Ruang Tunggu
Malam itu hujan. Tak besar tapi cukup
intens. Aku sudah sampai di stasiun dua jam sebelum kamu muncul di parkiran dengan
setengah basah kuyup karena jas hujan yang tak kompeten. Aku duduk di bangku,
di depan warung yang sudah tutup. Maklum. Meski waktu baru jam sembilan, tapi
hujan yang kepala batu membuatnya terasa seperti setengah tiga pagi. Aku duduk
dan merokok. Sendiri. Mengamati Kang Parkir dan Kang Wedang Ronde mengobrol. Tak
terlalu jelas aku mendengarnya. Hanya kadang-kadang mereka begitu bersemangat
dan tertawa-tawa berdua. Aku menebak mereka sedang membicarakan pengalaman
mancing masing-masing. Kupikir, apalagi yang bisa bikin dua orang dewasa bersemangat
dan tertawa seperti itu kalau bukan soal memancing.
Apa hidup sebenarnya seperti memancing?
Hanya orang-orang tekun dan sabar yang
dapat bertahan untuk memancing. Orang tanpa dua hal tadi tak mungkin mampu. Orang
yang mentalnya tak jempolan dan grasak-grusuk tak mungkin bertahan. Maka hanya
merekalah orang-orang tekun yang sabar yang akan berhasil.
Aku punya satu tetangga yang kerjanya
mancing. Setiap hari tanpa lewat selalu dihabiskan dengan memancing ke sungai
atau ke laut. Selalu seperti ini. Ia berangkat pagi sekali dan pulang malam
sekali. Dan hasilnya? Sering kali hanya satu ikan kecil, atau hanya kepiting yang
biasa dipakai umpan, atau malah tak pernah ada hasilnya. Tapi setiap pagi ia
berangkat lagi, setiap malam ia kembali lagi, walau dengan tangan kosong. Ia tak
pernah kapok, tak pernah malas, tak pernah mengeluh. Meski istrinya kadang
kudengar marah-marah padanya karena kerjanya dianggap buang-buang pikiran,
tenaga dan terutama waktu, tapi ia selalu senyum saja. Esoknya ia akan
memancing lagi. Setiap hari berganti ia berangkat lagi, lagi dan lagi.
Barangkali begitulah kudunya aku
menjalani hidup. Dalam hidup, aku hanya perlu mengasah dua keterampilan: tekun
dan sabar. Apa pun yang akan dan sedang kukerjakan, apa yang kusuka, apa yang
membuatku bahagia, terus saja dijalani secara tekun. Lakukan saja secara rutin
dari hari ke hari. Terus berlatih dan berlatih. Tak perlu minder karena belum
berhasil. Tak perlu malu karena belum punya banyak duit. Setiap hari berganti,
berangkat lagi saja, kerjakan lagi saja, pelajari lagi saja. Tak perlu kapok,
tak perlu malas, tak perlu mengeluh. Tekun saja dan terus tekun.
Hasilnya akan sering kali tak sebagaimana
diharapkan—memang. Karena itulah ketekunan yang telah dibangun lantas lengkapi
dengan sabar. Sabar, sabar. Aku hanya perlu bersabar dan bersabar. Sabar usaha,
sabar menanti, sabar menunggu, sabar menghadapi cobaan, sabar mengatasi ujian,
sabar berlatih dan berlatih. Pada waktunya, sabar akan mengantarkanku ke tujuan.
Lagian, Tuhan telah mewanti-wanti. Dia selalu bersama orang-orang yang
bersabar. Kalau belum mampu, bersabarlah. Kalau sedang diuji, bersabarlah. Kalau
sedang sulit, bersabarlah. Tuhan selalu ada di sana. Lebih dekat daripada urat
nadi.
Kamu muncul di parkiran dengan
setengah basah kuyup karena jas hujan yang tak kompeten saat aku tengah
menyambung rokok dengan pipa kayu biar awet. Seperti biasa, kamu tampak selalu
cantik. Bulu matamu, apalagi alismu, tetap on meski digempur hujan. Kulihat
kamu cekatan melepas jas ujan, melipatnya, memasukkannya ke dalam tas. Kamu
merogoh saku, mengeluarkan hape, sepertinya hendak bertanya aku di sebelah
mana. Tapi aku keburu memanggilmu, melambaikan tangan. Ah, kamu mengangguk,
menghampiri.
“Lama ya Aa, nunggunya?”
Kekasih …. Waktu itu lentur, bisa
dilipat dan ditarik-ulur. Aku bisa melipatnya sesuka hati seperti kertas
origami. Aku bisa menarik dan mengulurnya sebagaimana aku menginginkannya. Lama
atau sebentar, apakah itu penting? Sekarang, yang jelas kamu sudah ada di sampingku,
duduk merangkul lenganku, menyandarkan kepalamu yang sedikit pusing akibat kena
hujan. Tentu saja aku akan melipat waktu menjadi rumah sederhana tempat kamu
bisa sejenak membaringkan diri. Biar tak kedinginan, biar pusing cepat pergi.
Tapi kujawab juga, “Lumayan.”
