Perang, Gula, dan Manisnya Anggur.

 

Palestina dan Israel semakin memanas. Perang berkobar. Dunia berkoar. Orang-orang berdebar. Seorang zionis dibunuh. Puluhan muslimin dibunuh. Ratusan zionis dibunuh. Ratusan ribu muslimin dibunuh. Jutaan anak-anak, perempuan, dan manula dibunuh. Sehari-hari sarapan tangis. Orang yang puasa berbuka dengan jeritan. Kurma diaduk dengan air mata…. Tuan dan Nyonya, belajar logika sudah sampai mana?*

Di atas kertas, perang memang mematikan sekaligus bikin melarat. Tapi, meski begitu. Katanya, justru gulalah dan bukan perang yang paling lihai soal ihwal membunuh.

Setiap tahunnya, korban gula lebih banyak daripada korban perang. Perang memang ada di mana-mana. Ada di setiap benua, terjadi di setiap negara, melintasi segala gunung dan samudera. Namun begitu pun gula. Ia juga ada di mana-mana. Ada di setiap benua, tersebar ke segala negara, mengepung setiap penjuru mata angin. Bahkan, ia bisa merasuk ke dalam skala kehidupan paling kecil. Lagi, saking canggihnya, ia bisa merasuk ke dalam sumsum tulang lidah ibu-ibu di negara dunia ketiga.* Gula pandai menyusup ke segala jenis makanan dan minuman. Ia menyelinap di antara bumbu, ia melompat ke segala resep, ia menggali jalan ke dalam wajan, ia membobol botol-botol minuman, ia awas menunggu setiap kesempatan, ia cekatan memanfaatkan kelengahan. Bukan main jagonya.

Gula lebih tak berperasaan. Jika dalam perang masih terdapat aturan atau etika yang kudu dipatuhi prajurit, maka gula hidup bebas dan liar sebagaimana kehendaknya sendiri. Ia tak pandang bulu. Siapa pun bisa menjadi korbannya. Siapa pun bisa dipilih sebagai mangsanya. Tak ada ampun. Tak peduli anak kecil kalau ia suka, celakalah. Tak peduli perempuan atau laki kalau ia suka, sengsaralah. Tak peduli siapa pun kalau ia suka, habislah. Sudah begitu, ia punya strategi dan pergerakan lebih canggih dibanding pengetahuan jendral perang mana pun. Sun Tzu tak ada apa-apanya.

Kalau dipikir, tak berlebihan memang. Coba saja perhatikan sekitar. Di antara kita, pasti ada seseorang yang sudah terkena penyakit gula. Di keluarga kita pasti ada. Di antara teman-teman kita pasti ada. Di antara kenalan-kenalan kita pasti ada. Di antara rekan kerja kita pasti ada. Di antara kita, di mana pun, penyakit gula sudah menjangkiti tubuh orang-orang. Buktinya ada dan jelas. Setiap tahun, dana BPJS kesehatan di negeri ini banyak diserap oleh penyakit-penyakit yang tidak menular yang disebabkan oleh pola makan dan gaya hidup. Dan yang menjadi “Si paling”, tentu saja gula.

Padahal kalau mau mikir dan disiplin sedikit, gula amatlah mudah dihindari dan dikalahkan. Malah kalau kita sedikit cekatan dan cerdik, bukan tak mungkin untuk gula bisa menjadi bawahan yang taat. Cara yang paling mudah dan hanya butuh sedikit berpikir untuk melakukannya, yaitu, sesuaikan asupan gula dengan aktivitas fisik sehari-hari. Misalnya, kalau seharian kerjaan kita teramat mengandalkan fisik seperti petani yang macul, atau kuli bangunan, atau tukang batu, atau tukang kue putu, maka dibutuhkan banyak gula dalam tubuh. Masukanlah gula sebanyak-banyaknya karena gula itu mengandung glukosa dan glukosa, merupakan sumber tenaga. Hal itu aman dilakukan, dan perlu. Aktivitas fisik yang tinggi memungkinkan gula untuk tidak bisa bermanuver seenak jidat. Gula akan terjebak di sana, di dalam tubuh, dibakar, untuk kemudian dijadikan energi. Jadi, sebanyak apa pun gula yang masuk ke dalam tubuhmu tapi kalau kau punya aktivitas fisik yang tinggi, pada akhirnya ia akan selalu kalah. Jujur saja, kau pasti tak pernah mendengar seorang petani atau kuli bangunan atau tukang kue putu terkena diabetes.

Lantas sebaliknya. Kalau aktivitas fisikmu tak tinggi, gerakmu sedikit, maka gula yang masuk pun kudu sedikit. Soalnya kalau dipaksa banyak tubuh tak akan kuat menghadapinya. Aktivitas fisik yang rendah dan gerak yang sedikit menjadikan tubuh masuk ke dalam mode lengah tak waspada kurang siaga. Akibatnya, gula yang masuk bisa melenggang semau-maunya sebebas-bebasnya di dalam tubuh.

