Serentetan Keluhan


Tak lama setelah saya berjanji untuk tidak melakukannya, saya kembali melakukannya, dua kali malah. Sebenarnya kalau ditanya ‘kenapa’ sukar untuk saya jawab. Tapi, kalau saya tak berusaha untuk menjawab ‘kenapa’ saya terus melakukannya, itu sama saja saya membunuh diri berkali-kali. Apa benar saya menikmati semua ini? Menikmati semua pemberian setan ini? Entahlah, rasanya saya sudah tak bisa untuk menolak. Jangankan menolak, untuk mengelak pun saya harus bersusah payah.

            Lama-lama saya bosan hidup seperti ini, hidup dalam kungkungan setan. Saya bosan kalau harus terus menerus merawat dan membesarkan nafsu saya. Saya baru sadar, sebab memang salah saya sendiri, sekarang nafsu diri saya sudah lebih besar dan lebih cerdas daripada diri saya sendiri. Senjata makan tuan memang. Sekarang saya kalah oleh nafsu saya, saya kalah sudah sejak lama. Saya kalah berkali-kali, saya kalah telak, saya tak bisa melawan, saya ancur lebur. Susah sekali untuk membalikan keadaan, jangankan untuk begitu, untuk menyamakan skor saja butuh usaha mati-matian. Bukan, bukan usaha mati-matian, harusnya saya berusaha sampai mati atau mati dalam keadaan berusaha, terdengar lebih heroik kan?

            Saya tak dapat membayangkan bagaimana jadinya hidup saya ke depan jika terus seperti ini. Lebih tepat lagi, akankah saya punya kehidupan di masa depan kalau terus seperti ini? Sebuah kehidupan normal, dan masih bisakah saya untuk hidup normal? Meski terdengar heroik, saya sebenarnya tak ingin mati dalam keadaan mencoba, sungguh saya ingin mati dalam keadaan saat saya dan Tuhan menginginkannya.

            Lancang, saya memang lancang. Sudah seperti ini, memilih hidup yang dipilihkan setan daripada memilih jalan-Nya, saya masih berani bilang saya ingin mati saat Tuhan menginginkannya. Kurang ajar memang, saya tak tahu caranya bersyukur. Sudah lama juga saya kehilangan kemampuan untuk bersyukur kepada-Nya. Untuk sekadar melakukan kewajiban saja saya lalai, saya sering berkilah dengan banyak alasan. Kewajiban selalu saja saya tinggalkan, sebaliknya saya malah terus mengejar siksa dan kesengsaraan akhirat. Saat orang-orang sibuk mengejar kenikmatan akhirat, saya malah malah tak acuh, yang saya inginkan hanya kenikmatan dunia dan kemelaratan akhirat.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...