Kamu menepuk bahuku. Kita terbahak
menertawakan dingin. Hujan masih saja tekun dan sabar. Ia tetap di sana
mengepung malam sampai sunyi. Malam dikepung hujan, stasiun dikepung sunyi. Kang
Parkir dan Kang Wedang Ronde pergi dari stasiun. Pegawai stasiun sesekali
terlihat lewat masuk kamar mandi. Meski malam kian rawan, tapi kita tetap
berbahagia. Menertawakan kehidupan. Kadang kala hidup memang hanya perlu
ditertawakan. Tak perlu mumet diseriusi.
“Aa, dingin ….”
Kamu melingkarkan tanganmu semakin
erat, seperti ular sanca mencengkram anak kambing. Astaga, erat sekali. Tapi toh
aku tetap senang. Senang sekali kamu melilitku begitu. Mau sekalian dimakan pun
aku tak keberatan. Biar nanti aku bisa hidup abadi di dalam tubuhmu. Namun kamu
hanya melilitku dan kelihatannya tak ada niat menelanku. Melihatmu semakin
melilit begitu, kupikir aku harus menyalakan api. Maka kugali sisa-sisa puisi
dalam diri buat membikin api unggun di dalam dadamu. Sabar sebentar, kekasih ….
Ia mengajari saya
cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tidak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu
ketimbang kepada tuhan;1
Api menyala. Tapi sepertinya belum
cukup membuat tubuhmu hangat. Matamu masih redup, bibirmu belum merekah sebagaimana
biasanya. Kugali dan kucari lagi.
Engkau telah menjadi racun dalam darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti aku tungku tanpa api.2
Perlahan percikan api merambati sunyi
di dalam dadamu, membakarnya. Api semakin menyala dan menyala. Cukup besar
untuk perlahan membikin hangat tubuhmu. Tapi kupikir kamu masih perlu sentuhan
terakhir. Sebab api unggun di dalam dadamu belum menari-nari. Kugali dan kucari
lagi.
Reup
mongkléng nyimbutan wanci.
Simpéna
ngeukeupan kuring.
Bet
karasa aya hiliwir panggeuing,
ngajak
miang tina jemplingna peuting.
Tapi peuting karasa linu nataku.
Hawar-hawar méré béja,
béja yén
manéhna
geus lunta duka ka mana.
Nilar
tapak nu nyérését na hate.
Kuring
kudu muru isuk.
Srangéngé
baris mapag ku haneut poé.
Tur
japati nu bekur na dahan umur.
Ngagalindengkeun
tembang asmarandana.
Tapi
peuting, karasa linu nataku,
da
puguh manéhna miang.
Tapi
peuting, duh, karasa linu nataku,
da
puguh manéhna miang.
Isuk
sréngéngé rék midang.
Japati
bagja patingbalekur,
ngagalindengkeun
tembang,
ngagalindengkeun
asmarandana.
Sukma
kuring nu hapa bodas,
dipirig
tarikna jelegur ombak,
nalika maca surat kasmaran,
tina pangharepan anyar.3
Segala sunyi di dalam dadamu binasa. Matamu
yang tadinya redup berubah menyala. Tubuhmu dirambati hangat. Bibirmu merekah. Kamu
menatapku, aku mencium ubun-ubun dan keningmu.
“Terima kasih sudah mau menunggu.”
“Terima kasih sudah mau bersamaku,”
jawabku.
Kita masih di sana. Duduk menunggu di
ruang tunggu. Berdebar menanti sebuah perjalanan. Di ruang tunggu, hanya janji
Tuhan penawar gelisah paling mujarab. Kita hanya perlu menelan janji itu tanpa
perlu bertanya. Tanpa perlu bertanya, kita hanya perlu percaya. Sebagaimana kita
percaya bahwa beberapa saat lagi kereta yang kita nanti akan tiba. Kereta tiba
pukul berapa?4 Dua jam lagi. Ah, lumayan juga ternyata. Sepertinya kita
memang kudu terus melatih tekun dan sabar.
Kereta pasti akan tiba, sebagaimana telah
dijanjikan Tuhan. Tapi seperti lazimnya hidup, kadang perlu sedikit improvisasi
supaya tetap bisa melaju. Kulipat waktu ke dalam dompet. Kutarik ia ke dalam saku
celana. Dari kejauhan terdengar nyaring masinis membunyikan klakson panjang. Inilah
kereta yang kita tunggu. Inilah kereta yang akan membawa kita mengarungi malam.
Inilah keretanya. Di dalam gerbong 7, kita akan bersama sampai usia direnggut
kala.
Melajulah, kereta!
1 Penggalan puisi Joko Pinurbo, Kamus Kecil;
halaman 3. Dalam buku kumpulan puisi Buku Latihan Tidur: Gramedia
Pustaka Utama.
2 Penggalan puisi W.S. Rendra, Kangen;
halaman 15. Dalam buku kumpulan puisi Stanza dan Blues: Bentang Pustaka.
3 Puisi Sinta Ridwan, Galindeng
Asmarandana; halaman 31. Dalam buku kumpulan puisi Arkais/Sangam: Pustaka Jaya.
4 Judul lagu Iwan Fals, Kereta Tiba Pukul
Berapa?
Komentar
Posting Komentar