Arsenal, Revolusi Mental, dan Periode yang Banal.

 

Musim telah berakhir. Tapi musim akan selalu kembali. Mungkin nanti. Mungkin musim depan. Hari ini kita kalah. Dan sanggupkah kita untuk terus bertarung pada setiap musim? Beranikah kita untuk tetap berdiri, berlari, dan terus melawan mereka yang mendominasi?

Bertarung melawan si jenius Pep Guardiola bukan perkara mudah. Dari kepalanya yang botak, entah kenapa, selalu saja ada ide-ide bajingan yang bikin pemerhati taktik geleng-geleng kepala. Melawan dirinya yang cemerlang, menyaingi kepiawaiannya meracik taktik dan pengalamannya yang seabreg, benar-benar bukan hal enteng. Mikel Arteta pun, murid yang belajar dan berguru kepada dirinya selama bertahun-tahun, sampai saat ini masih belum mampu mengungguli gurunya itu.

Melawan Pep Guardiola sudah sesulit itu. Apalagi melawan orang-orang yang bertarung di belakang layar, yang tak kelihatan tapi nyata terasa manfaatnya bagi klub. Mereka para pemilik, para penanggung jawab keuangan, dan para pengacara yang dengan bacot saktinya mampu menunda sidang tuntutan 115 pelanggaran yang dilakukan klub sampai tahun 2025. Itu pun belum ada jaminan kasus tersebut akan segera dapat diselesaikan. Beda jika yang melanggar klub-klub yang tak punya kemampuan finansial oke seperti Everton dan Nottingham Forest. Seminggu diduga melanggar peraturan, minggu depan dituntut dan disidangkan, minggu depannya lagi sudah keluar putusan. Mereka bersalah, dan dihukum pengurangan poin.

Meski hidup bukan kompetisi, tapi tak bisa disangkal. Manusia hidup mengincar poin, menginginkan nilai, mendambakan kehidupan yang penuh makna. Ingin sesekali menjadi juara dan merasakan bagaimana manisnya mencicipi gelar. Hanya saja, Kemendikbud yang dipimpin oleh bos tukang ojek benar-benar tak becus kerja. Congornya saja keren, mendakik-dakik membicarakan bahwa pendidikan harus begini, kudu begini, seyogianya mesti begini. Tapi kenyataan nol besar. Pendidikan bukannya maju tapi malah nyungseb. Guru-guru bukannya diberi gaji yang gede biar bisa fokus mendidik siswa tapi malah dibikin kelenger oleh tuntutan administrasi yang buang-buang waktu. Tak heran kalau akhirnya guru menjadi korban pinjol paling banyak.

Lagian kalo dipikir-pikir, mengapa aku kudu berharap bos tukang ojek yang kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki di kursi goyang sambil menerima setoran bisa menyelesaikan persoalan pendidikan?

Mikel Arteta saja yang giat belajar dan tekun dan penuh dedikasi masih belum bisa mengalahkan gurunya, kok. Padahal setiap musim progres selalu ada, terlihat, terasa. Tampak buktinya, bisa dipertanggungjawabkan. Struktur ajeg, permainan rapi dan disiplin. Yah, yah, yah. Sebuah dominasi memang tak pernah mudah diruntuhkan. Sepertinya, untuk meruntuhkannya, selain nyali, keberanian, dan mental, seseorang perlu mendapat bekingan yang kencang dari penggede dan penguasa. Kalau tidak begitu, wasalam saja. Manchester City yang sekarang mendominasi, akan terus dominan dan terus mendominasi barangkali sampai ratusan tahun ke depan. Sampai Jan Ethes jadi presiden klub.

Lalu seorang mbak-mbak yang baru lulus S2 dan sedang kesulitan mencari kerja bertanya pada pemuda—yang katanya produk terbaik dari salah satu kampus terbaik dan pemimpin muda yang berhasil menjadi walikota dan sekarang jadi wakil presiden—tentang bagaimana caranya ia dapat menyediakan sebanyak-banyaknya lapangan kerja untuk masyarakat. Si produk terbaik menjawab, “Jadi pengusaha, dong. Jangan mentalnya pengin jadi pekerja terus.”

Ditanya visi dan solusi, jawabnya malah begitu. Si bangsat memang bajingan tulen. Tentu dapat diukur sedangkal apa pemikiran si produk terbaik yang sebentar lagi akan memimpin bangsa ini menuju Indonesia Emas 2045. Lagian, mengapa aku harus berharap anak tukang kayu yang pandai menipu bisa menjawab pertanyaan mbak-mbak S2 tadi dengan keren ya? Waduh! Darwin Nunez yang sedang mengalami krisis kepercayaan diri dalam mencetak gol saja rasa-rasanya tak akan berkata demikan pada Jurgen Klopp. Sebab ia tahu, sebagai pemain bola sudah tugasnya untuk bermain bola, dan sebagai pelatih, sudah tugas Jurgen Klopp untuk mikirin visi dan solusi.

