halus. Sebenarnya seluruh tubuhnya memang seperti bayi kebanyakan yang dibalut kulit halu

Kesintingan Yang Cantik

Aku tahu kau cantik. Bahkan orang sinting di pinggir jalan yang kalau menatapmu mungkin akan sembuh mendadak dan bilang “Kau cantik, nona!” Walau selepas itu ia kembali sinting karena kecantikanmu. Memang itulah harga yang harus dibayar untuk mencintai seorang perempuan sepertimu, kesintingan! Kalau kau tak percaya, akan kuceritakan; Kamerad Kliwon jadi sinting gara-gara Alamanda. Maman Gendeng yang pada dasarnya memang sudah sinting jadi ikut-ikutan sinting gara-gara Dewi Ayu. Sang Shodancho yang merupakan pahlawan dan tokoh gerilyawan terkemuka juga sinting gara-gara Alamanda. Krisan malah lebih sinting lagi, sampai-sampai dia harus menyetubuhi Rengganis di toilet sekolah saat jam istirahat. Gara-gara Rengganis juga anak si tukang gali kubur Kinkin membantai anjing-anjing dengan senapan anginnya. Aih, atau lihatlah bagaimana Dewi Ayu bisa membikin laki-laki di Halimunda rela mati demi menikmatinya di rumah Mama Kalong. Kau bisa dengan mudah menebar pesonamu untuk menarik perha

Idang Menafsir Agama

Aku bingung. Semasa ini, pada masa ini maksudku, masa di mana aku hidup bersama orang-orang yang terbiasa menelan ludahnya sendiri, semua tampak berantakan. Semakin mereka berusaha untuk membenahinya malah semakin tak terbenahi. Terutama masalah agama dan beragama. Mengapa perihal agama dan beragama selalu seakan menjadi ajang untuk pamer kaum mana yang paling benar, kaum mana yang paling salah, kaum mana yang paling beriman, kaum mana yang paling kafir, kaum mana yang paling cerdas (meski menurutku yang paling cerdas tetap kaum Yahudi), kaum mana yang paling bodoh, dan kaum mana yang berhak masuk surga, serta kaum mana yang akan kekal di neraka. Mengapa jadi sesulit ini? Dalam masa ini pun “agama” seakan tergelincir menjadi sebuah lembaga atau institusi yang rumit dengan hal AD/ART-nya. Aku teringat, dalam buku Penutur Agung Sang Batara Guru, ujar bijak dan bajik Sang Pencerah , dikatakan bahwa: “Istilah agama adalah asli milik bangsa Nusantara yang diwariskan kepada bangsa In