Menjelang Dekat, Terlampau Pekat

 

Tadi malam lapar datang dan aku pergi keluar. Kudatangi tempat nasi goreng. Sudah lama aku tak makan nasi goreng, sepertinya akan nikmat. Aku masuk dan memesan seporsi. Yang melayani seorang lelaki, remaja. Masih muda betul, pikirku. Tampak dari raut wajah dan suaranya. Aku menduga ia baru lulus SMA.

“Mau pedas atau biasa, A?”

Biasa saja, kataku. Sebab aku lelaki biasa-biasa saja, maka aku hanya menginginkan hal-hal yang juga biasa. Tak perlu pedas. Cukup. Hidupku sudah terlampau pedas.

Si lelaki cekatan. Menyalakan kompor, menyiramkan segelas air dan membersihkan wajan dengan kecepatan luar biasa. Ia besarkan api biar wajan cepat panas dan air menguap, supaya minyak bisa masuk dengan tenang. Minyak dituangkan, disusul bumbu-bumbu, dan telur. Diaduknya dengan kecepatan yang membuat aku berpikir bahwa pastilah ia seorang mahir. Meski masih muda, tapi ia terlihat sangat dipenuhi pengalaman— caranya menyiapkan pesanan benar-benar top.

Sepiring nasi goreng siap. Seorang remaja lain, yang dari tadi juga ada di situ mencuci piring-piring dan sendok serta garpu kotor, menghidangkan piring ke hadapanku—dengan kesopanan dan keramahtamahan yang oke. Sebelum pergi melanjutkan cuci piring, ia bertanya apa aku masih memerlukan hal-hal lain. Aku bilang, cukup, hatur nuhun.

Aku mulai makan. Menyuapkan nasi sesuap demi sesuap. Dan benar, aku masihlah orang yang mudah menilai sesuatu dari tampilannya. Saat aku masuk dan memesan dan melihat bahwa yang membikin nasi goreng hanyalah seorang bocah, aku sudah tak berharap bahwa nasi goreng bikinannya akan enak. Tapi ternyata, nasi goreng bikinannya benar-benar enak, pas. Tingkat kematangannya, minyaknya pas, bumbu-bumbunya menyatu dengan baik.

Setelah selesai beberapa suap aku agak terkejut. Dua anak tadi pamit pada seorang bapak-bapak yang dari tadi sedang mengobrol sambil merokok dengan pedagang di sebelahnya. Pedagang itu bertanya mau ke mana, dua anak tadi menjawab kudu balik karena besok mereka masih ujian. Aku mendadak berhenti mengunyah. Lagi-lagi aku salah. Keduanya mencium tangan bapaknya. Aku melanjutkan makan, selesai, dan membayar.

___

Siang ini lapar datang dan aku keluar. Cuaca panas, jalanan penuh dan berisik. Beberapa pejabat dengan noraknya dikawal polisi biar lajunya mulus. Di rumah makan padang aku makan. Aku makan di tempat, sebentar, lalu pulang.

Sampai di kamar aku memanaskan air, menyeduh kopi, dan membakar rokok sambil memandangi gunung Papandayan di kejauhan sana. Indah sekali. Memang, dari kamarku yang ada di lantai dua, aku bisa melihatnya dengan jelas. Rokok kuhisap beberapa kali, lalu kuraih hape. Ada pesan di WhatsApp.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kami mengucapkan terima kasih kepada saudara ..... ...... ..... yang telah mengirimkan lamaran untuk menjadi guru mata pelajaran umum di Pondok Pesantren ..... ..... .......... daerah ...... Kami sangat menghargai waktu, usaha, dan dedikasi yang Anda tunjukkan selama proses seleksi ini.

Setelah mengevaluasi lamaran yang Anda kirimkan dengan seksama, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan aplikasi Anda untuk guru mata pelajaran umum saat ini. keputusan ini bukanlah cerminan dari kemampuan atau potensi Anda, melainkan hasil dari persaingan yang sangat ketat dan banyaknya kandidat yang luar biasa. Kami mengucapkan terima kasih atas minat dan partisipasi Anda dalam proses seleksi ini. Kami berharap agar Anda terus mengembangkan potensi dan kemampuan Anda.

Semoga Allah Swt senantiasa memberikan kemudahan dan keberkahan dalam setiap langkah Anda.

Jazakumullah khairan katsiran.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kuletakkan hape, kembali mengisap rokok sembari memandangi Papandayan yang gagah di sana. Sekali lagi, aku belum berhasil. Sudah pasti aku kecewa. Karena kalau tidak, tak mungkin aku menjadi sedih saat kembali menatap Papandayan.

