Tak Perlu Gamang
Gelombang
Dalam hidup akan selalu ada;
gelombang. Besar atau kecil, riak-riak atau menggebu-gebu, pelan atau
meraung-raung. Ia akan selalu ada. Di sana. Menantang setiap manusia. Menguji
keyakinan setiap orang. Dengan cara paling ganas.
Gelombang akan selalu di sana. Tapi
tak hanya menantang dan menguji kerjanya. Ia ada di sana juga merupakan diri
sebagai wadah. Yang punya hati luas. Yang punya perasaan lega. Yang punya
kebaikan tak berujung dan mampu menampung apa pun. Sedih, bahagia, susah,
gembira, sulit, senang. Apa pun akan ditampungnya. Apa pun ia wadahi. Tak akan
pilih kasih. Malah akan selalu memberi kasih.
Hidup tanpa gelombang. Kamu hanya
akan diam. Tak akan ke mana-mana. Akan jalan di tempat. Tak pernah jauh. Tak
mungkin sampai menjelajah. Gelombang akan mendorongmu maju. Untuk selalu
bergerak. Untuk senantiasa berlayar. Untuk tak pernah takut mengarungi
kehidupan. Ada kemungkinan kamu akan tenggelam—memang. Tapi itu justru
membuktikan kalau langkahmu maju. Bahaya adalah tanda bahwa kamu sedang melalui
jalan yang benar. Aki-aki dari Yunani, Socrates, pernah bilang begini, “Hidup yang tak
pernah diuji, adalah sia-sia.” Tujuan yang kamu maksud tengah menanti di depan
sana.
Apalah arti hidup kalau kamu tak
bergerak. Kalau kamu tak pernah menjelajahi setiap kemungkinan. Di situlah
nikmatnya hidup. Kamu bergerak, bertemu beragam makhluk. Dapat belajar bahwa
dalam hidup ada hal yang perlu dibuang dan sebaliknya; ada yang mati-matian
kudu dipertahankan. Kamu bergerak, mengobrol dengan bermacam makhluk. Sadar
bahwa dalam hidup, yang benar-benar sempurna hanyalah kentut dan yang
benar-benar gagal hanyalah puisi cinta yang dipahat di punggung ragu.
Maka kita harus pandai mengendarai
gelombang. Mesti mulai belajar menjinakkan angin dan cuaca. Kudu mulai mengerti
bagaimana cara menentukan arah. Akan ke mana kita pergi. Rencana apa yang telah
disusun. Strategi apa yang akan dijalankan. Siasat apa yang akan diterapkan
kalau-kalau rencana yang telah disusun dan strategi yang telah diterapkan tak
berjalan sebagaimana arah yang dikehendaki. Kita harus mulai mencerna isi kitab
nasib dan takdir. Mulai memahaminya supaya mengerti dan tak salah arah apalagi
langkah. Andaikan sudah mahir, mau balik ke tanah atau terus menerjang
gelombang, tak akan jadi soal. Kita akan selalu siap.
Begitulah hidup berjalan. Selalu
bergandengan, beriringan, bersama-sama, berpasang-pasangan. Susah dan senang.
Sedih dan gembira. Siang dan malam. Langit dan bumi. Tanah dan air. Ganjil dan
genap. Utara dan Selatan. Timur dan Barat. Atas dan bawah. Yakin dan ragu.
Cinta dan benci. Rindu dan jarak. Serta aku dan kamu.
Seimbang
Karena itu seimbang tidak berarti
sama. Bukankah itu apa yang kita cari dalam hidup: keseimbangan? Supaya hidup
senang harus seimbang. Supaya sehat harus seimbang. Supaya bisa sama-sama maju
harus seimbang. Bayangkan saja pesawat akan bagaimana jadinya kalau sayapnya
tak seimbang. Atau apa yang akan terjadi kalau perahu tak punya katir yang
seimbang. Keduanya bisa dijawab sama: celaka.
Tanpa keseimbangan hidup hanya akan
sia-sia. Tak bermakna. Tak memiliki arti. Gula yang berlebih tanpa dibarengi
kegiatan fisik yang sering hanya menimbulkan diabetes. Karbohidrat yang banyak
tanpa diiriingi gerak yang normal hanya akan memunculkan lemak. Dan cinta yang
menggebu tanpa hati yang membara hanya akan membumihanguskan perasaan. Celaka
jadinya. Petaka tak bisa dihindari.
Untuk seimbang tak perlu sama. Kalau
dua-duanya sama malah menimbulkan masalah. Egois, merasa paling benar, tak
pernah ada yang mau mengalah. Hal yang sama tak mungkin bisa saling melengkapi.
