Ngising
Aku benci saat terpaksa kudu ngising
di wc umum. Aku benci sekali. Menyebalkan rasanya. Tapi yang namanya sudah
terpaksa, mau tak mau aku kudu menuruti kemauan pencernaanku. Karena kalau
tidak bisa-bisa repot urusan. Nanti malah kentut di mana saja. Paling buruk,
kentut di dalam bis ekonomi dengan penumpang berjejalan bercampur bau keringat
dan bau ketiak dan bau mulut dan bau asap rokok. Ampun!
Berak di wc umum,
sekali lagi, rasanya menyebalkan. Pertama karena keadaan wc umum selalu begitu,
kumuh. Seperti tak pernah diurus. Coretan sembarang di sana-sini, sampah tisu
dan plastik bergoler sekehendaknya. Belum lagi kalau ada pembalut yang masih
menyisakan bekas darah. Mending darahnya sudah kering tapi kalau masih basah?
Waduh, keterlaluan rasanya. Melihatnya bikin enek.
Dan sekarang aku
terpaksa kudu berak di wc umum, lagi-lagi. Aku baru saja turun dari bis, di
terminal yang sesak oleh selain kendaraan juga calo dan pedagang asongan.
Beberapa terminal bis memang sudah agak baik keadannya. Bangunan sudah oke,
pelayanan mulai ditingkatkan, ketertiban mulai dipulihkan. Terutama untuk
terminal-terminal Tipe A yang katanya langsung dikelola oleh Kementerian
Berhubungan. Eh, maksudku Kementerian Perhubungan. Namun ada saja, tentu, beberapa
terminal yang belum diperbaharui. Termasuk terminal bis tempatku turun
sekarang.
Ini pertama
kalinya aku datang ke kota ini. Saat keluar dari bis dengan agak rusuh karena
menahan ngising, aku sudah menduga, wc di terminal ini akan sama kumuh sebagaimana
terminalnya. Aku tak peduli tentu saja, karena lalu aku segera berlari menuju
dan masuk ke dalam wc yang dijaga mamang-mamang yang sedang mengisi buku
teka-teki silang. Aku masuk, dan ampun! Lubang kloset dipenuhi puntung rokok.
Satu hal lupa
kukatakan. Aku bisa, sangat bisa, dengan kadar tertentu, untuk berak di wc
paling kumuh yang dipenuhi coretan atau tisu bekas atau plastik atau pembalut
yang masih menyisakan darah, tapi tidak dengan wc yang dipenuhi puntung rokok.
Sebabnya, aku akan refleks memuntahkan isi perutku. Belum sempat aku membanjur
puntung rokok yang berjejalan di lubang kloset dengan air setengah dari ember dan
aku sudah muntah. Keringat dingin menyerang. Namun aku tak punya pilihan,
perutku sudah kritis. Aku pun memelorotkan celana, berjongkok, bbbrrrttttt…
Ahhh…
*
Aku tak ingat kapan persisnya. Sudah
lama aku menderita penyakit puntung rokok di wc atau di kamar mandi. Padahal
aku ini seorang perokok yang melebihi aktif, aku perokok kawakan. Aku bisa
merokok di mana saja, kapan saja, sedang berbuat apa saja. Aku bisa merokok di
segala iklim dan cuaca. Aku bisa merokok tak peduli di sampingku ada ibu hamil
atau bayi atau anak kecil atau ibu yang sedang menyusui. Aku bisa merokok di
mana pun kapan pun sedang melakukan apa pun di bumi Allah ini tapi tidak di
kamar mandi sambil berjongkok mengeluarkan tahi.
Aku sudah merokok
sejak dari kelas enam sekolah dasar. Percayalah, sampai usiaku yang kini 28,
tak pernah sekalipun aku merokok saat buang isi perut. Aku tak pernah mencoba,
aku tak ingin mencoba. Teman-temanku pada tahu aku begitu, dan tentu bertanya
mengapa tidak. Kujawab juga, “Mengapa tidak?”
Mereka selalu
meyakinkanku bahwa ngising sambil merokok adalah peristiwa yang teramat
nikmatnya. Katanya, saat kau mengisap rokok lalu mengembuskan asapnya dengan
membuang nafas panjang dan tahi kemudian berjatuhan dari lubang dubur, adalah
saat-saat magis. Karena pada saat-saat itu, perasaan yang rawan bersalin aman,
pikiran yang rungsing berganti hening. Imajinasi terbang ke sana ke mari
seperti burung elang yang cekatan berburu mangsa. Guru ngajiku pun pernah
berkata begitu walau tidak persis. Beliau bilang, ada dua kenikmatan sederhana
di dunia ini yang bisa didapat manusia secara cuma-cuma. Pertama, ketiduran
saat salat Jumat, kedua, ngising sambil udud.
