Catatan Pementasan

Sandiwara Akan Berakhir Tiga Episode.

Si badut melangkah setengah berlari. Sambil sesekali menabrak dinding dan bebatuan. Ia sering terbentur. Merasa kesakitan. Kesakitan yang membuatnya terjebak dalam dua dimensi; dirinya dan orang lain. Kadang ia sadar dan bisa membedakan dengan baik kedua dimensi itu. Tapi seringnya hal itu membuat dirinya kesulitan menemukan dan menapaki realitasnya sendiri. Ia terombang-ambing di antara realitas dirinya dan orang lain. Begitulah hidupnya. Itulah dunia yang dihadapinya. Dunia yang membuatnya berpikir, “Lama-lama kok pusing juga ya…”

Kedai Kopi.

Demikianlah lakon sandiwara monolog dibuka. Sebuah sandiwara yang barangkali bisa dikatakan mahiwal. Karena tak sebagaimana biasa, sandiwara ini dipentaskan di sebuah kedai kopi. Tentu bukan tanpa alasan. Dalam obrolan santai, Baharzah Martin yang bertindak sebagai Eksekutif Produser berkata begini:

“Sekarang orang kan mengenal teater sebagai kesenian yang eksklusif. Selalu dipentaskan di gedung-gedung pertunjukan yang sering bikin awam yang nonton terintimidasi. Ruangannya gelap, ber-ac, permainan lampu canggih, dengan naskah yang berat untuk dicerna. Yang nonton pun kebanyakan mereka-mereka saja yang berkecimpung di sana. Itu yang sering bikin awam malas untuk nonton teater. Lebih baik nonton film di bioskop atau konser musik, misalnya. Sebab di sana mereka merasa aman dari judgment-judgment yang tak perlu. Maksudnya begitu, mengapa sandiwara monolog ini dipentaskan di kedai kopi. Untuk menyediakan tempat alternatif di mana awam bisa menyaksikan sebuah pementasan dengan riang gembira dan terbebas dari ketakutan-ketakutan yang tak perlu.”

Aku sepakat. Pertunjukan teater memang seharusnya menjadi hiburan yang bisa dikonsumsi siapa saja. Seperti halnya dulu. Teater-teater tradisional di Indonesia selalu dekat dengan orang biasa. Katakanlah Lenong, Ludruk, atau Longser. Dulu orang-orang santai saja, riang gembira menikmati pertunjukan-pertunjukan teater. Siapa pun bisa menonton. Siapa pun bisa mengaksesnya tanpa perlu takut di-judge. Terbalik 180 derajat dengan kebanyakan pementasan-pementasan teater modern.

Kita sudah sama-sama mafhum dunia akan selalu bergerak dan berubah. Untuk itu, kemampuan beradaptasi penting dimiliki setiap orang. Seperti kata pepatah Sunda, Kudu Miindung ka Waktu, Mibapa ka Jaman. Kita kudu cermat menyiasati perubahan zaman. Kita kudu pandai memikirkan bagaimana caranya ngigelan zaman yang akan selalu bergerak. Dan kedai kopi, merupakan jawabannya.

Kiwari, kedai kopi sudah bukan lagi hanya sebatas tempat untuk menikmati segelas kopi. Kedai kopi pun sudah tak melulu soal tempat di mana orang-orang bertemu, mengobrol, dan bercengkrama. Kini kedai kopi punya peran lebih dari itu. Selain sebagai tempat healing, kedai kopi biasa dijadikan tempat untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah, kuliah, atau kerjaan. Biasa juga dipakai sebagai tempat rapat-rapat kantor atau organisasi. Atau tak jarang juga dijadikan sebagai tempat untuk melangsungkan acara sakral seperti pernikahan sekaligus pestanya.

Itulah mengapa kedai kopi merupakan jawaban yang tepat sebagai alternatif tempat pementasan. Orang yang datang beragam, berbagai jenis, berbeda latar belakang. Karenanya, tepat untuk mengenalkan kembali teater yang dekat dengan masyarakat.

Sumpah, Ini Pemuda!

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Di atas panggung si badut merasakan euforia luar biasa mendengar kalimat-kalimat sumpah tadi. Ia merasakan semangat yang menggebu untuk hidup sebagai pemuda harapan bangsa. Atau minimal, jadi pemuda idaman calon mertua. Lantas ia bertekad menerapkan hidup sehat. Tanpa lemak, tanpa gula. Hanya air putih, nasi putih, dan putih telur. Ia bertekad bangun setiap pagi dan push-up tujuh kali. Tapi di tengah opitimismenya ia terbentur… terbentur kenyataan. Ia tengah berada dalam masa quarter-life crisis. Lantas satu pertanyaan melintas, “Kamu tuh mau jadi apa sih?”

Ampun. Pertanyaan yang tak punya belas kasihan. Pertanyaan yang sering dijumpai pemuda dan pemudi. Pertanyaan yang mengancam kestabilan kesehatan mental. Pertanyaan yang banyak menyebabkan para pemuda dan pemudi menderita mental illness.

Sulit dihindari. Manusia memanglah makhluk individu yang bebas. Manusia bebas menafsir dan mendefinisikan dirinya. Manusia bebas untuk menjadi dirinya sendiri. Tapi kebebasan yang dimilikinya selalu terbatas karena orang lain juga punya kebebasan yang sama. Oleh karena itu manusia sering hidup di luar persepsinya. Manusia sering terjebak dalam definisi dan tafsir orang lain tentang dirinya. Orang lain mungkin akan menilai cara kita berbicara, berekspresi, dan menyimpulkan antum ini begini-begitu tanpa tahu bagaimana keadaan sebenarnya. Inilah yang kata Jean-Paul Sartre, hell is other people.