Lima bulan aku menganggur. Sudah kucoba memanfaatkan kesempatan yang ada, tapi sampai kini aku belumlah mendapat kerja. Tapi sebentar. Sebenarnya sekarang aku sudah bisa dihitung kerja kalau merujuk pada definisi kerja dalam arti mengerjakan sesuatu. Walau kemampuanku dalam desain terbatas, namun dengan cara paling aneh aku diminta untuk kerja dan mengerjakan desain-desain untuk mengisi media sosial suatu lembaga. Ditambah, aku juga menulis untuk kebutuhan press release-nya.  Gajinya memang tak besar, malah bisa dibilang kecil. Tapi cukuplah untuk sekadar bertahan hidup.

Itu maksudku. Kubilang aku menganggur dan belum kerja, sebab aku memakai pengertian kerja menurut orang-orang umum, yakni kerja dengan status formal dan punya gaji UMK atau UMR. Aku pun tak ingin ikut terseret pengertian itu, hanya saja, tak ada yang bisa kulakukan. Aku tak bisa keluar dan menyelamatkan diri dari konstruksi sosial yang tak adil ini. Kubilang tak adil karena kenyataannya memang tak adil.

Di hadapan calon mertua, saat ditanya aku kerja apa, tentu saja jawaban semacam “penulis”, “admin medsos” atau “desainer grafis” merupakan mimpi buruk. Jawaban-jawaban tadi tak mentereng di mata mereka. Terlebih, tak meyakinkan. Masa sih ada orang bisa hidup hanya dengan menulis dan menggambar? Mereka tak benar-benar yakin. Keadaan itu membuat mereka akan jadi ketus, dan sudah pasti setelah aku pulang, si orang tua akan berbicara pada anaknya untuk cari lelaki lain saja. Lelaki lain yang punya profesi ”normal” bin formal. Bisa guru, PNS, atau guru PNS, dosen, atau dosen PNS, polisi atau tentara, dokter, atau apalah gitu. Pokoknya cari lelaki yang seumur hidupnya selalu dihidupi negara. Waktu di dunia yang sedikit, jangan dibuang untuk lelaki yang hanya menggantungkan hidup dari menulis dan menggambar.

Apa itu salah? Tentu saja tidak. Dari tadi, aku hanya bilang kalau hal itu tak adil dan bukan salah.

Keadilan, keadilan. Kamu di mana? Cepatlah datang ke sini, bantu aku meyakinkan calon mertua. Bahwa apa pun pekerjaannya, semua kerja adalah mulia—selagi dikerjakan dengan jujur, tidak menipu, tak menjilat sana-sini. Apa pun pekerjaannya, pada akhirnya semua tergantung pada seikhlas dan setawakal dan sebersyukur apa kita menjalani apa-apa yang diberikan Tuhan.

Seorang suami yang polisi, dibakar sampai mati oleh istrinya yang juga polisi. Si istri kesal karena gaji si suami sering habis dipakai judol. Pengusaha tajir yang istrinya selebriti juga ternyata adalah tersangka kasus korupsi yang bikin negara rugi sampai triliunan. Si istri pun ternyata jadi tersangka juga. Seorang menteri mengeruk uang negara untuk menyawer seorang biduan dangdut yang montok. Jadi, kesimpulannya....

Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk. Aku masih percaya apa yang dikatakan Tan Malaka itu. Untuk mencapai bentuknya yang bagus dan indah dan bernilai, cincin emas atau permata atau berlian akan dibakar dan dihantam dan dibanting sebegitu rupa. Begitupun aku, manusia. Penolakan, kegagalan, rasa sakit, kelaparan, tak punya uang, dihina dan diremehkan, ditinggalkan kekasih karena tak punya kerjaan mapan dan duit banyak, ditolak kekasih dan calon mertua karena penghasilan sedikit, semua ini hanyalah cara supaya aku selalu mengerti: bahwa yang berarti dalam hidup adalah perjuangan untuk tidak menyerah pada diri sendiri, bukan untuk hidup demi menyenangkan semua orang.

Sebagaimana kedua bocah yang kerja dan membantu bapaknya berjualan nasi goreng, tukang parkir di rumah makan yang tak menyerah, pemulung botol-botol bekas yang selalu berjalan, pengumpul rongsok dan besi-besi yang tahan banting, supir dan kernet bis yang selalu menapaki apa pun keadaan di jalan, petani di sawah yang melawan gedung-gedung dan bangunan, tukang batagor dan cilung di depan sekolahan yang harus bersaing dengan cafe estetik dan instagramable, penulis kere yang hobinya baca buku, admin medsos kumal yang tangannya tak bisa lepas dari hape, dan setiap pekerjaan lainnya.

Tak ada kerjaan kecil, tak ada kerjaan besar. Setiap kerja adalah penting, dan berguna, dan punya manfaat. Tapi aku sadar, tak setiap kerjaan penting dan berguna dan bermanfaat di mata kekasih dan calon mertua. Maka, orang-orang sepertiku sepertinya memang kudu selalu bersiap untuk merayakan kehilangan.

