Sang Juru Selamat
Alangkah konyolnya kehidupan. Orang mengaku beriman tapi tak iman pada akal sehat. Padahal syarat utama beriman adalah berakal sehat. Tanpa akal sehat, mengapa juga malaikat kudu repot mencatat apa yang dilakukannya? Dilirik saja tidak apalagi dicatat. Banyak orang mengaku beriman. Salat selalu tepat waktu. Di masjid tak pernah kelewat. Tapi sering kali kelakuannya kelewat batas seperti orang yang tak beriman. Barangkali mereka memang tidak beriman, sebenarnya. Hanya pura-pura. Biar terlihat mentereng di hadapan mertua. Agar tampak saleh di mata anak-anaknya. Supaya seperti orang-orang yang sudah mendapat jaminan surga tindak-tanduknya.
Orang-orang yang mengaku beriman itu
mengkhianati akal sehatnya. Atau mungkin, sebetulnya akalnya memang tak pernah
sehat dan sakit-sakitan. Makanya mereka berani main belakang. Soalnya, mana ada
orang akalnya sehat tapi kelakuannya mahiwal. Seperti cerita yang datang dari sebuah
tanah. Tanah yang jauh dari pantai tapi yang dekat dari gunung. Tepatnya di
kaki gunung yang dingin berangin. Orang-orang yang mengaku beriman, di sana,
sedang mementaskan sandiwara. Judulnya, Sang Juru Selamat: Sodom.
Baginda Sodom yang Mulia datang lagi
setelah hampir lima tahun buron. Buron bukan sembarang buron. Ia buronan lihai.
Pandai bersilat, piawai bersiasat—meski murahan. Sang Sodom datang atas
dorongan Allah, katanya. Demi menyelamatkan tanah itu dari krisis keimanan yang
disebabkan orang-orang dari Timur. Islam terancam, agama sedang genting. Kudu segera
diselamatkan. Harus segera diambil alih dibetulkan. Untuk kembali dibawa ke
jalan yang lurus. Jalan tanpa hambatan. Jalan yang diberkahi Allah.
Baginda Sodom datang. Disambut sebagai
sang juru selamat. Kata-katanya menyihir orang-orang yang mengaku beriman itu.
Kalimat-kalimatnya seperti sirep, membikin orang-orang yang mengaku beriman tidur
nyenyak. Ialah Sodom Sang Juru Selamat.
“Islam harus ditegakkan! Islam kudu
dibela! Allah musti diturunkan kembali ke tanah ini!” kata baginda Sodom pada
pidato kepulangannya.
Pidato di atas mimbar kekuasaan itu
berhasil. Setidaknya untuk golongan orang-orang yang mengaku beriman tadi. Sebab
setelah ia datang, mereka yang tadinya mati suri segera menemukan kembali
alasan untuk melanjutkan hidup. Buku-buku dihilangkan. Ide-ide segar dibakar. Keceriaan
dimusnahkan. Senyum dan tawa riang hanya dapat dijumpai di dalam tong sampah. Itu
pun kalau tak keburu digondol kucing. Tanah itu kembali ke setelan pabrik. Kembali
memakai jadwal sebagai tuan atas kreativitas. Jadwal seperti di pabrik. Anak-anak
kembali menjadi mesin industri. Pikiran mereka terbelenggu. Tak ada lagi gerak
liar imajinasi. Tak ada lagi derap langkah penuh mimpi. Anak-anak jadi robot. Mulut
dikunci, telinga digembok. Teruslah berusaha kalau ingin masuk surga.
Membentuk pribadi yang beragama,
kalimat pidatonya yang paling awal. Di tanah itu anak-anak adalah lempung. Yang
akan dibentuk sesuka hati sebagaimana keinginan orang-orang yang mengaku
beriman dan Sang Juru Selamat Sodom. Anak-anak tak diberi pilihan kecuali hanya
untuk menurut. Tak boleh berpikir walau punya otak, tak boleh berargumen meski
punya mulut, tak usah bermimpi walau punya kaki sendiri. Lagian, anak-anak tahu
apa sih? Orang dewasalah yang paling mengerti hidup. Karena telah menelan
pahit-manisnya kehidupan. Anak-anak tak akan mengerti. Maka menurut saja supaya
hidup jadi enak. Tak perlu berpikir, tak perlu banyak bicara, tak perlu
bermimpi. Hidup lempeng saja maka akan baik-baik saja. Hidup yang lempeng tak
melahirkan kekecewaan. Sebab kekecewaan hanya lahir dari pikiran dan
mimpi-mimpi besar. Hidup lempeng saja. Potensi tak perlu diasah. Otak biarkan
saja tumpul. Lagi pula buat apa punya otak dan pikiran tajam kalau toh pada
akhirnya hanya jadi penjual sayur di pasar atau kuli bangunan?