Relasi antar manusia memang selalu melibatkan perjuangan untuk mendapat kebebasan. Itu muncul karena kita memperlakukan orang lain sebagai objek yang artinya kita sedang merongrong kebebasan mereka. Atau kita membiarkan diri kita diperlakukan sebagai objek oleh mereka yang merongrong kebebasan kita. Dari sana muncul perebutan dominasi, siapa yang jadi subjek, siapa yang jadi objek.

Sial tak kepalang. Dalam kehidupan kini, biasanya yang paling sering kena sasaran adalah pemuda dan pemudi. Pemuda atau pemudi sering dijadikan objek oleh orang-orang yang biasanya sudah start lebih dulu dalam kehidupan. Maka penilaian berkedok pertanyaan semacam ini kerap muncul:

“Udah jadi apa?”

“Sukses belum?”

“Nikah belum?”

“Anak ada berapa?”

“Motor masih yang ini aja nih?”

Orang-orang lupa kalau setiap orang punya start yang beda. Beda proses, beda jalan, beda pilihan, beda kecenderungan, beda prioritas. Tapi mereka tentu tak mau tahu dan apalagi peduli. Begitulah penilaian yang berkedok pertanyaan itu dinormalisasi. Pertanyaan “Udah jadi apa” mungkin dilemparkan kepada kita oleh ibu teman kita yang anaknya sudah jadi PNS. Pertanyaan “Sukses belum” mungkin dilontarkan tetangga yang anaknya sudah jadi aparat. Pertanyaan “Nikah belum” barangkali secara sengaja ditujukan untuk meledek kita yang jelek, gembel, dan belum dapat kerja. Astagfirullah! Kejam sekali ya dunia.

Dalam realitas semacam itu si badut tetap berjalan, melangkah. Tapi tak lama ia berteriak dan menangis histeris, “Aku menginjak dewasa Mak…. Tapi aku belum punya apa-apa. Aku cuma punya koper kesayanganku ini, yang sering aku bawa ke mana-mana buat mengembara…”

Badut

Si badut berubah menjadi seorang pemuda. Pemuda yang setiap pagi ngopi dan nyebat sambil memerhatikan burungnya yang menggeliat. Ialah pemuda anggota Komunitas Kacer Mania. Pemuda yang hanya hidup bermodal burung. Nasap namanya.

Banyak orang iri pada hidup Nasap. Meski hidup hanya modal burung tapi pacarnya cantik. Kerjaannya santai. Sehari-hari hanya seputar burung dan perut. Setiap pagi dinikmati dengan secangkir kopi dan sebatang rokok. Tak perlu terburu-buru mandi, pakai seragam, dan berangkat kerja sampai malam. “Aduh, itu kerja apa dikerjain?” Katanya kalau sedang ngecengin orang.

Hidup yang damai itu ternyata tak bertahan lama. Nasap yang masihlah seorang manusia tak bisa lepas dari hukum alam. Saat ia sedang bersantai sambil membuka medsosnya, ia mendapati kekasihnya menulis begini, “Pengen jalan-jalan, tapi ayang nolak terus”. Ia kesal dan lantas marah. Padahal ia sudah menjelaskan kondisinya kepada kekasihnya itu. Ia belum punya uang, dan uang itu hanya bisa didapat kalau ia sudah berhasil menjual burungnya. Tapi kekasihnya sudah tak tahan. Kekasihnya tak mau mengambil risiko untuk hidup bersama lelaki yang hanya modal burung saja. Dan berakhirlah hubungan mereka.

Hidup memanglah badut. Setiap orang adalah badut. Setiap hari kita memulas wajah dengan make-up tebal, memasang senyum palsu, menunjukkan pada dunia bahwa kita baik-baik saja. Setiap hari kita berangkat kerja, berpura-pura bekerja sepenuh hati padahal kita tahu itu bukan pekerjaan yang kita inginkan. Setiap hari kita meyakinkan diri kalau perempuan itu adalah jodoh kita padahal jauh di dalam hati, kita belum benar-benar move on dari sang mantan yang legendaris. Setiap hari kita memasang topeng, menjadi badut. Setidaknya dengan begitu, kita berharap dunia bisa memberi sedikit belas kasihnya.

Begitulah si badut hidup di dunianya. Meski belum sukses, walau masih melarat, belum menikah dan tak punya kerjaan tetap, tapi ia terus melangkah menapaki realitasnya. Setelah menengok sedikit dan merasakan sendiri realitas yang dijalani Nasap ia mulai mengerti. Ia tahu realitasnya amat sulit dijalani. Tapi ia pun mengerti kalau orang lain punya kesulitannya masing-masing. Ia memang bisa memilih realitas mana yang ingin dipijaknya. Tapi meski begitu, ia tetap berjalan di realitasnya sendiri. Untuk terus mengembara dengan koper kesayangannya. Di dalam koper itulah hidupnya digantungkan. Di sana ada mimpi, cita-cita, dan semangat.

Koper itu adalah bukti keimanannya. Bahwa pada suatu saat ia akan hidup sebagai dirinya sendiri, dan terbebas dari persepsi orang lain yang sering kali ugal-ugalan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...