Antara Jazz, Parfum, dan Insiden
Setiap membaca kembali novel Jazz,
Parfum, dan Insiden karya Seno Gumira Ajidarma. Aku seperti benar-benar menjadi
“Aku” dalam cerita. Entah karena ceritanya teramat memikat atau karena ceritanya
seperti menceritakan kisah hidupku, aku tak tahu kenapa. Yang jelas perasaan
itu selalu ada, terlebih nyata. Aku yang membaca, Aku yang
merenung, Aku yang hidupnya awut-awutan.
Kerap aku merasa buku ini bukanlah
novel. Melainkan semacam buku kiat-kiat bagaimana caranya sukses menjalani
hidup. Soalnya setiap kali membaca, sesering itu pula aku merasa bisa dan mampu
memperbaiki diri. Menambal yang bolong-bolong, menjahit yang sobek-sobek, dan
mengompres yang demam-demam. Hidup, kehidupan, apalah artinya?
Jazz
Hidup sering tak terduga. Kejadian-kejadian
bermunculan, peristiwa-peristiwa berkelebatan. Kadang cepat, kadang pelan,
kadang keras, kadang sunyi, kadang …. Kadang aku perlu begini dalam hidup. Kadang
aku kudu mengubah rencana. Kadang aku kudu pandai membaca perasaan tukang
batagor. Kadang aku perlu memahami isi hati tukang parkir. Kadang aku harus
mengerti isi pikiran seorang bocah yang sedang main layangan. Kadang hidup memang
tak terduga, terasa aneh dan asing. Seperti halnya Jazz.
Setidaknya bagiku. Musik yang bagus
adalah musik yang bisa dimainkan menggunakan gitar murahan di tongkrongan atau
di pos ronda. Bisa dinyanyikan dan diteriakkan bareng kawan atau bahkan orang
lewat sekalipun. Tapi Jazz, apakah begitu? Aku kenal Jazz sebagai musik yang
rumit—maklum, aku hanya mengukurnya dengan patokan kemampuanku main gitar. Jazz
musik yang rumit, yang sulit dipelajari apalagi dimainkan. Nada-nadanya sering
terdengar aneh, kunci-kuncinya kerap terasa asing. Nah, karena itulah Jazz
bukanlah jenis musik yang tergolong bagus. Karena, mana mungkin aku bisa
memainkannya di tongkrongan atau pos ronda?
Aku sering merasa Jazz merupakan
jenis musik yang pongah nan adigung. Para pemainnya rapi-rapi, selalu
mengenakan pakaian necis atau sering kali setelan jas—apa mungkin karena Jazz
dan Jas dekat? Wajah dan rambut selalu klimis. Selalu menguar
bebauan yang wangi dari tubuh mereka. Jazz jadinya sulit didekati. Terasa berjarak,
eksklusif, dan mengintimidasi. Jauh dari akar rumput dan orang-orang kecil.
Namun untungnya pada 2014 aku
berkenalan dengan seorang perempuan, seorang musisi Jazz, Norah Jones, di laboratorium
bahasa fakultas. Waktu itu dosenku memutar lagu-lagunya sembari bercerita
sedikit tentangnya. Dosenku bilang, lagu-lagunya enak buat diputar kalau kita
sulit tidur. Aku lantas jatuh cinta. Setiap kali hendak tidur, atau setiap kali
sulit tidur, aku selalu memutar lagu-lagu Norah Jones dari album Come Away
with Me. Sejak itulah nyaris setiap malam kuputar selalu lagu-lagunya. Aku mulai
bisa menikmati musik Jazz ini.
Aku pikir-pikir, mengapa lagu-lagu
Norah Jones enak betul didengar malam hari saat mau tidur tapi tidak saat pagi
ketika sarapan, atau tidak saat siang di sela-sela jam kosong perkuliahan. Didengar
sore sehabis mandi sambil ngopi dan merokok pun masih tak enak. Tapi pada malam
hari, setiap mau tidur atau sulit tidur, lagu-lagunya selalu enak. Bahkan setelah
semakin sering mendengarkannya, lagu-lagunya terasa menjadi teramat sangat bermakna.
Agak lama aku berpikir, dan sepertinya aku menemukan alasannya. Barangkali karena
dalam hidup, momentum begitu penting.
Umpamanya. Kita hanya mengucapkan
ulang tahun kepada kekasih di tanggal ia dilahirkan dan tidak setiap hari. Tak mungkin
kita mengucapkannya di sembarang waktu. Kita mengucapkan cinta, sayang, kangen,
itu semua perlu momentum. Kalau momentumnya tepat, dampaknya akan berkali-kali
lipat dan jauh lebih bermakna.
