(Bukan) Khotbah Nik—ah
Ijab-Qobul
Ini sudah entah keberapa kalinya aku
datang ke sebuah pernikahan seorang diri. Kedua puluh atau ketiga puluh kali,
mungkin? Entahlah. Dan setiap kali aku mendatangi pernikahan selalu muncul ketakutan:
takut ditanya, “Kapan nyusul?” Seolah-olah dunia hanya berputar soal
pernikahan, berkembang biak, dan soal menjaga keturunan.
Tapi itu dulu. Sebelum aku sadar
kalau pertanyaan semacam itu tak perlu diseriusi jawabannya dan tak perlu
dipikirkan bagaimana cara menghadapinya. Maka ketika kemarin beberapa ibu-ibu
dan nenek-nenek melemparkan pertanyaan “kapan nyusul”, aku kalem menjawab, “Doanya
saja.” Dan itu begitu mujarab. Tak ada pertanyaan lanjutan. Tak ada nasihat
yang tak perlu.
Setiap pernikahan selalu memberiku
perasaan sakral dan rawan. Sakral karena itu hanya akan bermakna jika dilakukan
sekali seumur hidup, dan rawan karena aku mengerti menjalani hidup dengan pasangan
yang sama sampai almarhum butuh energi dan mentalitas jempolan. Oleh karena itu
aku selalu emosional. Membayangkan bagaimana upaya mereka mempertahankan ikatan
yang hanya modal mulut saja. Membayangkan bagaimana upaya mereka menghadapi
setiap permasalahan. Membayangkan bagaimana mereka kudu terus belajar untuk
saling mengerti sampai usia direnggut kala.
Untuk itu, bagiku, yang kemarin
secara langsung menyaksikan kalian—Annisa dan Nikolai—mengucap ikrar akan hidup
bersama sampai mangkat, kalian luar biasa.
Menyebrang
Namanya Nikolai Kasabov. Lelaki keturunan
Bulgaria yang lahir dan besar di Austria. Sudah hidup tiga puluh dua tahun
dengan beberapa tahun belakangan sebagai muslim. Dialah lelaki yang jauh-jauh
menyebrangi lautan itu. Dialah Arjuna dalam lagu Dewa 19 itu.
Aku yakin Austria tak kekurangan
perempuan lajang yang ingin menikah. Kalau mau, ia bisa saja memilih serta menikahi
perempuan yang ada di negaranya dan tak perlu jauh-jauh datang ke Bandung. Tapi
itulah jodoh. Begitulah cara Gusti Allah bekerja. Siapa sangka ternyata Nik
mendapatkan jodohnya di Manisi, Cibiru.
Jodoh memang misterius, tapi bukan
berarti tak bisa dipecahkan. Tentu saja syarat untuk memecahkan sebuah misteri terlebih
dulu kita mesti pandai membaca tanda-tanda. Tanda-tanda yang tersembunyi
di sepertiga malam. Tanda-tanda yang terselip di hati dan pikiran. Tanda-tanda
yang menempel di gumpalan awan, di deretan pohon, di gemuruh ombak,
di bentangan layung yang indah itu. Kalau sudah begitu, sudah bisa membaca tanda-tanda, kantun
ikuti saja ke mana mereka membawa kita. Namun tak jarang tanda-tanda memang pandai menipu dan sering kali
mengecewakan. Lantas bagaimana kita yakin kalau tanda-tanda yang kita baca itu
sudah benar apa belum? Tak ada cara lain selain mengikutinya dan membuktikannya
sendiri.
Beberapa tahun terakhir selama sepuluh
bulan Nik mempelajari Islam. Sebagaimana sering terjadi, dalam hidupnya ia
merasa masih ada sesuatu yang kurang. Ada lubang di dalam hatinya yang membuat
dirinya gampang kempes dan bocor. Setelah dicari dan dipelajari, ternyata
Islamlah yang selama ini dinantinya. Dari sana kehidupan perlahan berubah. Meski
merangkak tapi ia tak pernah berhenti bergerak. Sampai kemudian langkahnya itu
membawanya ke Negeri Para Bujangga dan Banondari, Tanah Priangan.
Nik sudah memberi contoh. Asal kita
berani menyebrang dan menghadapi segala risiko, kebahagiaan bukan lagi barang
langka yang sulit ditemukan.
Balkon
“Nik, gimana caranya antum yakin seratus
persen kalau
Annisa itu jodohmu?”
“You can never be sure. Just do it, my
friend.” Katanya mantap.
Begitulah obrolan aku dan Nik
berawal. Setelah banyak membicarakan persoalan jodoh dan bagaimana caranya
meyakinkan diri atas setiap keputusan yang sudah diambil, obrolan beralih ke
seputar sepak bola. Kalau ada satu kekurangan dalam dirinya, itulah
kekurangannya: ia ternyata fans Manchester United. Ha-ha-ha. Kami saling mengejek
setelah kubilang kalau aku fans Arsenal. Di akhir tahun 1990-an dan awal
2000-an semua orang tahu bagaimana panasnya rivalitas antar dua klub itu.
Obrolan lantas bergeser ke balkon
hotel. Pagi hari sambil berjemur. Kami membicarakan komunisme, keruntuhan Uni
Soviet, perkembangan Islam di negara-negara Balkan, serta betapa hipokritnya sebagian
besar negara di Eropa. Mereka selalu punya standar ganda dalam bersikap dan
berperilaku. Kami sepakat menjadikan penjajahan Israel atas Palestina sebagai
contoh dengan konteks sepak bola.
