Di Sepanjang Hidup yang Pendek

 

Dari mana asal?

Aku lelaki yang lahir di Selatan. Lahir dari rahim laut. Ibuku gelombang sedangkan bapakku karang yang tangguh. Aku dibesarkan dalam kasih sayang layung yang membara. Setiap pagi kudapati sarapan menyantap langit. Setiap siang aku mengaso mengisi tenaga menenggak angin sepoi-sepoi di bawah deretan rindang tangkal ketapang. Setiap sore aku bersemadi bersama gerombolan mega-mega yang digembalakan Jibril.

Di Selatan tak perlu setelan. Sehari-hari aku hanya pakai kolor tanpa baju. Malah di waktu-waktu tertentu telanjang saja sudah biasa. Kala sedang membaca gulungan ombak yang berisi hikayat para nelayan, misalnya. Atau kala sedang menabur benih padi di bawah laut bersama arwah orang-orang yang mangkat dipanggil samudera. Banyak kalau disebutkan satu per satu. Satu lagi barangkali, juga kala memancing bersama Jibril di dekat muara Cipasarangan yang biasanya dilanjut botram sekalian.

Aku senang jadi anak Selatan. Terutama karena kemampuan fisikku di atas rata-rata. Tentu saja itu dibentuk oleh lingkungan. Kulitku tahan panas, kepalaku tahan banting, mataku tahan cahaya, telingaku tahan bisikan, mulutku tahan mabuk, tanganku tahan tali pancing dan kakiku tahan berjalan di atas gelombang. Tak mudah untuk orang lain hidup di sini tapi sebaliknya, buatku, untuk hidup di sini sama seperti meludah; mudah. Ya, ya. Wajar saja memang.

Di Selatan tak banyak orang berbasa-basi dan aku suka itu. Hidup mengalir dengan penuh kepastian, sederhana, seadanya saja. Kalau ada yang bisa dibantu dari orang-orang maka bantulah tapi kalau tak becus bilang saja tak becus. Tak perlu berputar-putar untuk mengatakan “tidak”, tak perlu menyulitkan diri untuk bisa disebut “bermanfaat”. Sederhana saja. Orang-orang di sini sadar yang namanya orang banyak kurangnya. Maka jalan keluarnya dengan berbicara lantang apa adanya dan bukan malah berputar-putar. Kalau begitu, ngobrol jadi efektif dan solutif. Tak berbelit macam orang-orang kota yang sok.

Aku pun begitu. Begitulah aku. Selalu berkata apa adanya. Tak perlu berpikir untuk memilih kata supaya lawan bicara tidak tersinggung. Maaf saja, itu bukan gayaku. Itu bukan kebiasaan kami. Aku terbiasa jujur saja. Jelek ya bilang jelek. Sampah ya bilang sampah. Tak suka ya aku tak akan berpikir dua kali untuk mengatakannya dengan cara  paling seadanya. Sebabnya, kata-kata berbunga terlalu banyak minta diurus. Kudu begini, harus disiram, wajib dirawat, dan ya-ya-ya seterusnya. Sedangkan aku tak ingin membebani diri dengan hal-hal yang minta banyak urus. Aku ingin menghabiskan banyak waktu untuk hal-hal yang kusenangi saja. Sedangkan ngobrol, jadinya hanya kebutuhan yang seperlunya supaya aliran tak tersendat saja.

Di Selatan ikan banyak tidur nyenyak. Kerja melimpah bayaran ruah. Aku terbiasa sama kerja-sama makan-sama tidur dengan orang-orang. Kalau ada orang kerja melaut menangkap ikan aku pun akan sama kerja melaut menangkap ikan. Kalau ada orang sehari-hari makan kepiting dan udang mentah aku pun akan sama makan kepiting dan udang mentah. Kalau ada orang tidur di saung butut beralas tikar daun kelapa untuk menyangga tubuh dan kepala aku pun akan sama tidur di saung butut beralas tikar daun kelapa untuk menyangga tubuh dan kepala. Aku ingin sama merasa. Aku ingin sama menjalani hidup. Aku inginbukan mencintaimu seperti kata Pak Sapardirata rasanya. Dengan begitu aku bisa jadi manusia yang manusia.

