Perjalanan Menuju Kemarin
Aku tak akan ke mana-mana. Tenang saja. Aku akan ada di sini, menemanimu,
selalu. Kamu tak perlu cemas tak usah khawatir. Simpan saja tenagamu untuk
belajar biar lolos tes CPNS. Bukankah itu salah satu mimpi besar dalam hidupmu?
Perjuangkan saja itu. Fokus saja ke situ. Soal aku di sini, belakangan saja. Tak
harus dipikir dari sekarang.
Aku pun sadar, sadar sekali. Kamu masih perlu waktu. Yang kamu perlukan
hanyalah waktu. Bisa jadi lama atau sebentar tapi yang kamu perlukan hanyalah
waktu. Hadapi ketakutan itu, hadapi kemarahanmu. Jangan biarkan masa lalu
menginjak-injak masa depanmu yang cerah. Terus maju meski sakit. Tetap berjalan
walau kaki terasa perih walau langkah terasa berat. Aku yakin kamu pasti bisa. Kamu
akan selalu bisa.
Cinta yang sebenarnya memang selalu datang terlambat. Ia datang setelah
kita terluka dan dipenuhi banyak luka. Ia datang setelah hati kita patah,
setelah harapan-harapan kita sekarat, setelah mimpi-mimpi kita meranggas
mengenaskan. Ia memang sengaja selalu datang belakangan biar kita merasakan
dulu apa itu sengsara. Soalnya kita tak akan pernah tahu apa itu bahagia kalau
tak pernah sengsara. Biar, tak perlu takut, tak perlu buru-buru memvonis diri
sudah tak punya cinta. Semua orang juga begitu, merasakannya, mengalaminya. Kalau
sekarang orang yang menyakitimu terlihat bahagia dan baik-baik saja,
percayalah! Ia hanya sedang menunggu waktunya saja sebelum kena batunya.
Dirimu masihlah dipenuhi cinta. Buktinya kamu masihlah perempuan yang baik,
perempuan yang kuat, perempuan yang tegar. Meski tak bisa dibandingkan dengan
apa yang pernah menimpamu, tapi aku juga pernah merasakan pedihnya patah hati. Dan
aku pikir, semua patah hati walau kasusnya berbeda tapi rasanya tetap sama: membuat
kita seperti ingin bunuh diri. Ah, masa-masa itu.
Saat itu 2019 bulan Desember. Sore hari, aku terbaring di kasur menatap
tembok kamar. Entah berapa jam aku melamun membayangkan perempuan yang kucintai
pergi begitu saja, merasakan sakit hati yang sebegitunya. Sore itu, di dinding kamar,
bayang-bayang senyumnya berkelebatan, bayang-bayang kebahagiaan kami,
bayang-bayang dan kepingan yang indah-indah, dan semua itu harus musnah begitu
saja. Benar-benar begitu saja. Aku larut ke dalam sedih yang dalam. Aku jatuh
ke dalam sepi yang mencekam. Kalau saja waktu itu kedua kawanku tak datang,
sudah pasti aku sudah menenggak baygon yang nangkring di jendela.
Kepada kedua kawanku itu, Adam dan Ayis, betapa aku tak tahu bagaimana
caranya untuk berterima kasih. Tanpa kalian, kawan, hidupku akan berakhir di
sana. Hidupku akan berakhir di sana, di kamar sempit penuh sawang, di sore
cerah tanpa senja. Sudah pasti aku tak akan menulis seperti ini kalau sore itu
aku benar-benar tamat.
Dari kejadian itu kusadari sesuatu. Betapapun brengseknya hidup, sesakit
apa pun luka yang kita terima, tapi hidup tetap kudu diperjuangkan. Walau hari-hari
kita membosankan, begitu-begitu saja, tak melakukan hal-hal besar, tapi hidup
tetap perlu dirawat. Tetap hidup meski orang mungkin akan berkata kita ini tak
berguna. Tetaplah hidup. Hidup saja. Karena katanya, tak terhitung berapa
banyaknya manusia di alam kubur yang ingin kembali hidup meski hanya beberapa
detik saja. Penyesalan memang tak ada yang menyenangkan.
Jadi jika sekarang kamu merasa hidupmu membosankan, begitu-begitu saja, tak
ada hal-hal besar atau pencapaian luar biasa, biar saja. Siapa peduli? Tetaplah
hidup, ya? Aku percaya dan selalu percaya setiap manusia punya peran dan
bagiannya masing-masing dalam cerita ini. Nah, mungkin kamu sekarang sedang
mendapat peran yang tak mengenakan. Tak apa, yang namanya peran pasti berakhir,
tak mungkin selamanya. Semua orang akan kena giliran untuk memainkan apa yang
sedang kamu perankan. Kamu tak akan selamanya di sana. Kamu akan diganti oleh
orang lain dan akhirnya mulai memainkan peran selanjutnya. Di peran
selanjutnya, aku percaya, kamu akan menemukan kebahagiaanmu.
Walau mungkin tidak bersamaku. Meski mungkin kita tidak bersama. Namun tak
apa. Dengan siapa pun kelak kamu akan menikah dan membangun keluarga, aku pasti
senang kalau melihatmu akhirnya sembuh. Tentu saja aku akan sedih, tapi
bukankah aku sudah bukan lelaki dari 2019 itu? Tak perlu khawatir, aku tak akan
mencampur kopi dengan baygon kok. Hanya saja, syukur-syukur kamu bisa menikah
denganku. Kelak kalau sudah menikah, ayo kita tertawakan betapa bodohnya diri
kita di masa lalu bersama-sama.
Hidup akan selalu menawarkan kesempatan. Allah akan selalu memberikan
kesempatan-kesempatan lain. Jika sekarang belum berhasil, maka masih ada ribuan
atau bahkan jutaan hal baik sedang menanti kita. Yang kita perlukan hanyalah
percaya. Percaya bahwa rencana Allah yang paling baik. Selain percaya, kita
harus ikhlas hidup kita diatur oleh-Nya. Tak perlu melawan karena sekuat apa
pun kita melakukannya hanya akan sia-sia. Jangan besar kepala dan berpikir
bahwa kita bisa melakukan segalanya sendiri dalam hidup ini. Kita hanyalah makhluk
lemah, tak punya daya apalagi kekuatan tanpa bantuan dari-Nya. Jangan lupa diri
dan menganggap segala keberhasilan yang telah kita capai dalam hidup adalah
hasil kerja keras kita. Keberhasilan yang kita capai, apa yang telah kita
peroleh, semuanya, di dalamnya pasti ada campur tangan orang lain atas kehendak
Allah.
Yok kita belajar buang perasaan-perasaan besar kepala semacam itu. Biar hidup
tenang dijalani, biar langkah ringan ditapaki. Lekaslah kita serahkan segala
sesuatunya hanya kepada Allah. Serahkan hidup dan mati kita hanya kepada-Nya. Serahkan
harapan, mimpi, dan doa-doa kita hanya kepada-Nya. Hanya kepada-Nya, hanya
kepada Allah. Kita harus rela, harus benar-benar rela hidup kita ditentukan
oleh-Nya. Niatkan segala sesuatunya hanya untuk mencari ridho-Nya. Apa yang
kita lakukan, apa yang kita kerjakan, persembahkan semua hanya kepada-Nya. Bukan
kita yang hebat, tapi Allah yang memberi kita kekuatan dan memudahkan
segalanya.
Jadi, kamu hanya perlu waktu. Nikmati saja prosesnya. Tak perlu buru-buru. Kamu
pasti sembuh. Luka-lukamu pasti sembuh. Kamu akan kembali sebagaimana biasa. Menjadi
perempuan cantik yang ceria. Kamu akan kembali menjadi dirimu. Kamu akan
kembali merasakan apa yang namanya bahagia. Aku di sini selalu mendoakanmu. Aku
akan selalu menemanimu. Aku akan selalu membantumu semampu yang kubisa. Yang jelas,
seperti yang kukatakan di awal, aku akan selalu ada di sini, tak akan ke
mana-mana. Aku akan ada di sini, menunggumu, selalu. Sampai kamu tak
membutuhkanku lagi, sampai kamu bilang kalau kamu tak mau bersamaku. Kecuali kamu
berkata seperti itu, maaf-maaf saja, aku tak akan pergi darimu walau sejengkal.
Terima saja. Terima saja kehadiranku ini. Aku memang suka memaksa. Karena aku
sadar untuk menyembuhkan sebuah luka terkadang memang perlu paksaan. Kalau aku bengal
dalam hal mencintaimu, itu bukan karena aku berkulit tebal tak tahu malu. Sebaliknya,
itu hanya menunjukkan sedalam apa aku mencintaimu.
Komentar
Posting Komentar