September Sebelum Sirna
“Apakah kamu
menikah karena cinta yang penuh gairah atau tanpa cinta sama sekali—apakah itu
penting?”
3 Tahun–Anton Chekhov.
Aneh. Mendadak wajahmu mengepung
setiap hendak tidur. Minggu-minggu ini. Sebenarnya sudah lama tapi baru
kusadari akhir-akhir ini. Semua tiba-tiba. Kejadian banyak yang tak terduga. Namun
bukankah hidup memang begitu? Selalu tak bisa ditebak. Mesti penuh kejutan. Selalu
menyuguhkan hal-hal tak terduga. Termasuk wajahmu itu. Padahal belum lama
mengenalmu tapi rasanya sudah begini. Aku merasa kita sudah saling mengenal
sejak sedari lama. Sudah seperti anggrek yang lengket di pohon mangga; sulit
dipisahkan dan kalaupun bisa, salah satunya akan meranggas. Padahal, padahal
kita tak pernah menghabiskan waktu bersama kecuali pada sore itu. Sore yang—kalau
dipikir-pikir—lucu juga.
Tentang hal-hal yang belum selesai. Aku
mengerti. Sangat, sangat mengerti. Bukan hal mudah melupakan pengalaman-pengalaman
pahit, kenangan-kenangan manis, dan mimpi-mimpi yang sudah direncanakan
bertahun-tahun bersamanya. Masa muda memanglah masa-masa yang manis. Masa-masa
saat kita begitu naif dan percaya kalau segalanya sangat mungkin dicapai dan
diwujudkan. Tak ada yang mustahil. Segalanya terasa mungkin. Angan-angan kita memang
kadang keterlaluan. Kita ingin hidup sebagaimana pikiran menginginkannya. Lupa kalau
hati seseorang begitu mudah berubah.
Setelah bertahun-tahun lamanya
menjalin hubungan, kau dan aku kemudian berakhir di pelaminan. Tetap berdiri
walau pegal, tetap tersenyum meski sebenarnya muntab, tetap menyalami tamu-tamu
walau sebenarnya kita sudah lelah dan segera ingin berbaring di ranjang sampai
subuh. Tapi toh kita tetap di sana, di atas pelaminan, berbahagia atas nasib
baik yang rela datang jauh-jauh. Tirai ditutup dan berganti. Adegan-adegan
bergeser ke tempat tidur. Setelah lelah seharian menyalami orang-orang yang
sebagian banyak tak dikenal, kita saling menatap dalam. Saling mengucap dan
mengecup. Oh, betapa beruntungnya kita bisa menikah. Kita menikah dalam keadaan
saling mencintai. Sebab ada yang bilang, tak ada hubungan antara cinta dan
menikah; cinta ya cinta, menikah ya menikah; dan hanya orang yang beruntung
yang bisa menikah dalam keadaan saling mencintai.
Setelah puas saling mengecup, kita
saling menanggalkan pakaian sembari saling menyentuh, mengusap, meraba. Kau dan
aku ingin saling mengenal lebih jauh dalam keadaan telanjang sebagai upaya menyatukan
diri. Sebagai ritual penyatuan hati. Dalam ketelanjangan, tak ada lagi kepura-puraan.
Tak ada lagi yang kudu ditutup-tutupi.
“Sepertinya asik kalau dilanjut di
kamar mandi?” Kataku.
Kau senyum, malu-malu tapi toh
melangkah juga mengikuti tanganku. Di dalam bak mandi kita saling menggosok
tubuh; tangan, punggung, dada, paha. Kita saling menyabuni sambil memainkan
busa-busa. Di sela-sela itu tentu saja kita tak henti berciuman setiap ada
kesempatan. Saling merengkuh, saling memijat. Lelah sirna. Tak ada lagi yang
tersisa selain senyum di bibir dan kebahagiaan di hati kita.
Selesai membersihkan diri dan kita
kembali ke ranjang, berbaring di sana. Kita sama-sama mengantuk tapi enggan
melepaskan momen ini begitu saja. Perasaan cinta ini, gairah ini, bagaimana
kencangnya jantung berdegup, sudah pasti tak akan terulang sampai kelak kita
mati. Sudah pasti tak akan. Perasaan cinta ini, gairah ini, jantung yang
berdegup kencang ini, hanya bisa kita rasakan saat ini. Kita kembali saling
mengecup dan mengucap kata-kata cinta. Sebelum malam habis ditelan sunyi,
akhirnya kita pun menyatu di peraduan terakhir.
Setahun berlalu dan kau melahirkan
anak kita. Anak yang ternyata sudah pandai sejak dalam kandungan. Dokter kandungan
yang memeriksa kandunganmu yang berkata jenis kelaminnya laki-laki ternyata kena
gocek. Dan ia terlahir sebagai bayi perempuan yang teramat cantik. Bayi
perempuan itu kita beri nama …. Sebaiknya kita simpan dulu namanya. Pokoknya ia
cantik melebihi dirimu. Kau tahu tak perlu cemburu pada kecantikannya. Sebab toh
kecantikannya itu merupakan perpaduan dari kita berdua. Jadi wajar bisa melebihi
dirimu. Ia tumbuh semakin tinggi semakin besar semakin pandai semakin cekatan.
Perlahan kita pun membangun rumah. Rumah
Impian dengan taman, kebun, sawah, hutan, dan kamar mandi besar yang di
dalamnya terdapat tempat berendam seperti di telaga. Kita memang cekatan karena
sudah memikirkan segalanya secara matang. Kita ingin resepsi pernikahan yang
sederhana karena kita tahu sebaiknya sebagian besar uang tabungan dilarikan
untuk membeli tanah dan membangun rumah. Rumah pun jadi dan rasanya hangat dan penuh
cinta dan kebahagiaan.
Si cantik anak kita semakin besar
saja dan semakin besar pula pemasukan ke kantong kita. Karirmu beranjak naik. Kau
jadi PNS dengan golongan cukup tinggi. Kau begitu menikmati pekerjaanmu. Kau senang,
kau bahagia, karena mengajar memang salah satu caramu untuk menemukan diri
sendiri. Aku pun demikian. Novel-novelku perlahan diterbitkan. Aku diundang ke
sana ke mari mengisi diskusi dan bedah buku. Atau diminta untuk sekadar mengisi
pelatihan menulis. Aku sering ke luar kota meninggalkanmu tapi kau tetap merasa
senang. Karena sesekali kau bisa ikut menebeng berlibur. Aku pun seperti
dirimu, yang teramat senang kalau sesekali bisa menjemputmu selepas mengajar.
Di tahun-tahun berikutnya kau kembali
melahirkan…. Bukankah sudah kukatakan angan-angan memang terkadang keterlaluan?
Dan yang bisa menyembuhkan segalanya
hanyalah waktu. Dan yang bisa menyembuhkan dirimu hanyalah waktu. Maka aku
mengerti. Sangat mengerti apa yang kau rasakan.
Kau perlu waktu untuk memulihkan
diri. Untuk menyembuhkan segala luka akibat masa mudamu yang naif. Kau kudu
melakukannya perlahan dan hati-hati. Tak bisa diburu-buru, tak mungkin
dipaksa-paksa. Sebab fatal jadinya kalau begitu. Sudah tepat kau tak membuka
hatimu kepada siapa pun. Sudah benar kau mengalirkan seluruh tenagamu hanya
kepada dirimu dan bukan yang lain. Kepada mimpi-mimpimu. Kepada cita-citamu. Kejarlah
sampai dapat. Wujudkanlah sampai berhasil. Toh akhirnya, aku akan tetap di
sini.
Komentar
Posting Komentar