Ke mana bakal?

Aku ingin berlabuh di kubangan matamu yang bening itu. Mengaso di bawah rindangnya deretan bulu matamu. Menikmati angin sepoi-sepoi sambil mengamati rindu, kasih sayang, perhatian yang sedang berenang di dalam karang di dalam matamu. Airnya yang dangkal sehingga mudah kusapa mereka. Kurengkuh pun bukan mustahil. Aku sungguh menginginkannya. Itu pun kalau kau membolehkan, tak merasa keberatan dengan kehadiranku yang mungkin bisa-bisa malah mengganggu ketertiban umum.

Tapi sih aku yakin seyakin yakinnya lelaki yakin. Kau akan memberiku izin untuk segala inginku. Kau kan satu-satunya perempuan yang pernah bilang begini padaku, “Kelak, kalau kedua mata ini sudah menang beradu tatap melawan rembulan, itu berarti kau akan menjadi milikku.”

Ah ya. Aku sudah jadi milikmu ternyata. Jika begitu, yang perlu kita lakukan selanjutnya adalah pergi ke KUA dan menikah di dekat muara tempatku sering menghabiskan waktu dengan  memancing bersama Jibril. Sekalian saja kita minta dia jadi penghulu. Sebagai saksi cukuplah gerombolan meganya yang jadi saksi. Kemudian untuk urusan yang lain-lain, tak perlu pusing. Biar orang-orang saja yang pusing sembari kebakaran jenggot. Kita menikah seadanya saja, yang penting selamat. Efisien dan akan menghemat banyak waktu, tenaga serta pikiran.

Aku ingin—bukan mencintaimu dengan sederhana seperti kata Pak Sapardi, tapi—mencintaimu dengan bebeledagan. Seperti langit yang selalu pamit. Seperti gelombang yang selalu lantang. Seperti laut yang selalu surut. Seperti samudera yang selalu membabi buta. Seperti karang yang selalu tangguh. Seperti awan yang selalu tak pernah mengeluh. Aku ingin mencintaimu dengan bebeledagan. Seperti kembang api di malam tahun baru yang ekspresif. Tak malu menyuguhkan diri yang apa adanya. Tak menghindar untuk senantiasa terbuka. Tak sembunyi meski malam begitu mudah ditemui.

Oh ya, ya. Selamat tahun baru, Barisan Putri di Bumi. Selamat menyambut tahun baru. Tahun penuh Tuhan tanpa Hantu. Hantu-hantu gentayangan yang sering kali bikin kamu takut semoga cepat musnah. Musnah semusnah-musnahnya digebuk harapan, ditelan cita-cita, dibakar mimpi-mimpi yang indah. Biarkanlah kebaikan dari dalam dirimu berbaris membentuk barisan kokoh. Seperti gunung yang memasaki bumi. Seperti lautan yang mengasuh bumi. Seperti langit yang mengajari bumi. Putri, semoga selalu bahagia di bumi. Bumi yang dipenuhi Putri lebih fitri dari hari lebaran. Lahirlah kembali.

Aku akan menutupnya dengan barisan ayat Stubborn Love, The Lumineers:

It’s better to feel pain, than nothing at all

The opposite of love’s indifference

So pay attention now

I’m standing on your porch screaming out

And I won’t leave until you come downstairs


So keep your head up, keep your love

Keep your head up, my love

Keep your head up, my love

Keep your head up, keep your love


And I don’t blame you dear

For running like you did all these years

I would do the same, you best believe

And the highway signs say we’re close

But I don’t read those things anymore

I never trusted my own eyes

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...