Itu sama saja ketika para pendukung Arsenal berharap rival sekota mereka, Tottenham Hotspur, mampu mengalahkan Manchester City supaya mereka bisa juara. Hadeh. Memang, memang benar. Apa yang bisa diharapkan dari klub seperti Tottenham? Bahkan bagiku, berharap pada mereka saja sudah salah. Tidak, tidak. Berharap pada siapa pun, benar-benar tak ada gunanya. Kalau memang mau juara dan jadi yang terbaik, gunakanlah tangan dan kaki sendiri untuk mewujudkannya. Sebab sebaik-baiknya nasib, adalah yang ditulis oleh tangan sendiri.

Hmmm. Tapi, tapi. Tiap bulan gaji kita dipotong pajak penghasilan, belanja kebutuhan sehari-hari kena pajak pertambahan nilai, beli barang dari luar negeri kena pajak impor, kendaraan untuk usaha sana-sini dipajakin tiap tahun, rumah sederhana yang tanah dan bangunannya dibeli dan dibangun dengan uang sendiri tanpa minta pada negara kena pajak bumi dan bangunan, dan untuk sekadar makan di restoran karena malas masak di rumah juga kena pajak. Semua duit ngalir untuk menggaji para pejabat yang ngurus negara. Masa sih kita tak boleh berharap pada negara untuk menyediakan keadilan buat rakyatnya? Kita hanya ingin solusi, tapi para pejabat malah bilang, “Jangan cuma bisa kritik dong, ah. Kasih solusi juga.”

“Kan itu tugas antum bajingaaan! Tugas antum buat mikir nyari solusi dan ngurus negara. Masa kita juga yang harus mikir?”

“Loh, loh. Memang kudunya begitu, Mas. Tugas saya itu hanya ngumpulin duit anak buah dan menyerap duit negara buat keluarga, kok. Duit yang kekumpul lalu dipake umroh biar hidup tak hanya diisi dengan dunia tapi juga akhirat. Buat kado ulang tahun istri, buat biaya perbaikan mobil anak saya, buat biaya beli skincare anak saya, buat pesta ulang tahun, buat naik haji lagi biar hidup tak berat sebelah karena hanya mikirin dunia. Buat beli barang-barang mewah, dan buat jalan-jalan ke luar negeri. Gitu loh, Mas. Masa begitu saja ndak ngerti?” kata menteri pertanian yang tak pandai bertani.

Beginilah kenyataannya. Mencari pemain-pemain berkualitas saat ini memang sulit. Kalaupun ada, harganya sudah tak ngotak. Makanya, Mikel Arteta sangat selektif dalam kebijakan transfer pemain. Apalagi soal pemain-pemain yang diproyeksikan untuk mengisi posisi-posisi vital seperti bek kiri, gelandang, dan penyerang. Klub-klub sudah pada gila. Ditambah agen-agen pemain pun banyak yang mata duitan. Itu kenapa musim lalu Mikel Arteta gagal mendapatkan Dusan Vlahovic, seorang penyerang ideal baginya. Tapi tak apa. Pemain akan selalu ada selagi masih ada anak-anak yang penuh tekad dengan jutaan mimpi di kepalanya.

Namun. Kalau mau jujur-jujuran, sebenarnya aku agak khawatir juga. Karena menurut data BPS, 9,9 juta Gen Z tidak sekolah, tapi tidak juga bekerja. Nyaris 10 juta Gen Z nganggur! Bos tukang ojek, bagaimana nih? Jangan hanya mikir yang penting cuan dong! Jangan cuma mikir yang penting dapat setoran saja. UKT antum naikkan gila-gilaan. Bawahan antum juga bilang kalau kuliah hanya kebutuhan tersier. Kuliah tak wajib, hanya opsional, tidak seperti wajib belajar 12 tahun. Bagaimana ini? Antum kudunya belajar dari kesalahan Tod Boehly yang malah bikin Chelsea jadi kandang babi karena kebijakan-kebijakan transfernya yang ngaco pol.

Makanya Ayah Ojak tak perlu ngamuk apalagi sampai bertengkar. Ayah Ojak fokus saja melaksanakan ibadah haji dengan tenang. Kalau ada yang bilang negara ini miskin, ya memang, memang nyatanya yang miskin lebih banyak daripada yang kaya kok. Negara ini memang sudah tertinggal jauh dari Malaysia, Thailand, Vietnam, dan apalagi dari Singapura. Kurang ketinggalan apa coba: di negara subur dan besar begini, masa kita masih harus impor beras dari Vietnam dan Thailand, gula dari Malaysia, dan cabai serta bawang putih dari Singapura?