Aku
mengamini dan sangat percaya kalau merokok memang banyak membawa manfaat. Aku
sendiri merasakannya. Banyak hal bisa enteng dengan merokok. Sebut saja kalau
sedang banyak kerjaan lalu kepala rungsing, merokok jadi obat paling mujarab.
Kalau sedang stres kelelahan, merokok bisa jadi sumber tenaga yang tak ada
habisnya. Apa pun keluhan, apa pun masalah dalam hidup, kalau enggan berkata
semuanya, maka sebagian besar bisa diselesaikan dengan merokok. Tak perlu
penelitian ilmiah buat membuktikannya. Sebab aku sih yakin, perasaan tak
pernah ada yang salah.
Tapi
merokok sambil ngising atau ngising sambil merokok? Aduh! Banyak orang begitu
senang ngising sambil merokok, terutama mereka yang lelaki. Aku penasaran,
jujur saja, tapi tak pernah mau sekadar mencoba untuk membuktikan kebenaran
kata-kata teman-temanku atau guru ngajiku itu. Telah kubilang aku lupa
persisnya kapan, tapi setiap ada puntung rokok di lubang kloset atau berserakan
di kamar mandi, aku akan refleks muntah. Kepalaku enek, perutku mual, tubuhku
akan langsung bermandi keringat.
Sekali
lagi, sudah kuduga. Tahinya encer. Sudah kebiasaanku memang. Kalau pergi untuk
perjalanan jauh, selalu ada rasa tak nyaman di perut. Perasaan tak nyaman
karena grogi, tak nyaman karena suka terlintas bayangan bagaimana kalau bus
yang kutumpangi kecelakaan masuk jurang dan meledak, atau kereta yang
kutunggangi meloncat dari jalurnya, atau angkot yang kunaiki menabrak pembatas
jalan, atau ojek yang mengantarkanku diserempet iring-iringan mobil pemerintah
yang berisik yang selalu ngebut yang selalu ingin didahulukan yang selalu ingin
diprioritaskan yang padahal mungkin urusannya tak lebih penting daripada
kebelet ngising. Hal-hal semacam itu selalu muncul tiap aku hendak bepergian
agak jauh. Tak tahu kenapa.
Nah!
Hubungannya dengan tahiku yang encer. Katanya, pencernaan merupakan otak kedua
manusia. Otak yang bisa mengatur dan memengaruhi keadaan tubuh layaknya otak
yang ada di kepala. Jadi, tahi yang encer adalah respon dari otak kedua alias
pencernaan yang stres karena terlalu banyak pikiran. Karena tahi encer lebih
sulit untuk diprediksi kapan akan berakhir berjatuhan dari dubur, diperlukan
banyak waktu untuk benar-benar mengakhiri penderitaan di wc sialan ini.
Sambil
berjongkok mengeluarkan tahi encerku, aku melamun membayangkan siapa orang yang
mula-mula membiasakan kebiasaan terkutuk itu. Kebiasaan terkutuk yang tak perlu
yang tak sama sekali menentukan hidup atau mati. Kebiasaan untuk ngising sambil
merokok, kebiasaan untuk ngising sembari udud, kebiasaan yang selalu
menimbulkan ancaman sekaligus penderitaan bagiku.
Apa mungkin
di suatu kehidupan yang jauh puluhan tahun yang lalu, ada orang kena gejala
susah dan tak bisa ngising selama berbulan-bulan. Katakanlah namanya Suhada. Mari
kita pastikan saja. Mang Suhada ini sudah enam bulan tak bisa ngising. Ia
bingung kenapa dan tentu saja panik. Ia takut kenapa-napa sebab perutnya terus
membesar bagai perempuan bunting. Awalnya, ia tak terlalu risau kala tak bisa ngising
selama dua minggu. Itu karena ia pernah ngising secara rutin setiap tiga minggu
sekali. Tapi ketika lima minggu kemudian perutnya mulai penuh dan duburnya tak
bisa mengeluarkan kotoran walau perut terasa mulas, ia khawatir.
Perasaan
tidak nyaman mulai menjalar. Pikirannya resah, perasaannya bawaannya tak enak.
