Raumdeuter
“Katakanlah (Muhammad), ‘Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapa yang akan memberimu air yang mengalir?’”
—Al-Mulk: 30
Dunia adalah ruang sempit. Sulit dibantah.
Memang selebar daun kelor. Aku tak mungkin mengelak. Dalam ruang sempit inilah
mimpi bertarung melawan waktu. Waktu yang terlatih, waktu yang terampil, waktu
yang telah teramat teruji di sepanjang usia manusia yang membentang dari zaman
Nabi Adam sampai zaman Adam Levine. Waktu yang itu-itu juga. Bagaimanapun aku
mencoba melawan, ampun! Ia memang bajingan yang keras kepala.
Kini aku sadar. Waktu sungguh tak
bisa dikalahkan. Tak mungkin. Satu-satunya cara untuk membuat pergerakannya
sedikit melambat hanya dengan menjadikannya sekutu. Setiap usaha dan percobaan
untuk mengejar dan mengalahkannya hanya akan membuang usia yang sedikit ini.
Waktu, harus sekuat apa agar aku bisa
menjadi sekutu?
Perjalanan ini masihlah panjang. Tapi
usia bertambah kurang, tenaga berlipat menyusut, pikiran sering kali kalang
kabut. Sebab dunia telah terlampau kusut. Kualitas diukur nilai, dan nilai diperas
ke dalam nominal.
“Umur 29 tahun, masa masih tak punya
kerjaan yang gajinya besar?”
“Masa penghasilannya belum nyentuh dua
digit?”
“Lihat tuh teman-temanmu sudah pada
bawa istri dan mercy kalo reuni.”
Hidup dikepung persepsi. Ke mana pun kaki
melangkah, tak bisa menghindarinya. Setiap orang berdesak-desakkan, bersikutan,
saling berebut dominasi, saling menyingkirkan demi sebuah posisi. Tak ingin
dikalahkan apalagi mengalah pada lari pagi di hari Minggu. Di matanya hanya ada
uang, di pikirannya berjejalan rencana-rencana untuk sukses, dan hatinya adalah
pemakaman tempat cita-cita dan mimpi yang mati muda dikubur. Hatinya gelap, sepi,
dan sunyi. Untuk keluar dari pemakaman itu, halalkan segala cara!
Sukses jadi tentang angka, bukan lagi
tentang usaha. Sekeras apa pun usaha jika angka yang dihasilkan kecil,
lambaikan saja tanganmu pada cita-cita untuk hidup tenang bahagia. Menyerah
saja, relakan ia pergi. Perlu antum semua ketahui. Sebaliknya, angka-angka
semakin besar dihasilkan, maka semakin besar pula kemungkinan untuk hidup
tenang dan bahagia dan disayang istri dan dicintai anak-anak dan dibanggakan
mertua.
Kehidupan ini benar-benar tragis. Kemiskinan
dirawat negara, dan nasib, ditentukan tangan-tangan pejabat yang tak becus
kerja. Menteri hanyalah jabatan tolol dalam bingkisan berisi orang-orang
belegug yang dihadiahkan Tuan Presiden sebagai bentuk terima kasih. Lalu presiden,
hanyalah orang tolol yang hanya memikirkan keluarga dan rekan-rekan korupnya. Sedangkan
aku, menjadi tolol demi menyaksikan mereka orang-orang tolol itu manggung. Untuk apa
punya pemerintah kalau hidup terus-terusan susah?1
Sekelompok polisi menganiaya seorang
bocah sampai mati. Seorang menteri menyeret kehidupan pribadi semua orang ke
dalam neraka. Seorang polwan membakar suaminya yang polisi karena kecanduan judol.
Para anggota dewan semakin semarak bermain judol bersama—sambil tentu saja
diselingi menonton bokep dan meniduri biduan-biduan dan artis-artis ibu kota.
Tuan Presiden tengah menyiapkan kehidupan damainya bersama keluarga tercinta di
atas lahan 12.000 meter persegi. Lagi-lagi polisi, bukannya mengayomi tapi
malah jadi kaki tangan yang melindungi pembunuh yang ternyata anak seorang
bupati. Lagi-lagi polisi, bukannya mengusut anggotanya yang membunuh seorang
bocah tapi malah membela diri dan mencari-cari si penyebar kabar. Kali ini beberapa
tentara, bukannya melindungi negara tapi malah memukuli seorang sopir yang
hendak menjemput penumpang di bandara. Kali ini tentara lagi, bukannya berdiri
bersama rakyat tapi malah berbaris di bawah telunjuk pengusaha untuk merebut
tanah mereka. Ahhh, betapa terkutuk negara ini!