Di sepak bola Eropa ada aturan yang
menyebut kalau sepak bola harus terbebas dari simbol-simbol politik. Sepak bola
harus netral, dan kudu menjadi tempat di mana semua orang sama. Tapi saat kemudian
konflik antara Rusia dan Ukraina meledak, mayoritas negara-negara Eropa jelas-jelas
menampakkan sikap dan keberpihakannya melalui liga sepak bolanya masing-masing.
Mereka bilang itu boleh, sah, legal. Itu adalah bentuk dari kebebasan
berpendapat.
Sebaliknya. Ketika konflik Israel dan
Palestina meledak mereka bungkam dan ramai-ramai melarang dan menegaskan
kembali bahwa sepak bola kudu netral dan bebas dari politik. Bendera dan segala
atribut dan simbol Palestina dilarang. Sebelum masuk stadion setiap suporter yang
hendak menonton diperiksa secara ketat. Para pemain yang menunjukkan keberpihakannya
melalui media sosial langsung ditindak oleh klubnya. Pemain, suporter, dan
semua orang yang terlibat di dalam klub sepak bolanya dilarang untuk bersuara. Sepak
bola kudu netral dan bebas dari politik, katanya.
Nik tak yakin dirinya bisa bertahan
hidup lebih lama di Eropa. Ia sudah muak. Dan mungkin sepuluh tahun yang
akan datang ia akan benar-benar pindah dari benua itu, ungkapnya.
Cane Corso
Malam sebelum akad nikah, aku
bertanya apakah antum punya anjing, Nik. Matanya berubah berbinar. Ia yang
tadinya sedang rebahan di kasur mendadak bangkit seraya menjawab, “Ya.”
“Anjing jenis apa?”
“Italian breed dog; Cane Corso.”
“Namanya?”
“Nero.”
Bertuturlah Nik menjelaskan mengapa
namanya Nero. Namanya itu diambil dari mantan Kaisar Romawi dari Dinasti
Julio-Claudian. Kaisar gila yang bengis dan tak sungkan melakukan apa pun demi
melanggengkan kekuasaannya. Tapi meski begitu, Nero si anjing itu baik dan
setia tak seperti si mantan kaisar itu, pungkasnya.
Aku pun menimbrung. Menceritakan Si Lobo,
anjing kampung kesayanganku yang sudah kuurus dan kurawat sedari kecil yang
mati diracun. Ya, ia seperti Munir, mati diracun. Nik kaget, bertanya mengapa
bisa-bisanya orang begitu kejam meracunnya. Aku bilang karena di kampungku
banyak orang mabok agama dan membenci anjing karena najis dan oleh karena itu
anjing pantas dimusnahkan. Aku menduga ia agak sedikit emosi. Itu tampak dari tatapan
matanya dan caranya bertanya kepadaku.
“Najis? Maksudnya enggak bersih, kan?” Nik mencoba memastikan istilah
yang kupakai.
“Ya.”
Lantas ia berapi-api kalau hal itu
hanya persoalan sepele. Tinggal pisahkan saja si anjing dari kamar pribadi atau
dari tempat yang biasa kita pakai untuk salat. Kasih si anjing tempat, dan
bersihkan saja secara rutin. Selesai. Aku bilang padanya aku lebih dari sepakat.
Tapi persoalannya, kataku, mana ada orang mabok bisa dikasih tahu? Namanya juga
orang mabok. Kalau kelakuannya mahiwal bukan perkara aneh.
Kami membawa persoalan itu dengan
membandingkan empat mazhab populer dalam Islam yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hanbali. Sebagai kesimpulan kami sepakat kalau di antara empat mazhab itu tak
ada Imam yang katakanlah menganjurkan atau melegitimasi bahwa anjing halal
dibunuh. Perbuatan semacam itu murni lahir dari kebencian semata dan bukan dari
agama yang landasannya adalah rahmatan lil ’alamin. Sikap semacam itu
hanya lahir dari pemahaman keliru atas hadis-hadis anti-anjing yang berserakan
tak karuan. Padahal kalau kita benar-benar mempelajari hakikat anjing dalam tradisi
Islam dan alam, kami yakin orang-orang semacam itu akan musnah.
Doa Che Guevara
Sejak pertama kali kita bertemu dan mengobrol, aku
berusaha mencari nama dan panggilan yang cocok untukmu, Nik memulai. Dan sore
itu, setelah selesai akad nikah, saat kami hendak ke masjid mendirikan asar
tiba-tiba ia berkata, “Aku tahu apa julukan yang pas: antum akan kupanggil ‘Che
Guevara’.” Selain pikiran antum cenderung mirip, ciri-ciri fisik antum juga nyaris
sama. Terutama
rambut antum yang panjang ikal itu dengan brewok tipis di wajah.
“He was a little bit communist, but
it suits you perfectly.”
“Ya, ana tak keberatan dipanggil
komunis.” Aku tergelak, tak kuat menahan tawa.
Terima kasih, kataku akhirnya. Sebuah
kehormatan bisa dipanggil seperti itu. Semoga semangat, nyali serta
keberaniannya menular kepadaku. Meski aku merasa tak pantas, tapi Nik keukeuh
memanggilku “Che”. Ya sudah Nik, apa boleh buat. Sekali lagi, terima kasih. Mudah-mudah
itu bisa menjadi doa yang baik.
Beginilah akhirnya, kawanku, Nikolai
Kasabov. Urusanmu di sini sudah kelar dan antum kudu balik kampung. Semoga antum
dan istri menjalani kehidupan rumah tangga yang berbahagia. Senantiasa dalam lindungan,
rahmat dan karunia Allah. Aku tak akan kurang-kurang berdoa untuk kebaikan
kalian berdua.
I already miss you, my friend.
Che.
Komentar
Posting Komentar