Emosi Mang Suhada mulai tak stabil. Ia jadi mudah naik darah. Tampak selalu
cemberut dan sedikit-sedikit menggerutu mengomeli segala sesuatu. Ia juga
kehilangan fokus dan kecekatan dalam kerjanya. Di kebun pikirannya tak karuan. Di
sawah perasaannya selalu resah. Ia susah berkonsentrasi untuk sekadar
mengayunkan pacul atau menyabetkan arit yang padahal sudah dikuasainya sejak
umur lima tahun. Pernah ia nyaris memacul ibu jari kakinya yang membuatnya
merasa seperti buruh tani amatir. Ia pun tak jarang melukai jari-jari di tangan
kirinya dengan arit yang selalu diasahnya tajam. Ampun, ampun. Mang Suhada kena
mental. Habis sudah reputasinya sebagai buruh serba bisa di kampung.
Para
juragan di kampung yang punya sawah dan kebun jadi mikir dua kali untuk
mempekerjakannya. Itu karena produktivitas kerjanya jadi jauh menurun dan
bahkan nyaris terjun bebas. Mereka para juragan, menganggap karir Mang Suhada
sudah habis, sudah tamat, sudah innalillahi. Para juragan berpikir,
sudah saatnya Mang Suhada fokus ibadah saja.
Maka Mang Suhada
jadi galau. Perkara tak bisa ngising ini ternyata pelan-pelan menggerogoti
karirnya begini, pelan-pelan membuatnya tampak seperti buruh tani tolol tak
berguna. Haram jadah, haram jadah. Tapi untung saja ada istri setia yang selalu
menguatkannya. Tak sedikit saran keluar dari mulut Ceu Onih, sang istri. Ceu
Onih pernah menyuruh suaminya itu untuk rutin makan pucuk jambu batu mentah,
tiap pagi sebelum sarapan. Tapi itu tak berhasil. Saran yang lain adalah
menyuruh suaminya untuk sering-sering ngopi sebelum sarapan, tapi juga tak
berhasil. Yang lainnya lagi, ia menyuruh suaminya untuk rajin minum air putih
tapi bukannya bisa ngising malah beser yang didapat. Kemudian segala cara lain
sudah dicoba, mulai dari makan pucuk-pucuk daun apa saja yang sekiranya dapat
menimbulkan mulas secara mentah-mentah, sampai belajar mengelola stres. Tapi
usahanya tetap tak membuahkan hasil.
Sampai di
suatu pagi, saat sedang menggoreng pisang untuk sarapan, ide cemerlang ini
tiba-tiba saja muncul di kepala Ceu Onih, “Minta air jampe saja ke Ma Ijah,”
katanya.
Mang Suhada
kaget sekaligus senang. Mengapa ia bisa seteledor tak pernah terpikir untuk
minta tolong ke Ma Ijah yang sakti itu. Hmmm. Ma Ijah, nenek tua di kampung
sebelah yang memang terkenal sakti. Setidaknya, banyak orang percaya kalau
doa-doa atau jangjawokan-nya (mantra-mantra) manjur untuk segala hal. Ia
bukan sembarang nenek-nenek. Sewaktu gadis, katanya ia pernah terbaring tak
sadar diri alias koma selama tiga tahun. Dan saat sudah genap tiga tahun
tiba-tiba saja ia bangun dalam keadaan sehat walafiat tak kurang suatu apa. Di
kedua telapak tangannya, ada batu merah delima yang cantik sekali. Setelah
sadar, ia mengaku selama tiga tahun itu dirinya diajak berziarah ke makam
orang-orang saleh dan berguru di perguruan yang berada di alam jin di Baghdad. Wallahu’alam.
Tapi yang pasti, sejak saat itu Ma Ijah jadi punya kelebihan untuk menolong
orang-orang.
Berceritalah
Mang Suhada, walau awalnya agak malu-malu, kepada Ma Ijah. Perkara dirinya yang
sudah enam bulan tak bisa ngising. Perihal perutnya yang terasa penuh, sesak,
buncit, tapi kalau diajak ngising tak pernah mau keluar. Tentang kemudian hal
itu merembet menimbulkan masalah-masalah lain seperti dirinya yang jadi mudah
marah dan gampang meradang, kerjanya jadi tak konsen dan tak lagi cekatan,
menggerogoti karir buruh taninya yang gemilang. Walau terdengar konyol tapi Ma
Ijah mendengarkan ceritanya dengan serius. Setelah semua selesai diceritakan,
Ma Ijah mengangguk, seperti telah tahu obat apa yang dibutuhkan Mang Suhada.