___

Di sini waktu lambat benar. Rokok sudah dua batang, hampir habis. Kopi nyaris. Meja tak banyak isinya. Kursi banyak yang kosong. Beberapa orang hanya melamun. Seorang lelaki berkaca-kaca menatap sekaligus berbincang dengan anak dan istrinya lewat video call. Kulihat jelas. Di mata lelaki itu, terpancar betapa ia begitu merindukan mereka. Sudah pasti ia seorang bapak. Seorang bapak yang sedang merantau. Kerja, cari uang. Jauh dari keluarga yang teramat dicintainya....

Aku membayangkan hidup. Sering orang bilang tujuan hidup adalah untuk ibadah. Kerja dan segala macam aktivitas dunia hanya pengisi waktu luang. Tak perlu diseriusi, apalagi dibela mati-matian. Namun, namun. Kiwari semua itu terbalik. Tujuan hidup adalah untuk kerja, berkarir, cari uang yang banyak biar hidup enak bin nikmat. Ibadah hanya pengisi waktu senggang saja. Tak terlalu diseriusi, apalagi diperjuangkan mati-matian.

Dari atas sana, aku mendengar suara seorang lelaki melengking mengejar nada-nada tinggi dalam lagu Secawan Madu. Dipikir-pikir, dunia mungkin tak lebih besar daripada cawan. Isinya hanya madu yang sedikit itu. Tapi manisnya madu, dalam keterbatasannya, dalam keadaannya yang fana, justru jadi buruan sekaligus ambisi orang-orang. Kudu punya gaji segini sebelum nikah, kudu punya rumah saat umur 30, kudu gableg mobil Rubicorn sebelum kepala tiga. Haish!

Aku pun sama saja. Aku bukan malaikat apalagi Nabi—meski sebenarnya namaku mengandung unsur keduanya. Tapi aku masih manusia biasa. Kelakuanku biasa. Keinginanku juga biasa, sama seperti orang-orang. Aku ingin hidup enak, nikmat, setiap saat selalu ngopi sambil sebat. Ibadah belakangan saja. Kalau masih ada waktu luang, senggang, tenang, mending dipakai buat cari uang. Toh, apa artinya—misalnya—salat kalau tak khusyuk karena mikirin duit di dompet yang sedikit? Bukankah banyak duit alias kaya merupakan salah satu variabel yang bisa bikin ibadah lebih khusyuk dan nikmat?

Jadi, makan dulu apa salat dulu?

Kira-kira sebulan lalu. Bapakku bilang kalau dunia itu harus dicari seakan-akan kita bakal hidup selamanya—maksudnya, dalam hidup kita memang kudu selalu ikhtiar; jangan cuma berdoa ingin kaya tapi setiap hari hanya rebahan. Sedangkan akhirat wajib dikejar seolah-olah kita bakal mati besok—umur, siapa yang tahu?

Dengan begitu hidup akan jadi seimbang kalau ditimbang. Nah, persoalannya, banyak manusia menimbang segala sesuatunya dengan timbangan dunia dan bukan timbangan Tuhan. Jadi yah, banyak manusia hidupnya tak merasa bahagia karena tak punya banyak duit seperti orang-orang. Mau bahagia saja harus menunggu sampai punya banyak duit, untuk bahagia kudu menunggu karir bagus. Betapa sia-sianya.

Lalu abangku menambahi. Dunia itu kalau tak ada ya dicari, kalau ada ya dipakai. Begitu saja terus. Lantas, perlukah dicari sampai sebegitunya? Aku menyadarinya juga. Sulit menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Pada akhirnya banyak manusia memang lebih condong pada dunia. Dunialah yang patut diperjuangkan. Soalnya di akhirat, kita tak bisa pamer di medsos. Percuma.

Dan sekarang aku di sini. Sendiri, lagi. Perjalanan ini, akan membawaku ke mana aku tak tahu. Aku sering memikirkannya biar punya sedikit rencana sebagai bentuk antisipasi. Tapi di sepanjang usia ini, apa yang kurencanakan seringnya tak pernah terjadi. Kadang aku kesal, tapi toh tak ada yang bisa kulakukan selain menerimanya. Menerima bahwa segala urusan kembali kepadaNya. Tugasku hanya melangkah saja terus, tak perlu memikirkan hasil dan akhir.

Ah, kekasihku....

Bayangan wajahmu berkelebat. Senyummu yang manis, alismu yang aduhai, mengapa aku tak pernah bisa berdamai dengan semua itu? Perasaan selalu tak karuan, ingin begini, harus begitu, melonjak-lonjak meminta dirimu.

Kapan kita bisa bersama?