Tes masuk PTN maksimum dua tahun
setelah lulus SMA. Beasiswa S2 dan S3 maksimal 35 tahun. Lowongan kerja
maksimum 25 tahun. Batas waktu studi hanya enam tahun. Program spesialis maksimum
35 tahun. Tak boleh ada jeda. Apa itu jeda dalam berkarir?
Yang bikin aturan berpikir seolah
kita ini robot yang tak punya kehidupan. Padahal, sudah pasti ada di antara
kita yang kudu ngurus orang tua karena menua dan sakit-sakitan. Ada yang ngurus
anak sampai cukup besar dan bisa ditinggal kerja atau kuliah lagi. Ada yang sedang
berduka karena ditinggal orang yang disayangi. Ada yang patah hati dan perlu
waktu untuk pulih. Ada yang sedang sakit dan berjuang untuk sembuh. Ada yang
sedang kerja keras menabung untuk mewujudkan mimpi. Ada juga yang jadi sandwich
generation dan kudu menanggung biaya adik-adiknya.
Cita-citaku dan cita-cita orang-orang
harus rela diperkosa aturan-aturan bikinan para pejabat tolol bin sinting itu. Duit
didahulukan, cita-cita belakangan saja. Work-life balance, apaan tuh?
“Loh ndak tahu. Kok tanya saya?”
Hidup di bawah rezim tolol begini bikin
masa depan terasa suram. Tak ada yang pasti selain daripada keluarga para
penguasa terus bertambah kaya. Tak ada yang pasti kecuali orang-orang miskin
tetaplah miskin. Lapangan kerja semakin sedikit, pengangguran semakin banyak,
para pengusaha sahabat rezim semakin gembira, sedangkan orang-orang menengah ke
bawah semakin sengsara. Setiap hari, tak ada kecuali. Itu kakek-kakek yang tiap
malam tidur di teras Alfamart Suherman dalam udara dingin dan hanya berselimut
sarung robek; sudahkah ia makan hari ini?
Jika negara dikelola dengan baik,
oleh orang-orang baik yang berani dan mengerti, kupikir hidupku tak akan
seperti ini. Aku yakin, dalam persaingan yang adil dan sehat, kemampuanku tak
akan jeblok-jeblok amat. Bisalah dipakai, berani diadu kalau hanya sekadar
untuk jadi pegawai negeri atau masuk perusahaan pemerintah. Dengan begitu
mungkin aku akan punya penghasilan tetap, punya uang yang cukup untuk tampak meyakinkan
di mata kekasih dan calon mertua.
Aku bukannya ingin menyalahkan atau
apa, tapi memang begini keadaannya. Negara yang diurus dan dikelola dengan
buruk hanya akan menghasilkan kehidupan yang buruk pula. Kehidupan yang
sengsara, kehidupan dengan masa depan suram. Sementara itu, kehidupan yang
buruk sudah pasti hanya akan melahirkan orang-orang yang juga buruk. Nasib tak
bisa lagi diubah dan diperjuangkan. Dalam hidup yang seperti itu, nasib hanya
bisa diselamatkan oleh mental penjilat dan tak tahu malu—tak perlu kecerdasan,
kerja keras, dan apalagi doa-doa.
Namun untung. Untung saja. Untung. Masih
ada sedikit untung yang tersisa untukku. Itulah kamu.
Setelah bertemu denganmu aku
menyadari sesuatu. Dulu kupikir cinta itu mahal dan hidup itu rumit. Tapi tanpa
berkata sepatah kata pun tentang cinta dan hidup, hanya dalam waktu kurang dari
sepuluh bulan, kamu telah menjejalkan banyak pengertian dan pengalaman tentang
betapa cinta dan hidup teramat sederhana.
Cinta sesederhana hidup. Kudu
diperjuangkan, dijalani dengan ikhlas, tak perlu berpikir dapat untung atau
rugi. Soalnya hidup bukan tentang untung-rugi dan begitu pun cinta. Cinta yang
lancar adalah cinta yang cair, terus mengalir, bisa mengisi setiap ceruk dan
relung. Bisa deras atau pelan, menabrak batu tak hancur, terjun ke bawah tebing
tak remuk, bertemu sampah disapu saja. Cinta itulah air. Yang mengaliri
kehidupan, yang menumbuhkan kebahagiaan.
