Kereta Malam
Setiap perjalanan membawa kisah. Setiap
kisah menyajikan pengalaman, dan setiap pengalaman memberi pelajaran-pelajaran
baru. Itulah mengapa manusia fanatik sering kali disebut manusia yang “kurang
jauh mainnya”. Manusia yang hidupnya tak bertambah baik walau sejengkal pun.
Orang yang tak ke mana-mana hidupnya
pun tak akan ke mana-mana. Di sepanjang hidup yang pendek ini, usahakanlah
untuk melakukan perjalanan. Upayakan untuk terus melangkah, berjalan. Guna
menyusuri tempat-tempat baru, agar bisa merasakan suasana-suasana magis. Tempat
baru selalu diisi orang baru. Begitupun suasana magis, tak mungkin kita
merasakannya di tempat biasa menghabiskan hidup.
Hidup yang tak ke mana-mana membuat
diri tak luwes, tak tanggap, tak cekatan. Hidup semacam itu hanya akan bikin
tumpul kemampuan improvisasi. Sebab itulah melakukan sebuah perjalanan teramat
penting. Karena hidup sering kali tak bisa dijalani dengan datar dan lempeng
saja. Sering kali hidup kudu dijalani dengan penuh improvisasi.
Dan seminggu terakhir aku pun
kembali. Menziarahi rahim yang melahirkanku ke dunia. Mengunjungi
ingatan-ingatan lama, menyelesaikan urusan-urusan yang belum tuntas. Apa setiap
urusan memang bisa dituntaskan? Bukankah hidup adalah jalan panjang yang tak
pernah berakhir? Tuntas, tidak tuntas, apa pentingnya?
Well. Setidaknya kali ini aku
kembali bukan untuk mengenang segala hal yang telah usang. Aku kembali justru
untuk menulis kisah baru bersamamu. Bersama perempuan yang semalaman merebahkan
diri di pangkuanku. Bersama perempuan yang selalu percaya kalau aku bukanlah
sampah, melainkan ikan laut yang salah gaul saja.
Dari Barat yang dingin kita duduk
bersama, berdua merangkai kisah di kereta. Kamu tampak begitu senang. Entah
karena kamu akan menghabiskan malam bersamaku, atau karena sumringah sebab akhirnya
bisa liburan, aku tak tahu. Tapi aku sih yakin saja. Di hidupmu kini, aku
seperti halnya charger yang tak mungkin kamu lepaskan. Bagaimana
denganku? Tentu saja aku sangat senang. Senang tak kepalang. Bahagia bisa
selalu berdua. Semoga seterusnya bisa seperti itu.
Aku harap perjalanan ini bisa sampai
ke tempat yang paling kita inginkan: ke danau dekat taman yang di pinggirnya
terdapat pohon beringin. Aku harap kita sampai di sana. Tempat kelak kita akan
saling bersumpah untuk hidup dan menghidupi. Di sanalah stasiun terakhir dalam
perjalanan cinta ini. Tapi sebelum sampai di sana, rasanya aku perlu belajar
banyak hal. Banyak sekali hal penting. Dan di antara banyak dan pentingnya, mulai
belajar membaca perasaanmu adalah yang utama.
Sampai kapan pun aku tak akan mampu
meyakinkanmu, jika belum mahir membaca perasaanmu. Perasaanmu itu, yang seperti
arah dan cuaca. Aku katakan ini yang utama karena, bukankah kita merencanakan
untuk berlayar bersama mengarungi pernikahan? Dalam gelombang pernikahan, di
tengah samudera rumah tangga, punya kapten kapal yang mengerti arah serta cuaca
adalah hal utama. Pernikahan hanya akan tenggelam tanpa pemimpin yang mahir. Rumah
tangga akan terjun ke dasar samudera kalau hanya mengandalkan kapten bodoh.
