Kita Tak Perlu
SIANG-SIANG begini harusnya kamu tengah
bersiap tidur setelah salat zuhur dan sedikit ngemil sambil mendengarkan
lagu-lagu picisan serta membaca beberapa paragraf tulisan di sosmed, atau
mungkin sambil membayangkan bagaimana jika kamu tertidur dan bangun-bangun
ternyata sudah berada di depan Masjidil Haram atau Masjid Nabawi.
Tapi siang ini kamu sedang berada di sebuah
ruangan yang walau dikepung pendingin tapi rasanya tetap saja tubuhmu bergolak
mendidih. Di hadapanmu kertas berlipat-lipat berisi soal-soal menunggu diisi. Kamu
dikelilingi orang yang sama, orang-orang yang sedang menghadapi kertas berlipat-lipat
berisi soal-soal yang kudu dikerjakan. Matamu kembali lagi, menatap tajam lipatan
kertas di hadapanmu. Tanganmu terlatih membuka lipatan-lipatan kertas. Perlahan
sembari mengamati maksud dari semua itu. “Apa-apaan ini?”
Keringat tergelincir dari keningmu,
menabrak meja.
Padahal selama nyaris empat bulan
kamu sudah mempersiapkan diri untuk hari ini. Kamu sudah banyak belajar. Kamu sudah
belajar banyak. Kamu belajar, mempelajari semua yang diperlukan, berlatih
mengisi soal-soal, dan berlomba setiap harinya untuk balap lari dengan waktu. Kamu
percaya hasil yang baik lahir dari usaha yang tekun. Hasil tak akan
mengkhianati usaha, kata orang-orang. Kamu pun yakin apa yang sejauh ini telah
dipelajari tak akan sia-sia meski mungkin soal-soal dalam tes nanti tak akan pernah
sama. Kamu sudah bersiap untuk segala kemungkinan yang paling buruk. Tapi, “Apa-apaan
ini?”
Keringat mengucur bagai doa yang dirapal
orang susah.
Kamu telah menduga semuanya akan sulit.
Soalnya pengalaman telah mengajarkan kepadamu: akan selalu ada tanjakan setelah
jalan datar dan turunan. Meski murah tapi hidup memang tak mudah. Dunia ini
sebenarnya gratis, tapi ternyata tetap saja manusia harus membayarnya dengan
jerih payah untuk sekadar menumpang hidup. Ruangan itu terasa sesak. Keningmu berkerut.
Kamu mencoba menangkap ingatan yang berloncatan tapi tak berhasil. Kamu tak
menangkap apa pun kecuali bayangan kegagalan. Kamu tak meringkus apa pun
kecuali perasaan pasrah. “Apa-apaan ini?”
Kamu menyapu keringat di kening. Kamu
mengelap risau di dada. Kamu membakar cemas di kepalamu. “Apa-apaan ini?”
Kamu bangkit dari kursi seraya
menyambar tas. Lipatan kertas berisi soal-soal kamu bawa menghampiri pengawas
yang menatapmu heran. Kamu melempar kertas berisi soal-soal itu ke depan
wajahnya, dan setengah berteriak kamu berkata, “Mengapa aku kudu peduli?”
Waktu berhenti. Ruangan itu
digerayangi sepi. Orang-orang mengangkat kepala. Perhatian mengarah padamu.
“Mengapa aku kudu peduli? Mengapa aku
kudu peduli untuk mengisi soal-soal tes CPNS ini? Sudah cukup. Sudah cukup dengan
CPNS ini; Capek, Pegal, Nangis, Stres. Selama ini aku sudah merasakannya. Capeknya,
Pegalnya, Nangisnya, Stresnya. Lantas soal-soal ini, untuk apalagi? Mengapa aku
kudu peduli?”
Si pengawas mematung saja. Kamu berbalik,
melangkahkan kaki keluar dan membanting pintu. Di kejauhan sana, di gedung Kemendikbud,
petir menyambar orang-orang yang sedang tidur siang.
