Selangkah Demi Selangkah

 

Dunia ini jungkir balik, jumpalitan, gonjang-ganjing. Sebentar reda, sebentar berguncang. Tak ada yang pasti, yang ada hanya mesti. Aku mesti mengikutinya saja karena kalau tidak, bisa-bisa malah celaka. Meski sebenarnya aku sudah tak peduli. Mau celaka, tak apa. Mau nyuksruk, sudah biasa. Tapi yah, namanya manusia, hidup, tetap perlu diperjuangkan walau dengan patah-patah. Selangkah demi selangkah. Inginnya sih menyerah. Menyerahkan diri pada takdir, merelakan nasib pada angin. Tapi lagi-lagi, aku tetaplah manusia. Perasaan tetap bergolak menolak.

Malam itu semuanya runtuh. Hancur berkeping-keping. Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sepanjang malam hanya melamun, meratapi kisah hidup yang getir. Bukan karena tak punya uang atau karena belum dapat kerjaan baru. Tapi karena aku telah mengecewakan seorang perempuan. Perempuan yang teramat kusayangi. Tak adil baginya untuk merasakan semua itu. Terlebih, aku yang melakukannya, tanganku yang menyuguhkan jamuan cerita di atas meja malam.

Aku memang lelaki brengsek dengan masa lalu yang lacur. Jika diingat, memikirkan kembali masa-masa itu, sebenarnya apa sih yang aku lakukan? Mengapa aku bisa melakukannya dengan santai tanpa pernah berpikir akibatnya akan seperti apa? Anjing sekali memang. Diri ini memang anjing. Namun anjing sekalipun rasa-rasanya tetap lebih baik daripada diriku. Setidaknya anjing punya sikap tahu malu.

Brengsek sekali, memang. Aku ini lelaki yang tak tahu malu. Kudunya dari awal, sebelum segala sesuatunya menjadi sayang untuk ditinggalkan, aku kudunya mengatakan semuanya padamu. Aku seharusnya menceritakan semuanya, semuanya. Semua yang pernah kulakukan, semua yang telah kuperbuat, semua yang telah kualami.

Di awal, bukannya aku tak ingin menceritakan semuanya padamu. Sempat terpikir, malah sering kali terpikir untuk menceritakan semuanya padamu. Tapi aku selalu berpikir lagi, apa memang perlu aku mengungkit-ungkit masa lalu yang sudah usang? Jika kulakukan, aku takut malah seolah ingin mengumbar dosa, seolah betapa kesalahan-kesalahan yang kulakukan adalah kebahagiaan-kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Lalu aku berpikir lagi. Kalau Islam hanya menghitung Umar bin Khattab sejak dirinya masuk Islam dan tak pernah mengungkit masa lalunya yang teramat buruk itu, mengapa aku harus melakukannya?

Kuputuskan: aku tak akan bilang apalagi menceritakannya, kecuali jika ditanya.

Dan malam itu kamu bertanya. Setelah tujuh bulan berlalu, setelah kita sudah semakin dekat, semakin lekat, semakin rekat. Setelah banyak mimpi-mimpi mulai tumbuh, banyak harapan-harapan berhasil berlabuh. Kamu bertanya, menanyakan hal itu, hal yang paling aku takutkan. Atas janji pada diriku sendiri, aku tak bisa dan tak boleh bohong. Kujawab saja sejujurnya meski aku tahu risikonya adalah kehilangan dirimu.

Aku menceritakan semuanya. Menjelaskan dengan rinci apa saja, bagaimana saja, dengan siapa saja aku pernah melakukannya. Kamu tak ingin percaya, tapi itulah kenyataannya. Lelaki yang kamu harapkan ini, yang barangkali telah membangkitkan kembali keberanian dalam dirimu untuk berharap, ternyata tak lebih dari sekadar rongsokan. Masih punya nilai, tapi seadanya saja. Jelas aku tak sebanding denganmu. Jauh sekali.

Kamu perempuan baik. Malah baik sekali. Sudah sepantasnya bertemu dan hidup dengan lelaki yang juga baik, dan terutama sebanding denganmu. Punya pasangan yang sebanding, seimbang, sekufu, memang sepenting itu. Supaya kelak dalam kehidupan rumah tangga, tak seorang pun di antara kalian yang akan merasa inferior ataupun superior. Jadi, tak perlu ada yang merasa terjajah dan tak perlu ada yang secara tak sadar menjajah pasangannya. Maka, aku paham, sangat mengerti sekali. Perlu bagimu untuk punya lelaki yang sebanding denganmu.