Maka di tengah perjalanan ini, ketika
kamu sedang merebahkan diri ke pangkuanku, selama itu pula aku berpikir dan
bertanya:
Apa aku pantas untukmu? Pantas, tak
pantas, apa sih ukurannya? Dari mana aku harus memulai menjawabnya? Bibit,
bebet, bobot? Fisik, nasab, harta, agama?
Apa aku sudah mampu? Mampu, tak
mampu, bagaimana pula cara mengukurnya? Kerjaan? Penghasilan? Kepastian karir? Dalam hidup; apa ada yang pasti?
Apa kamu benar-benar mencintaiku dan
menginginkanku? Apa kamu benar ingin hidup bersama sampai mati? Apa benar sudah
yakin? Mengapa aku harus menanyakan kembali hal-hal semacam ini?
Kereta menyalang panjang, ditelan
terowongan.
Adam
Adam bukan nabi. Melainkan kawanku
yang sedang merencanakan untuk membawa kekasihnya kawin lari. Tentu saja apa
yang direncanakannya bukan untuk sekadar gaya-gayaan, atau sekadar konten berisi
romantisasi pemberontakan. Ia memang bukan nabi, tapi perilakunya bolehlah
dibilang mirip. Sama-sama selalu berontak. Sama-sama pemberontak. Masing-masing
punya dosa besarnya.
Namun menurutnya bukan dosa besar
kalau ia lantas ingin mengajak kekasihnya kawin lari. Sebaliknya, itu merupakan
tindakan mulia.
“Bukankah menyelamatkan kekasih dari jeratan
rindu berkepanjangan adalah mulia?” begitu kalimat pembelaannya.
Manusia hakikatnya terlahir bebas. Bukankah
Allah bilang kalau anak hanya titipan? Maka jika ada orang tua bengal yang
kepala batu menghalang-halangi atau lebih parah tak merestui pilihan cinta
anaknya, bukanlah dosa besar jika ia menculik dan mengajaknya kawin lari. Karena
hakikatnya, ia sedang membebaskan sang kekasih. Ia tengah mengembalikan sang
kekasih kepada fitrahnya.
Semangat berontaknya memang sedang
berkobar, tapi bukan berarti Adam tak pernah ragu. Setiap hari ia merasa yakin
sekaligus ragu. Ia yakin, malah haqul yaqin mengimani kalau metal adalah
sebenar-benarnya jalan hidup. Metal adalah apa yang di dalam surat Al fatihah
disebut ihdinasshiratal mustaqiim, jalan yang selurus-lurusnya. Tapi di
sisi lain ia ragu saat hendak muroja’ah. Apa ia harus memulainya dengan muroja’ah
lagu-lagu Metallica terlebih dulu, atau Gojira, atau Burgerkill? Ia
mengimani semuanya, ia mengimani jalan metal itu. Tapi dari mana ia kudu
memulai?
Itulah soalnya. Adam bingung dari
mana kudu memulai pemberontakannya. Ia tak mungkin tiba-tiba loncat ke Jakarta,
menculik kekasihnya, lalu pergi membawanya ke Cilacap. Ia pun tak bisa
tiba-tiba membawa lari kekasihnya ke tempatnya sekarang. Karena tempatnya yang
sekarang tak benar-benar diinginkannya. Meski ide untuk mengkudeta Yayasan
telah jauh tertanam di dalam otaknya, tapi kalau mengingat bagaimana ia dibesarkan,
tak mungkin ia tega melakukannya. Jadinya setiap hari ia hanya melamun sambil mosing
di kamar.
Aku sempat menanyakan hal ini
padanya. Mengapa kalau sedang jangar ia senang mosing dan mengangguk-anggukkan
kepalanya seperti itu. Ia menjawab begini:
“Mosing lebih nikmat dari ngising. Awalnya
memang pusing, berputar tak karuan seperti gangsing. Tapi bukankah dzikir
paling nikmat itu adalah saat kita sedang membanting kepala ke kiri-ke kanan
sambil mengucap laa ilaa ha illallah keras-keras? Nah! Sebetulnya mosing
adalah alternatif dzikir. Mosing adalah jalan lain menuju kepada-Nya.”
“Anjing!” Kutepuk bahunya.
Adam bingung menahun, tak bisa
menahan keinginannya untuk menikahi kekasihnya. Ia sering bilang padaku. Tahun ini
sepertinya sudah waktunya kami menikah. Bukan karena semata-semata aku telah
Islam kembali atau karena ia telah mengganti rokoknya ke Aroma. Tapi karena ia—aku
pun memang sudah lama memikirkan hal ini—tahu kalau kami tak akan bertambah
muda. Sementara dunia semakin kencang berlari, kami tak boleh membiarkan diri
terseret Gen-Z begini. Kami tak boleh terus-terusan jadi korban buku dan musik.
Kami harus berani berlari, bertarung, dan memberontak pada kopi dan nongkrong
yang nikmat.
Yusuf
Yusuf juga bukan nabi. Melainkan kawanku
yang hobinya memandang seseorang dengan sebelah mata. Tak peduli bajingan atau
orang saleh, ia adil memandang keduanya sebelah mata. Dunia yang brengsek ini
pun dipandangnya sebelah mata. Walau begitu ia bukanlah pengikut Dajjal—astagfirullah.
Ia hanya lelaki yang menggantungkan hidupnya pada mata dan lensa. Seorang
fotografer honorer.
Kebiasaan memandang sebelah mata
melatih Yusuf untuk jadi orang jeli sekaligus konkret. Ia selalu jeli
memerhatikan segalanya. Terutama apakah perempuan yang disukainya punya
semangat untuk selalu belajar agama atau tidak. Urusan salat, puasa, zakat
apalagi syahadat, biarlah itu jadi urusan masing-masing. Ia hanya berusaha jeli
menilai hal baik apa yang kemudian bisa lahir kalau kelak menikah dengannya. Selanjutnya
ia selalu menawarkan hal-hal konkret pada perempuan. Saya kerjanya ini,
penghasilan segini, punya sampingan motret, belum punya rumah apalagi naik haji.
Jadi, mau lanjut ke pernikahan atau tidak? Maka tanpa perlu drama dan
basa-basi, sepuluh bulan yang lalu ia pun menikah.
Sebagai fotografer honorer, Yusuf
selalu punya pandangan menarik. Ia selalu punya alternatif atas segala sesuatu
yang mubazir. Sesuatu yang ditawarkannya tak selalu baru, memang. Tapi alternatif
yang ditawarkannya merupakan ringkasan dari gambar-gambar dan konsep rumit. Apa
yang dikatakannya kepadaku, perkara pernikahan, merupakan perpaduan dari upaya
berulang dan doa yang itu-itu juga.
“Bagaimana kita tahu kalau diri ini
benar-benar telah siap menikah?”
“Bukannya kalau menginginkan sesuatu doa-doa
kita akan benar-benar khusyuk? Mulai dari situ saja,” katanya.
Apa yang antum katakan itu well, kawan.
Setiap orang pasti pernah merasakannya. Maksudku, setiap orang yang beriman pada
Allah—bagi yang tidak beriman boleh dilewat saja bagian ini.
Ketika sedang benar-benar ingin
sesuatu, entah itu permohonan, permintaan, pengaduan, apa pun itu, doa-doa memang
selalu lebih dari biasanya. Bukan hanya khusyuk tapi juga kencang dan tak kenal
waktu apalagi lelah. Setiap hari terus dipanjatkan, setiap waktu selalu
didengungkan, setiap saat melulu diterbangkan. Tak peduli cuaca, tak cemas
walau terdapat kemungkinan doa-doa kita nyangkut di mega-mega. Kita akan terus
berdoa dan berdoa sampai doa-doa itu merupa nyata.
Berarti mudah sekali mengukur diri
apakah sudah siap atau belum. Apakah doa-doaku sudah well well well seperti
itu?
Kemudian aku bertanya lagi padanya. Setelah
menemukan perempuan, seorang pasangan, bagaimana kita yakin kalau perempuan
ini, perempuan yang menjadi pasangan kita sekarang, bagaimana kita yakin ia
adalah orang yang tepat. Tepat atau tidak, apakah sepenting itu?
“Yang penting punya core yang
sama.”
Core atau inti yang sama, fondasi
utamanya. Dalam segala hal, ke depannya, core inilah yang akan
menyelamatkan atau malah membinasakan rumah tangga. Core, inti, dasar, prinsip,
atau Bung Karno sering menyebutnya sebagai weltanschauung. Jadi saat ada
masalah atau perdebatan, diri masing-masing bisa kembali ke titik pandang yang
sama guna mencari solusi.
Umpamanya. Ketika sudah menikah antum
dan istri berdebat soal pemasukan yang tak pernah cukup untuk kebutuhan hidup
bersama. Antum yakin kalau rezeki akan selalu ada dan berlipat ganda. Rezeki akan
selalu ada selama giat bergerak mencari, dan akan berlipat ganda kalau pandai
mensyukuri. Tapi istri antum keukeuh bilang kalau alasan tadi hanya
bagian dari pembenaran seorang suami yang tak becus kerja. Ia percaya kalau
pemasukan bisa kencang jika kaffah manut pada Adam Smith. Begitulah masalah
antum dan istri tak akan pernah ada solusinya, tak pernah selesai. Antum core-nya
konsep Islam, istri antum core-nya konsep Adam Smith.
Kalau dari awal core-nya sudah
beda, mending realistis saja. Mending sepakat berpisah dan cari yang lain. Konkret.
Tak banyak drama, tak perlu sampai saling melukai. Tak perlu bersandar pada
cinta yang hanya akan bertahan selama beberapa bulan saja. Sebab biasanya,
banyak dari kita memaksakan untuk tetap lanjut ke pernikahan walau tak punya
inti sama. Alasannya? Takut kehilangan karena telanjur cinta.
Hmmm. Cinta, kehilangan, pernikahan. Jalinan
benang kusut ini….
Islah
Kawan yang satu ini aku yakin benar
bukan nabi. Melainkan waliyullah yang diselundupkan untuk jadi anak
seorang kiai.
Islah merupakan seorang “Gus” yang
punya pengaruh melebihi bandar narkoba paling kesohor di New Mexico: Gustavo
Fring. Jika Gus dari New Mexico hanya menyebarkan, bertransaksi dan menguasai dunia,
Gus dari Tegal ini sungguh telah jauh melampauinya. Ia tak hanya menyebarkan,
bertransaksi, dan menguasai alam fisik saja, tapi sekaligus alam metafisik. Kemampuannya
tak perlu diragukan. Saking canggih ilmunya, konon katanya Gus Islah ini bisa meruqyah
orang hanya melalui video call. Buset.
Sakti bukan sembarang sakti. Tapi bukan
itu yang aku cari saat menemuinya di Solo. Selain ingin bercerita tentang
hidupku yang berubah drastis sejak peristiwa mencium tangan Habib Luthfi, aku
terutama ingin mengajukan beberapa pertanyaan padanya. Pertanyaan yang sama
sebagaimana kutanyakan pada Yusuf.
“Bagaimana kita tahu kalau diri ini
benar-benar telah siap menikah?”
Sebelum tersenyum santai, Gus
berpikir sejenak. Ia mengambil sebatang Surya 16, menyalakannya dengan cara
seorang kawakan. Gus mulai menjawabnya dengan satu dawuh seorang kiai dari Kediri.
Nek wani ojo wedi, nek wedi ojo wani-wani.
Kalau sudah berani jangan takut,
kalau takut maka jangan berani-berani. Begitu kira-kira tafsir kasarnya. Jadi,
apakah seseorang bisa dikatakan siap nikah atau belum bisa dijawab dengan dawuh
tadi. Jika dalam dirinya sudah muncul keberanian untuk menikah, maka berarti ia
telah siap, dan jangan takut apalagi mundur. Namun jika dalam dirinya masih
terdapat ragu walau secuil, maka tak perlu coba-coba apalagi memaksakan diri.
Lantas bagaimana keberanian itu
diukur? Ukurannya adalah seseorang sudah berani bertanya tentang pernikahan.
Sesederhana itu saja. Hidup aslinya sederhana kok, yang rumit hanya tukang
seblak yang mencampur segala jenis kerupuk dengan nyaris seluruh jeroan dan
potongan ayam.
Tapi meski begitu, kita tetap tak
boleh tergesa. Segala sesuatunya perlu pertimbangan matang. “Dan bagaimana kita
tahu bahwa pasangan kita sekarang adalah calon istri atau suami yang tepat?”
Itu bisa dijawab sesederhana ini
juga. Sesederhana, sejauh mana masing-masing diri mampu berkompromi. Sejauh mana
setiap pasangan mau sama-sama mencari jalan tengah di tengah ego yang
berkecamuk. Jalan tengah untuk maslahat, untuk kebahagiaan bersama. Sebab dalam
rumah tangga tak ada lagi kebahagiaan individu, yang ada hanya kebahagiaan
bersama. Tak ada keputusan suami atau istri, yang ada keputusan keluarga.
Banyak pernikahan gagal karena batas
kompromi antar pasangan jauh berbeda. Banyak rumah tangga hancur karena keluwesan
kompromi pasangan bagai bumi dan langit. Kalau dari awal memang sudah tahu
batas kompromi masing-masing dan ternyata cocok, lanjutkanlah hubungan ke pernikahan.
Tapi jika tidak, kita ini sudah dewasa. Berpisahlah secara baik-baik, tak perlu
dilanjutkan.
Alangkah!
Aku lupa kalau diri sudah berumur
begini. Balap lari dengan Gen-Z saja keteteran. Disuruh mengejar teknologi juga
sudah kepayahan. Benar, benar. Sudah sepatutnya apa-apa yang akan dikejar
disikapi dengan cara dewasa. Dengan cara tidak memaksakan segala sesuatu.
“Tapi nek wani, gas aja!”
___
Lubang panjang ini melahirkan
lolongan kelam. Malam rintik-rintik, sunyi bintik-bintik. Di sepanjang rel ini
kereta hanya bisa melaju. Cepat, pelan, mendadak ngerem. Kadang kupikir
kehidupan pun begitu. Hidup kadang terasa cepat, kadang pelan. Lain kali
ngebut, tapi bisa ngerem tiba-tiba.
Kupikir-pikir. Sepertinya hidup hanya
soal melaju. Tujuan bukanlah akhir, melainkan hanyalah persinggahan baru. Tempat
memulai kembali. Ladang amal bagi para pelaku. Mereka yang benar-benar sadar
akan takjub membayangkan kemungkinan-kemungkinan teramat luasnya. Sedangkan mereka
yang abai hanya akan menyentuh dinding prasangka.
Jadi, melaju saja. Memang penting
punya tujuan, tapi kalaupun belum tak mengapa. Terus saja melaju susuri rel. Syukur
jika berhasil. Atau kalaupun gagal, bukankah sudah biasa? Pelan-pelan. Kalem. Selow.
Tapi boleh cepat asal selamat. Bisa setapak demi setapak asal sampai.
Di sepanjang rel kereta ini. Perjalanan
tentu akan banyak berkelok. Gerbong bergoyang, keyakinan terguncang-guncang. Daun
pintu menari-nari, menggoda malam, menjerat rembulan, merayu bintang-bintang. Malam
sempurna. Kamu masih merebahkan diri di pangkuanku.
Komentar
Posting Komentar