KAMU keluar dari ruangan itu. Menuruni
tangga panjang. Meninggalkan kompleks gedung-gedung yang tampak angkuh. Di depan
sana kamu melihat sesuatu, dan kamu bergegas ke sana.
Di tempat itu, di kedai mi gacoan,
kamu memesan mi paling pedas yang disediakan di dunia. Kamu ingin menghilangkan
rasa rungsing di kepala. Kamu hendak mengapus segala kekhawatiran di dalam
tubuh. Kamu ingin membinasakan kecemasan-kecemasan yang tak perlu. Menyalalah cabe!
Bakar itu semua!!!
Meski begitu tapi pada akhirnya kamu toh
tetap meneteskan air mata. Tak apa, menangislah, menangislah. Walau tak menyelesaikan
masalah tapi setidaknya tangisan bisa bikin dada lega. Kamu menangis, mengambil
hapemu, menghubungiku, “Jemput aku ya di kedai mi gacoan.”
Aku langsung meluncur bersama
vespaku. Tiga hari berlalu dan aku sampai di kedai mi gacoan. Kamu duduk
cemberut di dekat parkiran. Aku menghampirimu, mengelus kepalamu yang rungsing.
Aku tak perlu bertanya “kamu kenapa” karena air matamu sudah menjelaskan semuanya.
Lantas aku duduk di sampingmu, kali ini mengelus punggungmu. Api di dalam
tubuhmu belum sepenuhnya padam, maka kemudian aku meniupkan puisi ke dalam
ubun-ubunmu:
Dunia ini bulat
seperti tahu
Nasib itu kuat
siapa yang tahu?
Dunia memang sudah sinting
tapi hidup tak selalu soal genting
meski tetap rapuh seperti halnya ranting
maka hanya pedulikanlah apa-apa yang penting.
Kita pergi dari parkiran. Aku membawamu
pergi dari sarang kesedihanmu. Kamu memelukku erat. Erat sekali sampai aku
merasa seperti dililit ular sanca. Tapi aku tetap suka, karena pada momen seperti
itu, sudah seharusnya lelaki berperan perkasa.
Kita meluncur menyusuri jalanan,
meliuk-liuk di belantara kota, menyalip banyak kendaraan dari mulai motor
bebek, mobil rentalan, truk semen, angkot, bus damri, kereta cepat, becak,
delman, sampai gerobak tukang sampah. Kita menyalip semuanya bersama-sama
seperti sedang berada di dalam sirkuit balap yang dijejali orang-orang yang teramat
ugal-ugalan mengejar dunia. Di depan sana tampak mendung menanti. Benar saja,
hujan pun turun. Besar sekali seakan tahu kalau api di dalam tubuhmu belum
benar-benar padam. Kita melipir, mencari tempat berteduh karena lupa tak membawa
jas hujan, dan berakhir di depan toko bekas fotokopian yang sudah tutup.
Hmmm… andai hidup bisa difotokopi,
diperbanyak, supaya kalau gagal masih punya cadangan. Andai mimpi dan cita-cita
bisa selalu dicetak ulang. Andai dunia ini sebagaimana tempat fotokopian yang
cekatan menolong dan menyelesaikan permasalahan orang-orang…
Kita duduk mengemper bersandar tembok.
Kamu merebahkan kepala ke pundakku, aku memijat keningmu dengan tangan kiriku. Kita
khusyuk menghadapi deras hujan. Andai kesempatan seperti hujan deras itu. Barangkali
hidup tak perlu terburu-buru. Kita tak perlu selalu berpacu melawan waktu. Dan akan
ada banyak kesempatan untuk berteduh, melamun, berpelukan.
Tiba-tiba terdengar denting bunyi
mangkok. Ternyata tukang cuanki minta izin hendak ikut berteduh. Ia melempar
senyum, tapi kita tahu itu hanyalah sebuah trik. Maka demi menghiburnya kita
pun pura-pura termakan triknya.