Aku, jelas, aku sudah kalah telak. Karena masa lalu yang telah kulewati, karena perbuatan-perbuatan di masa silam, sepertinya kalau kelak menikah dan hidup bersama denganmu, akan sulit bagiku untuk menyingkirkan perasaan inferior dalam diri. Aku akan selalu merasa seperti itu, sepertinya. Sebab aku akan terus merasa diri ini sebagai rongsokan, barang bekas, yang nilainya tak seberapa, tapi belagu dan naif karena menginginkan dimiliki oleh permata sepertimu. Aku yang rongsokan ini, bego sekali karena berpikir bisa hidup berdampingan dengan permata sepertimu.

Namun jika boleh, aku berharap, berdoa, apa semua ini tak bisa untuk sekadar dibicarakan barang sejenak? Perihal yang baik untuk yang baik, sedangkan yang buruk untuk yang buruk. Kalau memang harus selalu seperti itu, bagaimana mungkin kebaikan bisa menghapus keburukan? Kalau melulu kudu begitu, rasanya para nabi tak perlu repot-repot berdakwah mengajak umatnya menuju kebaikan.

Apa tidak bisa yang baik berpasangan dengan yang buruk dan mengajak serta menunjukkannya seperti apa kebenaran itu? Aku selalu merasa, dunia ini sebagaimana kukatakan tadi, akan selalu jungkir balik, jumpalitan, dan gonjang-ganjing. Tak ada yang pasti, tak ada yang tetap. Segala sesuatu bisa berubah, segala sesuatu sangat mungkin untuk berubah. Begitu pun aku. Aku selalu merasa seperti itu. Selalu merasa bahwa kini, diri ini bukan lagi orang yang hidup di masa lalu. Semuanya telah kutinggalkan, tak lagi kulakukan. Diri sudah jauh jungkir balik.

Ya Allah....

Mengapa patah hati rasanya sesakit ini? Mengapa cinta kudu selalu berdampingan dengan luka?

Setelah kejadian ini, setelah malam ini, aku tak tahu diri akan jadi seperti apa. Tapi yang jelas, rasa sakit ini, patah hati ini, tak akan mudah disembuhkan. Lagi-lagi aku merasakannya. Perasaan inferior ini, perasaan menjadi sebatang rongsokan hidup yang sekarat oleh mimpi-mimpi. Aku bisa apa selain bersedih? Kalau memang ada jalan lain, mohon segera tunjukkan padaku. Biar aku bisa lapang menjalani hidup, tak lagi merasa khawatir karena hal-hal yang sebetulnya tak perlu.

Pada titik ini, sebisa mungkin akan kucoba untuk ikhlas. Kamu burung yang merdeka, sudah sewajarnya jika ingin terbang tinggi menaklukkan cakrawala. Terbanglah ke sana, susuri dunia, taklukkan langit dan segala isinya. Kamu harus sukses, harus bahagia, harus senantiasa hidup dengan penuh cinta bersama lelaki yang tepat. Aku bukannya ingin menyerah, tapi apa lagi yang bisa kulakukan selain meraihmu dalam doa?

Suatu saat, aku sangat yakin. Kalau memang kita berdua ditakdirkan bersama, sebesar dan sesulit apa pun cobaan yang datang akan bisa dihadapi dengan enteng. Tapi untuk saat ini, demi perasaan kita berdua, jarak memang diperlukan agar kita semakin mengerti apa itu rindu. Agar ke depan kita bisa saling merindukan dan menghargai betapa pertemuan teramat penting lagi nikmat. Pertemuan denganmu, di bawah pohon beringin itu, di pinggir kolam, dengan iringan kecapi-suling, aku menggenggam tanganmu. Merapalkan janji untuk hidup bersamamu. Biarlah hal ini terjadi nanti, kelak, di masa depan, dalam kehidupan yang akan datang.

Kini, marilah kita kembali ke bumi dan belajar untuk mengerti. Betapapun brengseknya hidup yang dijalani, ternyata tetap perlu untuk diperjuangkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...