Lagi pula, siapa juga sih yang mau jadi orang miskin? Tak ada, Ayah Ojak. Tak ada. Tak ada dari satu pun rakyat di negara ini ingin jadi orang miskin. Tapi rakyat tak bisa apa-apa, Ayah Ojak. Mereka miskin dan tak bisa apa-apa karena yang mengurus negara adalah orang-orang goblok belaka.

Buktinya. Hampir setiap tahun ambang batas nilai CPNS dinaikkan supaya yang terjaring adalah mereka calon pekerja-pekerja yang kompeten—memangnya mereka yang ikut CPNS itu ikan laut yang bisa dijaring dan digoreng seenaknya? Mereka harus tes ini, mesti tes itu, kudu begini dan begitu, tertib menyelesaikan tahap demi tahap dengan tuntutan nilai terbaik. Terbayang sulit dan repotnya. Setiap tahun syarat untuk dapat kerja pun semakin aneh saja. Untuk kerja di atas kereta api masa perlu IPK minimal 3,5? Untuk kerja sekadar jadi staf merangkap tukang fotokopi dan seduh kopi di kementerian negara masa kudu lulusan jurusan manajemen dengan IPK minimal 3? Masa untuk jadi sales di perusahaan baja yang dimiliki BUMN saja kudu lolos TKD, lolos Tes AKHLAK, dan lolos Tes Wawasan Kebangsaan? Memangnya kalau sudah jadi sales yang mau kita jual itu negara? Kan enggak. Yang mau dijual hanya baja ringan kok.

Tapi sebaliknya. Syarat dan kualifikasi untuk jadi legislator yang tugasnya menyangkut hidup dan kepentingan rakyat cukup hanya dengan ijazah SMA tanpa perlu melampirkan surat keterangan kelakuan baik alias SKCK dari kepolisian—kalau memang SKCK benar-benar berlaku, kudunya mantan koruptor tak boleh nyalon lagi kan? Walhasil, tak perlu heran kalau mereka yang jadi anggota dewan adalah pejabat yang mentalnya bejat. Para pejabat bermental bejat itulah yang bikin rakyat jadi miskin, Ayah Ojak. Mereka yang bikin negara jadi miskin. Korupnya negara ini, mirip-miriplah dengan PGMOL yang keputusan-keputusan wasitnya suka merugikan banyak klub.

Sudah begitu, mendengar fakta nyaris 10 juta Gen Z menganggur, Wamenkeu malah cemas kalau setoran pajak akan jeblok. Benar-benar setan! Di otaknya rakyat ternyata hanya mesin ATM negara. Bisa Ayah Ojak bayangkan mental para pejabat kita ini, kan?

Manchester United saja, si Setan Merah, rasanya tak akan segoblok itu. Mereka memang pernah goblok dalam periode cukup lama. Merosotnya Setan Merah jelas terasa setelah ditinggal Sir Alex Ferguson. Ditambah, makin ke sini keluarga Glazer si pemilik klub hanya mikir yang penting cuan. Tak peduli prestasi, tak peduli stadion atapnya bocor, tak peduli fasilitas latihan banyak yang kudet, yang penting cuan. Tapi toh sekarang mereka pun telah belajar dari kesalahan itu.

Eh tapi, tapi. Klub Setan Merah kan punya orang keren macam Sir James Ratclife yang sudah diuji dan dibuktikan waktu. Sedangkan kita? Kita hanya punya mantan tukang kayu yang doyan bebersih gorong-gorong yang jelas dan sudah dibuktikan oleh waktu: tak bisa diharapkan. Mau berharap maju padanya? Mimpi kali, ah!

Sekali lagi, itu sama saja seperti pendukung Arsenal yang berharap pada Tottenham Hotspur. Kalau terus begitu, hanya akan bikin sakit dan hidup sulit. Maka Mikel Arteta tahu, yang ia bangun bukan hanya soal mendatangkan pemain-pemain jempolan saja. Tapi pertama-tama, kultur dan mentalitas di dalam klub kudu diutamakan sebagai pondasi. Revolusi mental tukang kayu memang terbukti gagal. Malah, aku pikir revolusi mental itu tak pernah benar-benar diimplementasikan. Tapi semoga, revolusi mental ala Mikel Arteta di Arsenal berhasil dan sukses. Jika sudah begitu, mari kita pikirkan bagaimana meruntuhkan dominasi keluarga tukang kayu di liga primer. Biar yang juara tak mereka melulu. Biar yang memanen gelar tak keluarga mereka selalu. Musim depan, kita rebut juara liga!

Terus berlatih, dan jangan berharap pada program makan siang gratis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Kereta Malam