Anggaplah situ sedang ngising. Saat
mau cebok ternyata air dalam bak kosong dan situ teriak minta tolong pada istri
buat menyalakan pompa air.
“Aku sayang kamu,” situ ucapkan
sebagai terima kasih terselubung.
Tapi istri situ aku yakin malah akan
menjawab begini, “Kalau sedang ngising ya ngising saja.”
Beda dengan keadaan yang satu ini. Situ
baru menikah. Di malam pertama, setelah selesai begituan dengan dahsyat,
sebelum bergoler bersama, situ berbisik di belakang telinganya, “Aku sayang
kamu,” dan lantas mengecup lehernya. Aku sih yakin, istri situ akan merasakan
orgasme sampai subuh.
Sekitar 2015 atau 2016, untuk pertama
kalinya aku membaca novel Jazz, Parfum, dan Insiden. Aku pun semakin yakin. Dalam
bab-bab yang membicarakan Jazz, aku jadi tahu bahwa sejarah Jazz adalah sejarah
pahit, sejarah kelam, sejarah yang dipenuhi penderitaan. Jazz lahir dari
penderitaan, sebagaimana leluhurnya: Blues. Jazz adalah suara obrolan, teriakan,
dan jeritan para budak. Budak-budak yang diinjak, yang disiksa, yang dibunuh. Ternyata
Jazz, hakikatnya merupakan ritual pembebasan jiwa di tengah sepi dan sunyi.
Kira-kira seperti itulah mengapa musik
Jazz hanya enak diputar kala malam hari saat hendak tidur atau sulit tidur. Karena
penderitaan berkawan baik dengan sepi dan sunyi. Sedangkan sepi dan sunyi akrab
dengan malam. Dan malam, adalah waktu yang tepat untuk aku melarikan diri—walau
hanya sejenak—dari dunia yang kejam.
Parfum
Sedikit akan kuceritakan sejarah perihal
parfum.
Isam Samija hidup di zaman dinosaurus
bersama istri tercinta. Suatu pagi, sebagaimana biasa ia pamit pada istri untuk
pergi berburu naga di sungai.
“Nanti kalau sudah nyampe sungai
langsung mandi, jangan lupa!” istrinya mewanti.
“Pasti, kalau airnya belum habis
disedot perusahaan air.”
Maklum, saat itu bumi sedang menyambut
kemarau pertamanya. Kening dikecup, ubun-ubun diusap. Isam Samija lantas pergi.
Sungai tempat Isam Samija biasa
berburu naga dekat saja. Jaraknya hanya seratus tahun. Isam Samija pemburu
terlatih. Setiap kali berburu, paling sedikit ia akan membawa pulang sejuta
naga. Di sepanjang perjalanan menuju sungai, ia lihai menerabas belantara hutan,
berjingkrak cekatan melompati gunung, dan piawai menyelami samudera yang
dipenuhi jin laut. Setelah seratus tahun perjalanan, ia pun sampai. Tapi belum
juga ia menggerai rambut gimbalnya untuk berburu, seekor dinosaurus mendadak
muncul di hulu sungai.
Isam Samija terkejut bukan main. Ia tahu,
itu dinosaurus yang tempo hari menelan tetanggannya yang bau badan. Sialnya
lagi, sungai di hadapannya tak punya cukup air untuk sekadar dipakai mandi
apalagi berendam. Ia menggulung rambutnya, merapikan kembali senjatanya itu. Ia
balik kanan, mengendap-endap, berlari sekencang-kencangnya. Tapi sial tak
kepalang. Dinosaurus itu sudah kadung mencium bau badannya, ia pun mengejar
Isam Samija.
Itu bukan pertama kalinya Isam Samija
berhadapan dengan dinosaurus. Biasanya kalau ada dinosaurus ia tak perlu repot
lari, dan cukup nyemplung saja masuk sungai berendam. Tapi hari ini sungai
kering. Astaga!
“Bajingan, bajingan!” maki Isam
Samija.
Isam Samija berlari selama dua abad. Melintasi
banyak benua dan peradaban. Ia berlari dan terus berlari. Ketika mencapai
samudera, ia pun terpaksa kudu berenang secepat-cepatnya. Sebab air laut malah
membikin tubuhnya beraroma asin dan dinosaurus begitu menyukainya. Ia berlari,
ia berenang, berlari lagi, berenang lagi, terus saja begitu selama dua abad. Sampai
akhirnya, ia tak sengaja sampai di pegunungan Gayo. Berlari dan berenang selama
dua abad tentu saja membuat perutnya lapar. Kini, di tengah persembunyiannya ia
sadar dirinya tengah dikepung pohon-pohon berbiji. Ia tak tahu itu biji apa
tapi karena lapar, ia nekat mengunyahnya. Bijinya pahit tapi anehnya ia terus
memakannya. Karena dirasa-rasainya, setelah memakan biji-biji itu tenaganya seakan
berlipat dua juta kali. Matanya yang ngantuk segar kembali. Selain itu, biji
yang dikunyahnya ternyata punya aroma wangi sekali.
