Tapi...
Aku bingung. Apa yang harus
kukatakan. Tak terpikir. Apa yang harus kutuliskan. Tak terbayang. Soalnya
kejadiannya teramat mendadak. Hanya ada angin, tak ada hujan. Tahu-tahu
kejadian. Tahu-tahu terjadi. Malam yang teramat dingin. Jiwa yang teramat sunyi.
Ke manakah aku kudu berlari?
Padahal sudah enak rasanya. Hati
tenang jiwa tentram. Nyaris dua tahun aku merasakannya. Lahan yang tak lagi
tandus. Kehidupan yang perlahan hijau. Betapa. Betapa aku begitu menikmatinya.
Tak ada sedikit pun penyesalan. Yang ada hanya tubuh yang mekar dengan
bunga-bunga. Hanya ada kebahagiaan. Kehidupan yang selama ini ada di dalam
kepalaku.
Tapi bukan hidup namanya kalau tak
menghidangkan kejutan di meja makan. Tiba-tiba saja kau mengakuinya. Tiba-tiba
saja kau menceritakannya. Tiba-tiba saja kau mengeluarkan segalanya.
Menyodorkannya ke hadapanku sebagai hidangan musim kering. Menyajikannya ke
depan mataku sebagai perjamuan musim hening. Segalanya serba tiba-tiba.
Mendadak. Tapi mungkin sekaligus mendidik—itu kalau aku mau mengambil hikmahnya
sebagai makanan penutup.
Kau menceritakan semuanya, menuturkan
segalanya. Selama ini banyak hal mengganggu pikiranmu. Banyak sampah menyumbat
di kepalamu. Kasihan juga, karena aku, kau jadi begitu. Katamu semua demi
kebaikan dirimu. Memang benar, dahulukan kebaikan untuk diri sendiri. Orang
lain belakangan saja. Pedulikan dulu dirimu. Baru kemudian orang lain.
Aku membuatmu merasa kosong. Buat apa
hidup kalau tak ada isinya? Memang. Hidup itu harus berisi. Setidaknya,
usahakan untuk selalu diisi. Kalau kosong seperti ini, mana mungkin kita bisa
bahagia? Benar juga. Aku terlalu lempeng. Terlalu terpaku pada hal-hal di luar
jangkauanku. Sedangkan hal yang jelas-jelas ada di depan mata malah dibiarkan
begitu saja tak terurus. Tak pernah disiram apalagi diberi pupuk. Tak terawat
sama sekali. Jadi wajar kalau segalanya menjadi kering. Patah. Mati.
Aku terlalu naif. Tak pernah peduli
padamu. Padahal kamu sering pening tapi hanya mimpikulah yang penting. Aku tak
pernah benar-benar mengetahui isi hatimu, ternyata. Selama ini aku menganggap
semuanya baik-baik saja. Sejauh ini aku merasa kau selalu bahagia bersamaku.
Tapi ternyata tidak. Sebaliknya banyak hal membebanimu. Banyak persoalan tak
pernah benar-benar selesai. Banyak kalimat putus-putus. Aku bingung. Ternyata
selama ini aku tak mengetahui apa pun.
Pada kesempatan yang sudah tak
terhitung jumlahnya, aku, lagi-lagi menemui kematian. Kematian yang tak asing,
sebenarnya. Tapi, tetap saja rasanya menyakitkan.
Kematian yang jumlahnya tak terhitung
membuat aku menyadari sesuatu. Kalau hidup sebenarnya hanya perkara menunggu
mati. Bahwa kehidupan hanyalah persoalan menyambung kesakitan demi kesakitan
sebelum menjadi kematian. Kalau sedikit beruntung, barangkali aku bisa
berbahagia. Tapi perlu diingat. Di dalam hidup yang gersang, kebahagiaan
hanyalah setetes air di lahan tandus.
Aku sedih, tentu saja. Tak perlu
mengelak sebab itu tak mungkin. Kalaupun mungkin aku pun tak akan bisa.
Bersedih saja, tak mengapa. Bila perlu menangis, maka menangis saja. Kucurkan
air mata sampai kering. Tak usah ditahan-tahan. Lepaskan saja sampai kosong
melompong. Sebuah tangisan barangkali tak akan menghapus kesedihan. Tapi
tangisan, setidaknya bisa membikin dada lega.
Sophie…
Apa beda selamat jalan dan selamat
tinggal?
Kalau kamu melangkah. Jauh sekali ke
entah. Dan tak kembali. Dan tak pernah kulihat lagi. Manakah yang pantas:
selamat jalan atau selamat tinggal?
Kalau kamu tak pernah kulihat lagi.
Karena kamu telah bersama yang lain. Menuju yang lain-lain. Bersiap melakukan
segalanya bersama yang lain-lain. Maka: selamat jalan atau selamat tinggal?
Kalau kamu…
Kalau saja kamu mau. Bertahan sedikit
lebih lama. Di sini, bersamaku. Di antara daun-daun kering. Aku sudah tak akan
bingung memilih: selamat jalan atau selamat tinggal.
Kalau saja kamu ingin. Mengingat
perjalanan kita sedikit lebih panjang. Di sana, selama ini. Di antara gempuran
angin. Sudah pasti aku tak perlu memilih: selamat jalan atau selamat tinggal.
Tapi Sophie…
Duniaku memang tak seperti duniamu; sebuah
dunia yang gemerlap, yang warna-warni, yang tak kekurangan cahaya. Duniaku
gelap, hanya hitam, selalu pekat. Duniaku hanya dibangun dengan kertas dan
tinta. Sebuah dunia yang rapuh, yang tak menentu, yang sering kali mudah dilipat
dan dilempar ke tong sampah. Duniaku hanyalah sebuah dunia yang berisi
kata-kata dan kalimat yang nyaris seluruhnya tak ada guna. Tak bisa dimakan
kalau lapar, tak bisa diminum kalau haus, tak bisa. Duniaku kering, sebagaimana
perasaanku.
Komentar
Posting Komentar