Dunia Tanpa Tambeng Kecobung

Seminggu tumbang dan di pikiranku hanya ada tambang. Newcastle United semakin di depan, Manchester United masuk koalisi. Belum lagi katanya Liverpool juga menaruh minat dan tertarik. Bukan main. NU dan MU: dipisahkan tahlil, disatukan Bahlil. Soal qunut mereka gelut, tapi soal tambang, siapa yang tak sayang?

Aku pikir-pikir, kalau disebut salah ya tak salah. Disebut keliru, kelirunya di mana? Toh tak ada peraturan yang dilanggar. Mau itu ormas, orba, orla, ordal, siapa pun itu, dari zaman jebot juga sudah banyak yang mengelola tambang. Sah-sah saja. Asal tebal kulit wajah. Asal nanti jangan mengeluh jika orang sudah tak mau lagi mendukung NU, misalnya. Sebab legitimasi moralnya sudah tak ada, dan kalau sudah begitu, tak mungkin lagi bisa jadi klub yang disayang suporter.

Di awal kukira soal tambang tak akan seserius ini. Namun lama-lama, mencekam juga rasanya. Dalam rangka membela ubaru—soalnya ulama sudah ketinggalan zaman—ketua gerakan pemuda suporternya sampai bilang begini:

“Siapa pun yang berdemo di depan kantor Newcastle United, apa pun alasannya, akan berhadapan dengan kami.”

Lalu katanya ketua sampai mau menyiagakan delapan juta pasukan untuk menjaga kantor, dan lagi-lagi dengan penuh semangat berpidato, “Kalau ada demo, langsung gebuk dan sikat.”

Buset. Ngeri amat. Dipikir umat semacam kasur dan sepatu sampai-sampai kudu digebuk dan disikat. Urusan perut memang tak pernah sepele. Hanya perihal orang mengemukakan pendapat sudah langsung diancam begitu. Kalau begitu, kita punya kepala, terus sekolah, apa gunanya jika tak boleh berpikir? Yah, yah. Barisan keruk rendang serba guna.

Padahal umat sebetulnya tak perlu-perlu amat duit. Kepala BKKBN sudah bilang keluarga di kerajaan ini bahagia walau hidup dalam ekonomi pas-pasan. Jadi, santai saja harusnya. Tak perlu takut kehabisan harta di perut bumi. Selow. Hidup selow walau miskin. Tetap nganggur walau tak punya uang. Tak perlu panik. Rezeki sudah ada yang ngatur. Kalau belum datang padamu, mungkin sudah dipotong pajak. Kalau masih belum datang padamu, barangkali sudah dikantongin para pejabat. Kalau masih belum datang juga padamu, siapa tahu rezekimu nyasar ke rekening aparat yang hobinya gebukin orang-orang kecil itu. Sederhana saja.

Hidup di zaman dinasti keluarga Kerajaan Masapahit tak perlu repot. Tak perlu repot sekolah, tak perlu repot berpikir, apalagi repot-repot mengejar karir secara serius. Semua itu tak perlu. Karena raja Masapahit sudah memberi teladan dengan sebaik-baiknya teladan. Tak perlu berusaha mati-matian, apalagi berdoa sampai berbusa-busa. Jika hidup ingin aman dan sukses, tinggal asah saja kemampuan untuk menjilat hingga terbentuk mental culas yang kuat. Nah!

Hanya itu yang diperlukan. Mudah, kan? Otak yang cemerlang ditukar saja dengan kepala kosong yang pandai menunduk. Hati nurani yang baik dibarter saja dengan kemunafikan. Dijamin, hidup akan enak. Tak perlu jujur, tak perlu cara-cara yang baik. Menabung saja yang rajin untuk menyogok. Ingin punya jabatan, sogok. Ingin naik jabatan, sogok. Ingin punya kedudukan, sogok. Ingin lolos jadi aparat, sogok. Ingin lolos kerja di pemerintahan, sogok. Sogok tak perlu kagok. Sogok sampai mentok.

Tak ada yang mustahil di kerajaan ini. Bankir saja bisa jadi menteri kesehatan. Ketua tim relawan bisa jadi menteri komunikasi, bos tukang ojek bisa jadi menteri pendidikan, pejabat bisa tiba-tiba jadi guru beser—eh maksudnya besar. Aman, semua bisa diatur. Malah sekarang, katanya banyak aparat sedang mengusahakan biar mereka bisa kembali menduduki jabatan publik, biar bisa bisnis lagi, biar kedua kakinya jalan lagi—memang 32 tahun belum cukup, komandan?

