Belajar Berhitung
Kamu
tersesat di hutan, dan aku adalah ular yang menemanimu.
Layung itu indah, katamu. Terasa hangat
di musim yang mulai dingin. Semakin benderang di tengah sore yang perlahan
dipeluk malam. Kamu tak jadi melangkahkan kaki. Kita berdua mematung sejenak.
Memandangi layung itu. Seolah-olah hendak mengucapkan terima kasih karena telah
menutup hari dengan magis. Meski tak saling berkata tapi kita sama-sama tahu. Sebenarnya
kalau bisa, kamu dan aku masih ingin menghabiskan separuh usia di sana. Kamu dan
aku masih ingin membaringkan diri di atas sore yang hangat sampai kata-kata dan
kalimat habis dicerna.
Namun itulah indahnya hidup. Karena
terbatas, maka segalanya jadi indah. Hal yang sesaatlah yang akan dipenuhi
makna. Kesementaraanlah yang akan membuatnya berarti. Tak heran mengapa kita akan
selalu jatuh cinta kepada yang fana.
Lantas kamu mengeluarkan hapemu. Ingin
mencoba mengabadikan keindahan yang sesaat itu. Hendak menangkap kesementaraan
itu. Tapi bahkan hape cerdasmu itu tak mampu melakukannya. Karena kemudian kamu
berkata, “Kok jadi beda ya?” Yah, memang. Kalau dipikir, secanggih apa pun
teknologi yang dibuat oleh manusia-manusia cerdas di bumi tak mungkin bisa
bersaing apalagi mengalahkan teknologi sederhana bikinan Allah. Mata kita,
misalnya. Maka hanya matamulah yang mampu mengabadikan keindahan sesaat itu
dengan cara paling sempurna. Hanya matamu yang mampu menangkap indahnya
kesementaraan itu.
Nyaris semua orang memang sudah jadi
korban iklan. Tak terkecuali kita berdua. Kita berpikir dan percaya kalau hidup
akan jauh lebih baik jika didukung dengan alat-alat bikinan manusia. Untuk
sebagian hal memang benar. Dengan hape komunikasi kita jadi mudah dan praktis. Kita
bisa mengobrol kapan saja, di mana saja, dan tak perlu menyuruh para malaikat
untuk bolak-balik menyampaikan pesan. Tapi, untuk menangkap dan mengabadikan sebuah
momen atau peristiwa?
Nyata, ceritanya beda. Untuk menangkap
momen atau peristiwa ternyata kita hanya perlu tubuh kita sendiri. Cukup. Hanya
itu: tubuh kita. Hape, barangkali memang bisa menyimpan gambar melalui matanya,
tapi ia tak bisa merasakan sebuah sensasi. Hape, barangkali memang bisa merekam
momen dan peristiwa, tapi ia tak punya indera untuk merasakannya. Ia tak bisa
merasakan perasaan bagaimana asyiknya saat kita sedang membicarakan tingkah
ibu-ibu di dalam kereta. Ia tak mungkin mengerti bagaimana senangnya kita saat
sedang mengobrol tentang mimpi, cita-cita, dan masa depan. Ia tak akan paham
bagaimana sejuk tapi sekaligus hangatnya sore itu. Ia tak akan merasakan
getaran-getaran itu. Tak mungkin. Hanya kita. Cuma tubuh kita yang mampu.
Untung tubuh ini Engkau yang bikin, bukan
Cina apalagi Amerika.
Sebuah momen, jutaan peristiwa. Kita berdua
duduk. Menghadap hamparan kota. Memandangi kehidupan di bawah sana. Ada seorang
gadis sedang belajar mengendarai motor. Ada bapak-bapak sedang berlari entah
sudah berapa putaran. Ada mobil pick-up lewat mengangkut banyak barang. Di
kejauhan sana kita mendengar kendaraan seperti tak pernah berhenti. Deru mesin,
lengking klakson, suara orang-orang mengobrol dan berteriak di pinggir jalan. Peluit
ditiup amat nyaring.
“Itu ada acara nikahan ya?”
“Sepertinya,” jawabku.
Ya, dari kejauhan sana juga terdengar
jelas dan nyaring. Bunyi musik dangdut dan lagu-lagu sedang dinyanyikan. Tepak kendang,
senandung suling, gilek penari, decak para pemusik. Terdengar ramai. Tampaknya asyik
dan enerjik. Mungkin di bawah sana Hanoman sedang khusyuk bertayub dan menyawer
para penari. Meski singkat, ternyata hidup memang tetap perlu
dirayakan.
Banyak hal kita bicarakan. Mulai dari
mengapa buku latihannya tebal sekali, mengapa cuaca begitu panas dan lembab,
mengapa siang-siang begini enaknya tidur siang, dan apa pentingnya untuk tahu berapa
sisa uang Ceu Onah setelah membeli 10 kg beras, 10 pon tepung, dan seikat
sayuran yang telah didiskon sekian persen dan kemudian dikurangi untuk ongkos
bayar tukang ojek. Apa pentingnya untuk karir kita?
“Bagi ibu-ibu itu penting,” tukasmu.