Karena keduanya sama, maka hasilnya pun akan sama. Padahal dalam hidup saling
melengkapi adalah keniscayaan. Hidup adalah oposisi biner—seperti yang telah kukatakan
tadi. Selalu bergandengan, beriringan, bersama-sama, dan berpasang-pasangan.
Ada siang ada malam; saling melengkapi. Ada langit ada bumi; saling melengkapi.
Ada hitam ada putih; saling melengkapi. Sebut saja seribu contoh dan aku yakin
hasilnya akan saling melengkapi.
Apa mungkin kita bisa hidup kalau
hari hanya berisi malam? Apa benar kita bisa berdiri kalau dunia hanya berisi
langit? Apa mungkin—sebagai manusia—kita sempurna tanpa hitam di dalam diri?
Justru itulah jawabannya. Kesempurnaan hidup ada dalam ketidaksempurnaan.
Kebahagiaan hidup ada dalam ketidaksamaan.
Sama halnya dengan aku dan kamu. Kita
malahan harus berbeda untuk dapat hidup di dunia. Tak perlu serupa untuk selalu
bahagia. Tak perlu sama untuk selalu bersama. Tak perlu sefrekuensi untuk
memantapkan hati. Cukup menjadi berbeda. Menjadi apa adanya. Menjadi diri
masing-masing. Dari sanalah akan tumbuh kesempurnaan. Karena kita akan saling
melengkapi. Kamu yang suka sekali kulineran bersanding denganku yang untuk
mengunyah makanan saja malas. Aku yang suka sekali ngopi bergandengan denganmu
yang baru mencicipinya saja lambung sudah terasa tak enak. Kamu yang doyan
sekali daging ayam bergaul denganku yang membayangkannya saja mual. Aku yang
menggilai ikan laut beriringan denganmu yang mencium baunya saja sudah muntah
tujuh hari tujuh malam. Dari sanalah akan datang kebahagiaan. Dari saling
mengingatkan, dari saling peduli, dari saling mengerti. Hidup akan berarti
karena kita akan saling mendengarkan. Hidup akan bermakna karena kita kemudian
akan saling mencinta. Saling melengkapi dalam ketidaksempurnaan.
Aku hanya butuh kamu. Tak perlu
perempuan yang sama suka menulis sepertiku. Kamu sudah cukup. Bahkan lebih dari
cukup sebenarnya. Karena kamu tak suka menulis maka aku akan mendapat dorongan
yang semakin besar untuk menulis. Karena kamu jarang sekali membaca sastra maka
aku akan senang sekali untuk selalu meninabobokanmu dengan cerita. Aku hanya
cinta kamu. Bukan perempuan yang lain. Dalam hal apa pun, aku tak menginginkan
kamu berubah untuk menyamaiku ataupun sebaliknya. Cukup jadi perempuan yang apa
adanya. Cukup jadi diri sendiri. Dan aku tak akan melepaskanmu walau
hanya sekedipan mata.
Terjang
Kita harus yakin kalau perjalanan ini
tak akan sia-sia di punggung ragu. Aku dan kamu. Akan terus berjalan, menapaki
daratan. Aku dan kamu. Akan terus berlayar, menjelajahi lautan.
Gelombang akan selalu menantang dan
menguji, sudah pasti. Tak perlu takut tak usah khawatir hilangkan cemas. Mari
kita mulai bersiap dan berlatih. Untuk menaklukkan tantangannya, guna lolos
melewati ujiannya. Gelombang akan selalu datang. Maka kita kudu terus
menerjang. Apa pun yang menghadang harus dihadapi. Kalau perlu dikubur sampai
mati. Keragu-raguan; ialah musuh yang paling berbahaya.
Mesti selalu ingat juga. Untuk
berlayar jauh di atas gelombang kita perlu seimbang. Maka kita harus
sering-sering bertemu dan mengobrol. Guna menyusun rencana, mengatur strategi,
dan menyiapkan siasat yang tepat. Barangkali suatu kali kita akan tersesat.
Tapi kita justru harus senang. Karena sebenarnya ia sedang menunjukkan kalau
kita berhasil mencoba. Mungkin suatu waktu kita akan kesasar. Tapi kita justru
kudu bersyukur. Karena sebenarnya ia tengah mengajarkan kita untuk tidak kufur.
Celaka jadinya kalau kita tak pernah tafakur.
Sudah siap berlayar bersama?
Komentar
Posting Komentar