Dalam hidup tak perlu logika apalagi
dialektika. Yang penting salat jangan ditinggal, dan itu semua sudah cukup. Tak
perlu literasi karena sebenarnya perut hanya butuh nasi. Maka tinggalkan saja
kebiasaan membaca novel-novel yang tak mencerminkan nilai-nilai keislaman. Angguran
fokus saja menghafal quran. Di kubur yang gelap nanti, bukan novel-novel Seno Gumira
Ajidarma yang akan menjadi pelita tapi quran. Hanya buang-buang waktu jika
hidup dihabiskan hanya membaca novel. Tak ada manfaatnya, yang ada mudaratnya. Dapat
pahala tidak, ganjaran apalagi. Ilmu kosong hati tak terisi. Beda dengan
menghafal quran. Quran adalah segalanya.
“Tanpa quran, manusia bisa apa?” Tanya
Sodom Sang Juru Selamat.
“Bisa bikin instagram buat ikut give
away!”
“Bisa bikin motor buat antar anak
sekolah!”
“Bisa bikin pengeras suara masjid!”
“Bisa bikin hape!”
“Bisa bikin listrik!
“Bisa bikin—”
“Sudah, sudah! Ngawur semua,” bentak
Sang Juru Selamat. Memadamkan teriakan para penonton.
Namun seorang penonton tak kapok. Ia berdiri
dari kursinya, mengangkat tangan. Siapa anda punya hak membentuk mereka? Pendidikan
tak seharusnya menindas, tapi justru kudu jadi bekal bagi anak-anak. Biar anak-anak
itu memilih dan menentukan jalan mana yang akan mereka tapaki.
Ehh. Makanya jangan sotoy! Saya juga
ngajar literasi. Saya tahu literasi itu apa. Saya punya pengalaman. Ini coba, bagaimana
ceritanya brosur tulisannya saya lihat masih banyak yang salah? Literasi apanya?
Dari tanda bacanya, penulisannya, kalimat-kalimatnya, banyak yang salah. Pokoknya
yang salah banyak. Terus saya kan juga tahu literasi itu apa. Nah saya tanya
sekarang, apa pentingnya dan kenapa genre yang dibaca harus genre realisme
sosial?
Si penonton yang ingin mendebat malah
menepuk jidat. Ampun deh. Kok ada ya?
Mang Ustad yang dulu pernah sesumbar akan
membedil Juru Selamat Sodom kalau terlihat lagi di lingkungan tanah itu hanya
diam. Entah apa yang ada di kepalanya. Kalau tak berani rasanya tak mungkin. Kalau
sebenarnya ia pengecut yang senang menjilat ludah sendiri pun rasa-rasanya, masa
iya? Masa iya ustad seperti Mang Ustad takut? Wow! Dua
kata lucu: Mang Ustad.
Semua mata terpana. Setiap tubuh
penonton yang hadir menunduk khidmat mendengarkan pidato Sodom Sang Juru Selamat
yang lamanya hampir dua jam. Semua orang di ruangan itu menunduk malu, merasa
diri telah salah menggarap tanah. Dan kini sang juru selamat telah tiba. Juru selamat
yang akan mengangkat mereka dari kolam liberalisasi. Juru selamat yang akan menunjukkan
jalan pembaharuan yang puritan. Juru selamat yang akan membimbing mereka orang-orang
yang mengaku beriman ke jalan baru penuh kejumudan. Semua orang mengamini perkataannya
kecuali dua orang. Seorang ibu-ibu yang senang menyelamatkan babi-babi dari
kubangan lumpur, dan seorang pemuda yang senangnya hanya tidur dan ngelindur
tentang menulis novel.
Tanah yang salah kelola musti
dikembalikan kepada fungsi aslinya. Yakni untuk menumbuhkan dan membentuk
generasi penurut. Generasi yang giat kerja tanpa banyak tanya. Generasi yang
akan menjalani hidupnya tanpa sekarat oleh mimpi-mimpi yang hanya akan
membebani. Generasi yang beragama—boleh Islam, Nasrani, Yahudi—yang kelak akan
jadi tulang punggung kebenaran. Kebenaran tanpa fanatisme akan kebodohan hanya
ilusi. Baru bisa dikatakan kebenaran kalau anak-anak sudah menurut tanpa banyak
tanya. Benar adalah percaya tanpa banyak bertanya. Sebab pertanyaan tak lain
daripada bentuk keragu-raguan. Dan dunia tak pantas ditinggali oleh para peragu.
Anak-anak harus bergerak seperti mesin. Anak-anak kudu hidup seperti robot. Harapan
kesampingkan, mimpi dibakar saja, dan cita-cita buang ke laut.
Anak-anak yang jiwanya telah diseret Sang
Juru Selamat Sodom ke dalam kegagalan masa lalunya sebagai manusia. Bagaimanapun
sulitnya hidup dalam kekuasaan tiran yang sodom, tetaplah rawat akal sehat. Tak
perlu cemas. Sebab sebenarnya apa yang kita saksikan hari ini bukanlah pementasan
ciamik. Melainkan hanya pertunjukan bunuh diri murahan. Sungguh. Sebenarnya Sang
Juru Selamat Sodom sedang menggali kuburannya sendiri.
2 kata lucu, baginda sodom
BalasHapus