Aman, tinggal diatur.

Tak perlu khawatir. Kebijakan-kebijakan dari sang raja juga oke-oke kok. Pemerintah bilang kalau childfree tak baik buat kerajaan. Saat ada ibu muda dari kalangan menengah dan bawah lahiran, lalu kena stres karena banyak yang kudu diurus, ekonomi tak stabil karena baru lahiran, ditinggal suami kerja soalnya tak ada cuti ayah yang cukup, lalu pilih resign dari kerjaan tapi malah kehilangan setengah penghasilan, lalu kena post-partum depression, lantas hormon bergejolak tak karuan, ASI keluarnya sedikit karena makin stres, dan tentu perlu susu formula biar kebutuhan bayi tercukupi. Dan apa kebijakan pemerintah? Yap, betul. Baginda raja resmi melarang produsen susu formula beri diskon ke pembeli. Bagaimana hal itu tak oke?  

Kadang aku ingin berdoa begini. Mudah-mudahan kelak Jan Ethes salah pergaulan. Ia belajar filsafat, lalu membaca buku-buku kiri, suka punk dan musik setan, sering bolos kuliah karena malam-malamnya hanya dihabiskan untuk menenggak ciu, kemudian bikin tato gambar Bob Marley di dada kiri, dan lantas jadi anarko. Eh, jangan salah sangka. Berdoa yang jelek memang tak boleh, aku tahu. Tapi bukankah aku hanya sedang mendoakan biar negeri ini jadi baik?

Yuk mari kita doakan sama-sama. Biar negeri ini tak berubah jadi kerajaan KONOHA alias Kingdom of Nepotism, Oligarchy, and Hidden Ambitions. Sudahlah. Maksudku, gantian loh. Jangan diborong sendiri dong. Gantian, oke? Biar negeri ini tak terus-terusan jadi Negeri Konten Republik Influencer alias NKRI gaya baru.

Astagfirullah!

Yah, Ya Allah. Mudah-mudahan syahidnya Ismail Haniyeh dan naiknya Yahya Sinwar jadi panglima tertinggi bisa mengubah keadaan ini. Semoga. Dengan keyakinan penuh, apa sih yang tidak mungkin?

Sudah pasti keadaan tak akan selalu begini. Sudah pasti keadaan tak akan selalu seperti ini. Keadaan akan berubah, keadaan akan kembali berbuah yang manis-manis. Di tangan orang-orang tepat, di tangan orang-orang beriman yang takut kepadaMu, dunia akan berubah. Penguasa-penguasa zalim akan kena batunya, pejabat-pejabat lacur akan merasakan akibatnya, praktik-praktik nepotis dan korup dan sogok-menyogok akan hanya tinggal catatan kelam masa lalu.

Dan tak lupa. Sekarang memang sudah saatnya kita meneladani Dua Lipa. Pendirian dan keyakinannya sungguh patut dicontoh. Coba saja dengar apa yang ia bilang, “I don’t care if I’m harassed, blacklisted, or denied work opportunities… the cause is bigger than me.”

Resist!

Memang telah sepatutnya kita meneladaninya. Meski kalau konser ia hanya pakai kutang dan rok sependek mungkin, tapi siapa peduli? Selain cantik, ia juga orang baik yang mau melawan kok. Mari kita lawan. Mari melawan! Biar duit pajak yang 400 miliar tak dialokasikan ke IISMA. Sebab kalau larinya ke sana, duit itu hanya dipakai middle dan upper class jalan-jalan ke luar negeri selama satu semester. Yok lawan! Biar duit 400 miliar itu bisa dipakai buat menyekolahkan 4000 mahasiswa teknik di ITB sampai lulus dengan UKT termahal. Aku yakin, 4000 mahasiswa itu dampaknya akan jauh sangat besar dibanding IISMA.

Jika dilawan, meski sering kalah, tapi kalau tetap melawan, setidaknya kita bisa bikin hidup mereka tak tenang. Biar mereka tahu kalau di dalam rumahnya yang agreng itu tertanam bom waktu yang siap meledak kapan pun. Biar mereka tahu kalau di dalam mobilnya yang mewah itu tertanam bom waktu yang siap meledak kapan pun. Biar mereka tahu kalau di balik bantalnya yang empuk itu tertanam bom waktu yang siap meledak kapan pun. Biar mereka tahu, kalau di dunia ini, tak ada tempat yang benar-benar aman untuk garong seperti mereka.

Insyaallah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

Kereta Malam