Hidup sesederhana cinta. Kalau lapar
tinggal makan, kantuk datang dibawa tidur saja dan bukan malah ngopi. Capek
kantun istirahat, kalau gerah nyalakan kipas angin. Kalau rindu kekasih
langsung bilang, kalau kangen terus terang katakan, kalau cinta seseorang
ungkapkan tak perlu dipendam. Terlepas nanti diterima atau tidak, bukankah
hidup hanya soal menyambung kegagalan demi kegagalan? Tak perlu takut, tak usah
berpikir rugi.
Aku menyadarinya. Dan setelah
menyadarinya perasaanku tentang cinta dan kehidupan ini menjadi lega. Banyak
ruang baru, tumbuh tunas baru, bermekaran perasaan-perasaan haru. Kepadamu,
maka sering kukatakan aku mencintaimu. Mungkin kamu akan bosan, akan merasa
semua perkataan cinta dan kangenku hanya bualan saja, cuma gombalan semata.
Tapi aku tak peduli, sebab tugasku hanya untuk membuat cinta sesederhana hidup.
Sekarang aku tak akan menahan
perasaan ini. Tak sedikit pun. Aku akan melepaskannya tanpa takut, tanpa ragu,
tanpa berpikir akankah untung atau malah rugi. Mencintaimu, memberiku tenaga
dan harapan untuk menjalani hidup. Cinta yang menghidupiku, dan hidup demi
mencintaimu. Selain itu apalagi? Aku ingin bisa terus mencintaimu tanpa pernah
berharap pada negara.
Aku memang belum bisa memberimu
rumah, atau mobil, atau sekarung cokelat, atau membawamu naik haji tiap tahun,
atau umroh setiap bulan, atau mengajakmu berliburan ke Islandia sambil sekalian
menonton konser Of Monster and Men. Tapi aku percaya. Dirimu tak seremeh tafsir
sosial yang teori kesuksesannya didasarkan pada duit. Kamu, dirimu, dalam tatapanku,
melebihi semua itu.
Cinta, cinta. Sudah pasti cinta
seperti rambut yang akan terus ada dan tumbuh meski dicukur ribuan kali. Tak
peduli dipotong sependek apa, cinta akan selalu tumbuh. Tak peduli dicukur
sejelek apa, cinta akan bertahan di sana. Tak peduli di kulit kepala yang
kering atau berketombe atau kutuan. Rambut akan selalu ada, cinta akan selalu
tumbuh. Musuh alaminya hanyalah kematian.
Andai kamu ada di sini, setelah lama
kita tak bertemu, kujamin kecupan hangat dan pelukan panjanglah yang akan
menantimu. Aku tak akan melepasmu walau hanya sekedipan mata, meski untuk
sehembusan nafas. Akan kubawa kamu ke dalam dunia rumah kaca, dunia yang di
dalamnya kita saling tak menutupi diri. Kita akan selamanya berdansa di sana
sambil terus berpelukan dininabobokan lagu-lagu terbaik dalam negeri. Kita akan
hanyut, kita akan menyatu, kita akan mati dan lantas memulai kehidupan baru
dalam dunia yang tak pernah mati.
“Di dalam keramaian aku masih merasa sepi
Sendiri memikirkan kamu
Kau genggam hatiku...
“Tubuhku ada di sini
Tetapi tidak jiwaku
Kosong yang hanya kurasakan
Kau
telah tinggal di hatiku”2
Benar-benar! Perasaan ini tak ada
ampun.
Kekasihku, lekaslah percaya dan
datang ke sini. Jangan ditunda lagi. Soalnya hidup sungguh teramat singkat. Tak
ada waktu untuk keragu-raguan dan ketakutan. Sudah kubilang, kita tak bisa
mengalahkan waktu, tak mungkin. Datanglah ke sini, ke pelukanku. Kita hadapi
dunia ini bersama. Bersama-sama kita hadapi dunia dan rezim terkutuk ini. Khawatir
pasti selalu mengintai di balik pertimbangan-pertimbangan. Namun tak perlu ragu
dan takut sebab Tuhan akan menyertai—selalu.
Lekaslah ke sini biar kita bisa
segera berbaring bersama dalam doa-doa indah yang empuk. Ruang akan semakin
sempit. Usia akan bertambah sedikit. Jadi, apa lagi yang perlu kita cari dalam
hidup selain ketenangan yang hanya tersimpan dalam perasaan yang membara ini?
1 Lirik lagu Desa, Iwan
Fals.
2 Lirik lagu Kosong, Dewa 19.
Komentar
Posting Komentar