Ya, ya. Bagi siapa pun uang memang
penting. Sebab kini apa-apa mesti butuh uang. Tak ada uang, tak mungkin sayang,
kata sebagian orang. Tuan Krab juga bilang kalau uang lebih manis daripada
madu. Uang, uang, uang. Dialah yang menggerakan kehidupan kini. Kita bisa
berkata, “Aku kangen, ingin ketemu, ayo mengobrol sampai subuh,” tapi tanpa
uang, kerinduanmu akan sekarat dan meranggas, mati. Kita butuh uang untuk isi
bensin motor, atau mobil. Kita butuh uang buat beli tiket bis, kereta, atau
pesawat. Dan kita sudah pasti perlu uang untuk sekadar makan, minum, dan
memberinya kejutan berupa hadiah. Buat beli cokelat, misalnya.
“Tapi aku masih begini; belum punya
banyak uang…”
Tak apa, katamu. Uang bisa dicari. Asal
mau bergerak, asal rajin menekuni pekerjaan. Lagi pula, “banyak” itu ukurannya
apa? Bagaimana cara mengukurnya? Toh kaya yang sebenarnya itu bukan perkara
harta, tapi perkara hati dan jiwa. Uang banyak, tapi kalau hati dan jiwa kita miskin,
seumur hidup kita akan tetap merasa kekurangan. Hidup jadi terburu-buru. Capek sendiri.
Tak pernah merasa tenang apalagi damai.
Huh, kehidupan…
Karena terlalu memikirkan uang orang
jadi banyak terjebak dalam hustle culture. Sering kita mendengar
pertanyaan begini di medsos:
“Kalian umur 23 tahun sudah jadi apa?”
“Umur 28 tahun sudah punya gaji dua
digit belum?”
“Masa umur 35 masih belum punya
rumah?”
Hidup jadi semacam perlombaan, harus
ada yang menang dan yang kalah. Harus ada juara dan pecundang. Akhirnya kita jadi
terburu-buru. Takut tertinggal, cemas tak bisa mengejar, khawatir berakhir
menjadi gembel di kolong jembatan atau di emperan toko. Lantas kita hidup mati-matian,
menghalalkan segala cara, bekerja sangat keras karena percaya kalau tidak
begitu maka kita tak akan pernah sukses. Kita jadi lupa kalau variabel sukses
itu teramat banyak. Di sana ada doa orang tua, ada bantuan dari teman, ada campur
tangan malaikat, dan mungkin ada harapan dari seekor kucing gembel di pinggir
pasar yang tak sengaja kita beri makan. Kita tak bisa sukses seorang diri. Tak
mungkin. Dan jangan salah sangka. Aku tak berkata kita tak perlu usaha. Ikhtiar
itu perlu, wajib. Tapi perkara hasil, usaha kita bukan satu-satunya jaminan. Maka
dari itu, ada yang namanya tawakal.
Aku pun bercerita padamu. Fenomena semacam
itu sudah nyaris menjangkiti seluruh permukaan bumi. Jepang dan Korea Selatan
bisa dijadikan contoh. Di Jepang dikenal istilah karoshi, yang berarti
kematian akibat kelelahan bekerja. Sedangkan di Korea Selatan, gwarosa merupakan
istilah untuk jenis kematian yang sama. Selain itu, tak sedikit orang yang
lantas memilih bunuh diri akibat tak kuat memikul tekanan kerja.
“Mungkin mereka begitu karena tak
punya iman?” tanyamu.
Mungkin saja. Ya, ya. Selain uang,
dalam hidup yang sulit ini iman juga tak kalah penting. Tanpa percaya, tanpa
yakin, tanpa iman, banyak dari kita sepertinya akan berakhir menggantung diri
saat bertemu kegagalan. Tapi jika punya iman, setidaknya saat bertemu kegagalan
atau ketika hidup sedang tak berjalan sesuai rencana dan target (memangnya ada
hidup yang selalu sesuai rencana dan setiap target bisa dicapai?) kita tahu ke
mana harus kembali. Kita tahu kepada siapa kudu mengadu.
Jodoh, karir, bagja, cilaka. Siapa yang
tahu?
Akhirnya, walau tak terucap, kita
sama-sama yakin. Apa yang ada di depan bukan sepenuhnya urusan kita. Apa yang
ada di belakang bukan sepenuhnya salah kita. Kita sama-sama meyakini untuk
menikmati momen ini saja. Pelan-pelan, perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Entah
akan ke mana pikiran dan perasaan membawa kita di masa depan. Pokoknya kita yakin
bahwa akan selalu ada jalan. Akan selalu ada petunjuk ke mana perasaan kita harus
berlabuh.
Kita tak perlu jadi orang yang
terlalu mengedepankan value-rational action. Tak perlu berpikir sampai
sejauh itu. Tak perlu mempertimbangkan segalanya secara rinci. Akan capek
jadinya kalau dipaksa seperti itu. Tapi kita pun tentu juga tak ingin hanya mengandalkan
rationally-purposeful action. Bisa gawat juga soalnya kalau kita tak
mencoba menduga kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan. Sepertinya, sebagaimana
Abahmu, kita hanya perlu jadi orang NU saja. Jadi orang yang berada di
tengah-tengah dengan corak wasathiyah.
Setelah bertemu denganmu, rindu yang
lalu dibayar tuntas. Tapi kemudian saat kamu pulang, rindu-rindu baru mulai
tumbuh. Hmmm…. Sepertinya kerinduan ini memang tak akan ada habisnya.
Komentar
Posting Komentar