Ma Ijah
mengangkat botol berisi air putih di hadapannya, menyodorkannya ke dekat mulut,
dan berbisik berkomat-kamit membaca sesuatu. Terdengar oleh Mang Suhada,
bunyinya campuran jampi-jampi jangjawokan dan doa-doa berbahasa Arab.
Tak sampai satu menit dan Ma Ijah telah selesai meramu obat berbahan dasar air
putih semata.
“Minum ini sebelum tidur. Tapi
sebelum tidur, Mang Suhada kudu wudu dan salat sunah dua rakaat, sehabis itu
jangan lupa doa.”
Mang Suhada mengangguk.
“Awas lupa. Mang Suhada kudu tidur
dalam keadaan suci, jangan bergaul dulu dengan istri.”
Walau berat tapi Mang Suhada kembali
mengangguk.
Bertemulah kemudian
Mang Suhada dengan sesosok lelaki yang umurnya sepertinya tak beda jauh dengan
dirinya, di dekat pancilingan di samping kolam ikan Haji Adung, tempat biasanya
ia ngising.
“Mang,” sapa lelaki itu.
“Kang,” jawabnya.
“Aku dengar Mang Suhada ini sedang
susah ngising?”
“Akang tahu?”
Lelaki itu hanya senyum.
“Begini Mang. Kalau ngising ingin
lancar, pikiran dan jiwa kudu tenang, kudu rileks, kudu damai. Kalau tidak,
nanti kotoran di perut lengket, lama-lama jadi keras mirip batu. Sudah coba apa
saja biar begitu?”
“Aku sudah coba berpikir untuk
zikir, coba mendekat untuk tobat, coba pucuk daun jambu sebagai obat, coba
segala cara, cari semua solusi, tapi tak ada hasil.”
“Berarti pikiran dan jiwa Mang
Suhada ini belum tenang, belum rileks, belum damai.”
Mang Suhada bingung, tak bereaksi.
“Coba ini Mang,” dari saku baju
kokonya lelaki itu mengeluarkan sesuatu. “Ini kretek, dibikin dari campuran
rajangan cengkih dan tembakau. Mau mencobanya? Aku sendiri sudah membuktikan,
sakit dadaku seratus persen hilang setelah membakar dan mengisapnya.”
Mang Suhada celingukan, tangannya
diulur menyambut sodoran kretek dari tangan lelaki itu. Setelah dipersilakan
untuk mencoba, ia lantas bergegas masuk ke pancilingan, membakar kretek,
mengisapnya perlahan. Alangkah! Tiba-tiba saja pikirannya yang rungsing jadi
tenang, perasaannya yang rawan bersalin aman. Segumpal tahi keluar menghantam
kolam di bawah sana. Ia tersenyum bungah. Tapi ia lupa sesuatu!
“Kang… hatur nuhun!!!”
Lelaki itu terdengar hanya tertawa.
“Akang ini siapa?”
“Haji Jamhari,” suaranya terdengar
jauh.
Sejak saat
itu Mang Suhada kembali ceria. Kembali jadi Mang Suhada yang terkenal senang
banyol dan cekatan kerjanya. Para juragan kembali mempekerjakannya karena
setiap hari prouktivitasnya makin meningkat dan meningkat saja melebihi yang
lalu-lalu. Reputasinya berhasil dipulihkan. Cerita menyebar dari mulut ke mulut
tentang kretek yang diisap Mang Suhada, yang konon bisa membikin pikiran
dan jiwa jadi tenang. Apalagi kalau diisap saat ngising. Menularlah kebiasaan
Mang Suhada itu kepada orang-orang sampai menjadi kebiasaan umum, terutama di
antara para lelaki. Tapi tak sedikit perempuan-perempuan di kampung mencobanya
juga. Ngising sambil udud, perlahan-lahan, menyebar menjangkiti orang-orang
seperti wabah. Melintasi kota-kota, menembus batas-batas provinsi, dan
menyeberangi pulau-pulau di negeri ini.
*
Wah, tahi encerku
sudah habis. Lama juga sepertinya aku melamun. Duh, Mang Suhada, Mang Suhada.
Sial benar antum!
Aku memutar keran. Anjing!
“Mannnggg!!!
Gak ada airrr…”
Komentar
Posting Komentar