“Sepertinya asik nih cuanki. Mau?”
“Boleh,” timpalmu.
“Bikin dua, Mang!”
Mamang Cuanki cekatan menyiapkan
mangkok, menaburinya dengan bumbu-bumbu, dan merebus bahan-bahan yang diperlukan.
“Nganggo mi, Sep?”
“Atur saja, Mang. Tambah apa pun yang
sekiranya perlu.”
Mamang Cuanki langsung mengerti. Tanpa
menunggu penjelasan lebih lanjut, ia merebus mi dan sayuran. Andai hidup sepengertian
sebagaimana Mamang Cuanki...
Tak butuh waktu lama dan dua mangkok
cuanki dihidangkan. Kita buru-buru menikmatinya selagi hangat, sedangkan Mamang
Cuanki kembali menyalakan rokoknya menghadap hujan. Khusyuk sekali, seperti
sedang sembahyang saja.
Cuankinya enak. Kita menikmatinya dengan
lahap. Perpaduan asin-manis-pedasnya sempurna. Mamang yang satu ini bukan
sembarang mamang sepertinya. Aku curiga dia itu Hanoman yang sedang menyamar.
“Mang, ini kok jadi tambah asin ya
kuahnya?” Tiba-tiba kamu protes. Merasa Si Mamang Cuanki teledor sebab mengocorkan
terlalu banyak cuka.
Dia kaget. Dahinya berkerut, air
mukanya menandakan tak percaya dirinya bisa seteledor itu. Dia menghampirimu,
melongok mangkokmu, dan lantas tersenyum geli. Kamu kesal bukan main.
“Loh kok malah senyum sih?”
“Itu mah ingus Neng, bukan cuka.”
Kamu seketika berhenti mengayunkan
sendok. Tapi sudah kepalang tanggung.
“Ya mana aku tahu, Mang!”
Si Mamang paham, kamu sedang
bersedih. Maka ia tak lanjut menjawabmu, dan kembali merokok menghadap hujan. Dia
tahu kamu sedang sedih, dan perempuan yang sedih memang tak mudah dijinakkan
kecuali oleh kekasihnya.
Aku merangkulmu, mencoba
menenangkanmu sebelum bara di dalam dadamu berkobar kembali. Kamu bilang Si
Mamang Cuanki itu kurang ajar, tak mengerti perasaan perempuan, brengsek. Kudunya
dia mengaku salah saja dan minta maaf karena telah memasukkan terlalu banyak cuka.
Ini malah bilang kalau itu ingusku. Aku juga sebenarnya sudah tahu, sudah
curiga. Tapi kan tak perlu juga dia berkata jujur begitu.
Aku setuju. Dia memang Mamang Cuanki
kurang ajar yang tak mengerti perasaan perempuan dan brengsek. Tapi sebenarnya dia
tak punya maksud jahat. Dia cuma sedang menunjukkan kalau dunia memang tak selalu
berputar sebagaimana keinginan kita. Si Mamang Cuanki hanya ingin bilang kalau dalam
hidup kadang malaikat menambahkan bumbu yang sebenarnya tak ingin kita pesan. Kamu
mau mendengarkanku meski tampak masih kesal.
Hujan bukannya berhenti tapi malah
bertambah deras. Kita masih duduk mengemper di depan toko bekas fotokopian. Sementara
Si Mamang Cuanki sudah cabut lebih dari sejam yang lalu. Kamu kembali membaringkan
kepalamu, kali ini di kedua pahaku. Aku mengelus kepalamu. Dalam diam dan
hening, kita saling mengucap terima kasih. Benar, hidup memang brengsek tapi hanya
itu yang kita punya. Hidup memang brengsek tapi bukan soal selama kita selalu
bersama.
Komentar
Posting Komentar