Tentu saja di hamparan hutan kopi itu
si dinosaurus kehilangan jejak Isam Samija. Si dinosaurus pun balik kanan,
mencari mangsa yang lain. Isam Samija selamat, dan pulang dengan membawa
penemuannya itu.
Di kampung halamannya, Isam Samija
dan istri akhirnya menjadi pionir petani dan pengusaha kopi. Ia berhasil
menemukan cara alternatif untuk terhindar dari dinosaurus dengan cara
melarutkan kopi ke dalam air sungai. Begitulah kemudian orang-orang tak lagi
bau badan. Isam Samija dan istri sukses besar. Sampai ia dan istri bisa menyewa
kura-kura berjanggut untuk naik haji ke tanah suci. Karena wewangian yang diciptakannya,
dinosaurus punah, dan umat manusia selamat dari kepunahan.
Isam Samija yang melegenda itu sudah
mengajarkan kepadaku. Jika hidup ingin selamat, maka selalu pakailah wewangian
atau parfum. Sebab parfum berfungsi untuk menutupi kejelekan seperti bau badan,
dan manusia tak mungkin lepas dari kejelekan.
Setiap orang sudah pasti tak
sempurna. Ada cacat dalam dirinya. Terkandung pula sifat-sifat tercela yang sering
kali menyebabkan aib. Maka dari itu, supaya sukses, dalam hidup penting untuk
selalu menutupi diri dari yang jelek. Kejelekan sembunyikan, kekurangan dan
kesalahan semprot saja pakai parfum. Tuhan pun kan memerintahkan kita untuk
sembunyikan saja aib diri, biar itu jadi urusan kau dan Dia. Tak perlu dikorek,
tak usah diumbar, tak berguna orang lain tahu. Simpan saja segala dan serba
kekurangan dalam diri. Tutupi, semprot. Biar hidup selamat dan tak jadi
santapan dinosaurus. Karena hakikatnya, setiap orang pasti punya kekurangan,
sebagaimana Isam Samija.
Insiden
Yah, sejatinya hidup memang hanya
tumpukan insiden. Insiden demi insiden terjadi, bertumpuk, membentuk insiden
baru. Insiden ini menyebabkan insiden ini, insiden itu mengakibatkan insiden
itu. Semuanya saling sambung menyambung. Tiap insiden tak terpisahkan. Atau mungkin
tak bisa dipisahkan. Situ menanam cabe dan yang situ petik cabe. Situ menyayangi
anjing dan anjing pun menyangangi situ. Apa selalu begitu? Apa setiap insiden akan
seperti itu kerjanya?
Belum tentu juga. Bisa jadi terjadi
insiden yang bikin pilu padahal di baliknya terkandung hikmah yang besar. Misal
situ ditinggalkan kekasih karena belum punya banyak duit. Sudah pasti itu pilu
tapi bukan berarti situ kere betulan. Hikmahnya, situ kudunya jadi rajin kerja.
Meski insiden maknanya terasa
dekat dengan hal-hal menyakitkan, tapi toh hidup kan memang selalu memberi
kejutan. Hidup seperti Jazz, dinamis, dan kudu dijalani dengan penuh improvisasi.
Karena improvisasi pula Isam Samija bisa sukses dan berhasil bikin umat manusia
tak mencapai kepunahan. Semprot, semprot, semprot. Dan pergilah keluar dengan
tubuh dipenuhi wewangian. Taklukkan dunia, musnahkan makhluk-makhluk jahat macam
dinosaurus.
Jangan salah sangka. Sejauh ceritaku
ini, aku tak berkata parfum adalah biang kebohongan. Tentu saja hidup kudu
dijalani dengan jujur. Jujur sejujur-jujurnya. Aku hanya bilang, bahwa dalam
hidup ada rahasia diri yang tak perlu diketahui orang lain. Ada hal yang cukup
hanya kita saja yang tahu. Dan parfum, penting sebagai jubah penutup.
Kejadian, peristiwa, insiden, berkelebat
berganti-ganti. Hidup berputar secepat angin puyuh. Perasaan rentan tercemar bagai
sungai. Pikiran, perasaan, kehidupan, bagaimana membuatnya bermakna?
Wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar