Hajat Laut Pakidulan

 

Ingatanku terlempar jauh. Pada suatu masa saat aku masihlah seorang bocah. Entah berapa tahun usia. Tapi di tahun itu, itulah pengalaman pertamaku ikut menyaksikan serunya tasyakur nelayan di pantai selatan; Hajat Laut Pakidulan.

Waktu itu pagi-pagi. Aku bareng kakak perempuanku berangkat ke Pantai Santolo, hendak menonton kakakku yang lelaki mewakili sekolahnya lomba dayung perahu. Sungguh pengalaman mengesankan. Tiba di pantai Santolo yang sudah dipenuhi orang-orang; penonton, pedagang, pengamen, aparat keamanan, dan tentu saja tukang parkir. Pantai pagi cerah, sejuk, walau sesak namun nafas benar-benar ringan rasanya.

Aku tak benar-benar ingat seperti apa lomba dayung perahu itu. Ingatanku hanya terbatas pada debur ombak, dan debar semangat para pedayung perahu di kejauhan sana yang berjejer bagai barisan tentara Korea Utara. Rapi sekali. Di tengah laut, mereka semua meneriakkan seruan-seruan semangat, teriakan-teriakan yang membangkitkan gairah perlombaan. Ikat di kepala mereka puitik sekali ditampar kencang angin laut. Lomba selesai. Aku menghampiri kakakku.

Setelah lomba selesai kulihat arak-arakkan dengan pakaian tradisional. Ada yang berjoget, ada yang menari, ada yang bernyanyi, ada yang menabuh kendang, ada yang meniup seruling, ada yang menyemburkan api dari mulutnya, ada yang membacok dirinya sendiri dengan golok sebagai atraksi debus, ada yang membaca doa, ada yang merapal rajah, ada yang membakar kemenyan, dan tentu saja ada yang membawa sesajian berupa makanan dan kepala sapi. Ritual digelar di tepi pantai. Sesajian dihanyutkan, dibawa ombak, dipersembahkan kepada lautan. Kepala sapi dilempar, dan pesta seharmal suntuk dimulai.

Siang-siang grup musik dangdut dengan biduan muda yang seksi-seksi mulai bernyanyi di lapang dekat pantai. Aku tak ingat lagunya apa, tapi yang jelas geollannya enerjik sekali. Para tukang parkir, pedagang, dan preman-preman penguasa jalanan dan pertigaan silih berganti berebut menyawer biduan incaran. Geol semakin panas, saweran memuncak di celah dada para biduan.

Dangdut selesai setelah asar. Lalu dilanjut pengajian. Entah yang mengisi ceramah siapa tapi orang tak terlalu peduli. Yang menghadiri tetaplah banyak. Preman dan begajulan tahu diri, menyingkir, memberi ruang untuk ibu-ibu dan bapak-bapak. Pengajian dimulai, tapi aku pulang ke rumah untuk makan dulu biar punya tenaga.

Malam datang. Iniliah yang paling dinanti orang-orang. Pertunjukan wayang golek rombongan Abah Asep Sunandar Sunarya. Sulit rasanya menjelaskan perasaaan ini. Magis, mistis. Orang-orang tergelak tertawa, kadang merenung, tapi tertawa lagi sampai perut sakit kala Haji Kohar menceritakan pengalaman berburu harimau pada si Cepot. Haji Kohar, benar-benar. Antum apotik tutup; Kang Haji tak ada obat!

Wayang berakhir subuh tapi aku sudah pulang jam sebelas. Itu pun orang tuaku yang kasih tahu. Bangun-bangun hari sudah ganti, tapi pengalaman itu abadi.

Ingatan terlempar kembali, pada hari ini.

Lama Hajat Laut Pakidulan tak digelar. Setelah kenangan tadi, tak ada lagi acara-acara seru semacam itu. Aku SMP, acara itu tak ada. Aku SMA, masih tak ada. Aku kuliah, tetap tak ada. Jaraknya nyaris belasan tahun.

Sudah jebrog begini baru aku mengerti. Ternyata tak semua orang menyukai Hajat Laut Pakidulan. Beberapa tokoh agama, ustad-ustad ecek-ecek, ternyata terang menolak acara semacam itu. Mereka menilai acara persembahan syukuran semacam itu musrik—hadeh, bikin malas saja.