Ade Rai menyebut. Dalam tubuh, setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan. Otot, ia kudu kencang. Tulang, ia mesti kuat. Lemak, ia harus rendah. Cairan; ia perlu seimbang. Organ, ia harus sehat. Nah, itulah mengapa petani dan kuli bangunan atau tukang kue putu bisa sehat bugar dan akan selalu bisa menaklukkan gula. Secara tidak sadar, saat seorang petani sedang macul atau saat kuli bangunan sedang mengangkat puluhan karung semen atau saat tukang kue putu menanggung tanggungan, sebenarnya mereka sedang melatih otot-ototnya. Dengan aktivitas fisik yang tinggi yang dilakukan dengan istiqomah setiap hari, otot akan kencang dan terlatih. Kalau otot sudah kencang, maka tulang pun terangsang menjadi kuat. Kalau tulang sudah kuat, maka gerak pun akan normal—itu kenapa tukang kue putu misalnya, bisa berjalan sejauh berkilo-kilo meter. Kalau gerak sudah normal, maka lemak pun akan rendah. Kalau lemak sudah rendah, maka kita akan terhindar dari penyakit-penyakit komorbid seperti hipertensi, diabetes, atau trombofilia. Kalau sudah begitu, maka cairan dalam tubuh pun jadi seimbang. Dan kalau cairan sudah seimbang, maka organ dalam tubuh kita jadi sehat. Itu mengapa seorang petani atau kuli bangunan atau tukang kue putu akan selalu sehat dan punya fisik prima. Ya, kecuali, kalau Tuhan menghendaki. Kalau sudah begitu, manusia bisa apa.

Lantas menjadi masuk akal mengapa Bartholomew Kuma menerbangkan Vinsmoke Sanji ke Pulau Momoria. Tentu supaya ia bisa belajar nutrisi kepada para master Newkama Kenpo di Kerajaan Kamabakka. Sanji menyadarinya saat sedang menikmati hidangan yang disediakan. Ia heran mengapa selain enak, makanan yang dimakannya terasa membikin tubuhnya kembali berenergi dan bugar. Ratu Kerajaan Kamabakka yang juga salah satu petinggi dari pasukan revolusi, Emporio Ivankov, menjelaskan kemudian. Bahwa makanan yang sedang disantap Sanji bukan sembarang makanan. Itu adalah makanan dengan nutrisi tingkat tinggi yang dimasak dengan teknik tingkat tinggi oleh salah satu master Newkama Kenpo yang jumlah seluruhnya ada 99 orang—mirip asmaul husna.

Sanji bukan koki amatir. Ia koki yang juga memiliki kemampuan tingkat tinggi. Bahkan ia disebut sebagai koki terbaik yang ada di East Blue. Masakannya selalu enak dan sempurna. Sebelum menimba ilmu dari para Newkama Kenpo, masakan Sanji hanya sebatas sampai di situ. Barulah setelah dua tahun belajar, selain enak, di dalam masakannya juga kaya akan nutrisi yang diperlukan tubuh para kru Bajak Laut Topi Jerami untuk mengarungi lautan.

Celakanya. Tren di negara ini soal masakan dan makanan hanya punya satu indikator, yang penting enak. Yang penting soal rasa, nutrisi belakangan. Rasa nomor satu, logika kesampingkan dulu. Maka tak perlu aneh kalau potensi tubuh orang-orang tak pernah mencapai maksimal. Bagaimana mau maksimal, toh tiap hari makanan dan minuman yang ditelan model seblak dan boba. Sudah tubuh tak berkembang maksimal, kapasitas otak pun jadi semakin menurun. Suram.

Maka ketika kau menawarkan anggur padaku, dadaku mendadak mengembang. Kau seolah berkata padaku, “Orang yang suka anggur bukan berarti ia penganggur atau menganggur.” Hmmm… senyum berloncatan dari gawaiku.

Betapa sudah langkanya orang-orang yang piawai menghargai diri dan hidupnya. Menyadari bahwa diri perlu dirawat dan kehidupan perlu diperjuangkan. Dan di antara makhluk paling langka yang sudah langka, muncul dirimu sebagai anomali. Yah, memang begitu sih. Selalu ada pengecualian dalam hidup. Ada kamu yang masih suka menjaga diri dengan mengamalkan tapa ngidang. Kau jadi seperti kijang yang suka makan rumput dan buah dan tentunya doyan berlari sebagai upaya memelihara kesehatan jantung. Otot-ototmu akan lecir seperti kijang pula. Seperti kijang pula, pikiranmu akan cekatan, gerakanmu akan sat-set. Masyaallah, banondari yang satu ini.

Huh… jadi, kapan kita bertapa bersama?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...