Lagi-lagi, duit memainkan peran penting. Bahkan untuk cinta sekalipun. Masihkah ada cinta yang tak perlu duit? Wallahu’alam. Soalnya biaya nikah mahal. Gedung, katering, dekorasi, riasan dan kostum, semua itu perlu dibayar mahal. Belum lagi tukang foto dan video. Belum lagi foto sebelum nikah. Belum lagi bikin undangan. Belum lagi souvenir. Belum lagi—dan ini yang paling utama—membikin resepsi yang bisa memuaskan mulut-mulut tetangga dan orang-orang. Ampun.

Tuhan, apa tak boleh aku menikah hanya di masjid kampung saja? Dengan sarung, baju koko, dan peci yang biasa kupakai jumatan? Tuhan, tak bolehkah kekasihku menikah dengan pakaian yang biasa dipakainya ngajar di sekolah dan berdandan sendiri? Karena meski hanya dengan baju ngajar dan riasan sendiri, padahal ia telah begitu cantiknya.

“Tapi nikah cuma sekali, maka buatlah berarti!”

Ya, ya, ya. Aku tahu, paham, mengerti. Namun arti, apa ia benar memang ada di dalam lembar-lembar duit yang ditebar untuk tetek-bengek tadi?

Arti untuk siapa? Arti dari mana? Apa ada arti yang sungguh-sungguh berarti? Kupikir hanya kita yang tahu. Hanya aku dan kamu. Sisanya, orang hanya bisa mengira-ngira saja. Menebak kalau kita ini bahagia, senang sentosa karena menikah dengan resepsi yang megah dan mewah. Dalamnya samudera bisa diukur, tapi dalamnya perasaan seseorang? Hanya aku dan kamu yang tahu apa yang benar-benar kita rasakan. Selebihnya, mengapa kita kudu peduli pada pendapat orang-orang?

Untuk bahagia, mengapa kita kudu terikat pada penilaian mereka?

Sungguh, aku yakin, benar-benar yakin. Bahagia kita yang ciptakan sendiri. Dari kita, oleh kita, untuk kita. Jadi, apalagi yang perlu dikhawatirkan?

Innaa fatahnaa laka fatham mubiina.

Ayat pertama surat Al-Fath. Katanya baca sembilan kali dalam sehari bagi mereka-mereka yang lajang yang menginginkan diberikan kelancaran dalam hal mencari duit buat nikah. Terus dibaca dan didawamkan. Sampai jadi darah, jadi tulang, jadi daging. Dengan begitu, jalan yang ada di depan sana akan bebas hambatan. Aku bisa ngebut tanpa benjut.

Dunia, akhirat, ibadah, menikah....

Ternyata seperti ini rumitnya menyeimbangkan segala sesuatu dalam hidup. Dulu saat kecil, aku sering berpikir betapa akan sangat menyenangkan untuk cepat dewasa. Kalau sudah dewasa, aku bisa kerja, menggapai cita-cita, dapat uang, lanjut menikahi perempuan yang kucintai, membangun keluarga, punya anak yang lucu-lucu, bisa ngasih cucu buat ibu-bapak, hidup bahagia, mati masuk surga. Dan setelah dewasa, ha-ha-ha! Begitulah menjadi dewasa.

Dalam hidupnya, manusia memang akan selalu mengalami fase-fase naif semacam itu. Bukan berarti karena bodoh, tapi karena belum mengerti saja. Dan kita hanya bisa mengerti segala sesuatunya melalui pengalaman, kalau kita mengalaminya sendiri. Bukan dari ceramah ustad-ustad, bukan dari nasihat orang tua, bukan dari tukar pikiran bareng kawan-kawan terbaik. Hancur leburnya hidup, kita sendiri yang kudu menghadapinya.

Barangkali di dunia kita bisa berlindung pada orang-orang, pada keluarga, pada kerabat, pada kawan-kawan terbaik. Namun di akhirat, saat ditanya mengapa kita melakukan ini dan itu, kita tak bisa menjawab karena disuruh si anu, atau ikut si anu, atau sesuai nasihat si anu. Tak akan ada pertolongan, tak mungkin minta bantuan. Hanya diri sendiri yang bisa diandalkan. Dunia dan akhirat, ibadah dan menikah, pada akhirnya semua itu hanyalah soal-soal ulangan semata. Ulangan untuk menguji sejauh mana sebagai manusia, kita bisa memahami maksud-maksudNya.

Jadi, adakah yang bisa kulakukan selain daripada terus menapaki jalan ini dan bersiap untuk hancur lebur? Bersiap untuk segala soal yang sukar ditakar seberapa sulitnya? Tapi toh aku tetap yakin. Percaya bisa mengerjakan ulangan dengan baik. Bukankah Tuhan akan selalu memberi soal sesuai dengan kemampuan kita?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Kereta Malam