Katanya kalau mau bersyukur langsung saja panjatkan kepada Allah. Tak perlu bikin acara begitu. Tak perlu segala macam arak-arakkan dan pertunjukan akrobat dan atraksi kebal dibacok golok dan membakar kemenyan dan apalagi “ngasih” makan penguasa Laut Selatan—Nyi Roro Kidal—dengan sesembahan dengan toping kepala sapi yang aduhai nikmatnya itu. Wah sudah jelas itu melanggar syariat. Harus syahadat lagi.

Astagfirullah, ini ustad kemaren sore!

Setelah kuliah baru kusadari. Yang bilang dan melarang Hajat Laut Pakidulan hanyalah ustad-ustad anak bawang yang mainnya kurang jauh, ilmunya hanya di permukaan kulit, dan penilaiannya sementah sajadah yang digelar orang-orang munafik.

Padahal ajengan-ajengan kawakan di sepanjang pesisir pantai selatan tempatku tumbuh, tak pernah kudengar mereka melarang apalagi menyalahkan Hajat Laut Pakidulan. Sebab, ajengan-ajengan yang sudah kawakan ngajinya sudah molotok, tak hanya sekadar ngaji kulit tapi sampai ke daging. Ajengan-ajengan kawakan dengan kaliber tinggi paham. Masyarakat nelayan bukan manusia-manusia bego bin belegug. Mereka hanyalah orang-orang sederhana yang ingin mengungkapkan rasa syukurnya pada Gusti Allah dengan lautan sebagai perantaranya.

Sama saja seperti orang-orang saleh yang doyan ziarah. Mereka kan tak memohon pada jasad di dalam makam yang sedang diziarahinya, tapi sedang numpang bus cepat biar doanya cepat sampai. Begitu juga para nelayan. Mereka ingin memanjatkan syukur dengan menumpang pada lautan biar cepat sampai pada pemiliknya. Itu semacam trik sederhana saja. Tak perlu otak sarjana buat memahami hal sesederhana Hajat Laut Pakidulan.

Jadinya aku menduga. Mungkin Hajat Laut Pakidulan sempat tak ada selama belasan tahun karena penyakit dari ustad-ustad bau kencur menyebar cepat bagai corona. Jadinya orang-orang mati rasa, dan nelayan kehilangan keteguhannya untuk percaya diri.

Namun untung saja minggu ini Hajat Laut Pakidulan kembali digelar. Meski aku tak secara langsung merasakan serunya, tapi hanya mendengar dari ibuku lewat telpon rasanya sudah senang. Senang sekali. Sebagai bocah yang lahir dan besar di pesisir, sebagai anak pantai, Hajat Laut Pakidulan ini benar-benar hadiah ulang tahun paling indah. Hadiah yang membuat ingatanku bangkit dari kubur dan terlahir kembali.

Lautan, gelombang, debur ombak, batu karang, perahu nelayan, burung yang bolak-balik terbang di kejauhan sana, deretan pohon ketapang, hangatnya pasir dan cahaya layung, alhamdulillah Ya Allah! Hatur nuhun.

Semoga di tahun-tahun mendatang Hajat Laut Pakidulan terus ada, tetap ada, senantiasa ada, menyala, berlipat ganda. Kebahagiaan, apalah artinya tanpa tanpa debur ombak di pagi hari? Kenangan, akankah bermakna tanpa siraman cahaya layung yang menakjubkan itu?

Nah. Sekarang aku akan mulai berlatih dan rajin kembali latihan fisik biar bisa ikut lomba mendayung perahu melawan malaikat maut. Atau mungkin aku bisa ikut pamer kesaktian dengan malaikat penjaga neraka, atau bisa jadi, jadi pemain kendang untuk rombongan wayang pimpinan dalang the one and only: Jibril. Huh. Seru sekali sepertinya.

Terima kasih para nelayan. Telah mengajarkanku bagaimana caranya untuk mensyukuri nikmat dengan baik. Antum tahu dan paham bahwa diri tak pernah menanam ikan di lautan walau selalu memanen hasil yang tak sedikit. Makanya antum tak lupa untuk selalu bersyukur, dan memperlakukan lautan sebagai kawan karib daripada tempat mencari nafkah.

Dari kalian aku belajar lagi satu hal. Hidup tak akan seru tanpa badai dan gelombang. Jika ada mereka menghadang, maka tak usah mampir ke ladang dan mandi di sumur. Sebaliknya. Ceburkanlah diri ke dalam gelombang. Serahkan jiwamu pada lautan. Yang dalam, yang gelap, yang senyap. Hanya dengan cara seperti itulah kita akan bersinar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Kereta Malam