Kalimat-kalimat Pagi Hari
Pagi-pagi begini aku tak tahu apa
yang kudu kulakukan. Apa, ya?
Soalnya ngajar tak setiap hari. Hanya
hari Jumat. Maksudnya ngajar pagi. Siang pun juga sama saja sih. Tak setiap
hari. Tapi harusnya itu bukan alasan. Kudunya setiap pagi aku punya kegiatan. Biar
bawaannya tak mengantuk. Biar setidaknya, bisalah dikatakan produktif. Seenggaknya
ada sesuatu yang bisa jadi rutin untuk dikerjakan.
Apa saja tak masalah. Aku sih
inginnya, kalau ada tanaman, pagi-pagi ya menyiram tanaman. Ada sih tanaman di
sini, tapi sudah disiram masing-masing oleh yang punya. Kalau beli tak ada
uang. Sayang juga daripada dipakai beli tanaman atau kembang mending dipakai beli
rokok atau sarapan. Tapi kalau sengaja menabung beli tanaman pun sebenarnya
bisa. Jadi setiap hari kelak aku akan menyiramnya di pagi hari. Lantas, setelah
itu apa? Pagi kan panjang? Celaka. Celaka.
Kalau mencuci. Tak mungkin juga
setiap hari aku mencuci. Lagi pula jadwal mencuciku juga sudah ada. Setiap sehabis
latihan otot sembari mandi. Terus cucianku pun tak pernah numpuk. Soalnya itu
tadi, aku selalu mencicil setiap mandi. Jadi tak pernah banyak. Paling hanya
kaos, celana dalam dan kolor. Sudah.
Kalau menyapu dan mengepel lantai. Itu
pun aku rutin melakukannya setiap hari tapi tidak di pagi hari. Sebab pagi
hari, dua temanku masihlah tidur. Jadi tak enak takut mengganggu. Makanya aku
hanya mengepel lantai dua hari sekali saja. Kalau menyapu sih setiap hari
kulakukan. Apalagi menyapu lantai di tempat yang jadi kawasanku. Terutama di kawasan tempat tidurku. Kalau tak
begitu, rasanya tidur tak enak sebab debu di mana-mana.
Kalau lari pagi. Katanya kardio harus
dikurangi kalau hendak membangun otot di tubuh. Karena itulah aku urung lari
setiap pagi. Bukan tak ingin. Inginnya sih lari. Apalagi udara di sini segar
dan enak sekali. Tapi aku kudu fokus satu-satu. Dan kali ini fokusku membangun
otot dulu. Kalau nanti sudah selesai, aku memang merencanakan untuk rutin lari
pagi. Minimal seminggu sekali, atau paling banyak seminggu dua
kali.
Membersihkan halaman. Aduh, sayangnya
aku tak punya halaman. Kalau di rumah mungkin bisa saja, dan memang ide yang
menarik. Tapi kalau di sini, apanya yang mau dibersihkan? Halamannya saja tak
ada. Kalau ada pun, halamannya juga sudah bersih. Karena tak banyak pohon jadi tak
ada daun-daun bertebaran. Sampah pun nyaris tak ada.
Jadi aku kudu bagaimana untuk
mengatasi pagi yang bosan ini?
Sudah mau dua bulan aku jadi morning
person. Rasanya seru sekali. Setelah nyaris sembilan tahun tidur tak
karuan. Tentu saja dimulai sejak masa-masa kuliah. Sejak itu aku tak pernah
merasakan nikmatnya bangun pagi apalagi subuh. Tapi dua bulan terakhir ini aku
merasakan anugerah itu lagi. Kukatakan anugerah karena benar-benar terasa
nikmatnya ke tubuh. Pikiran jadi tenang, tubuh segar, pencernaan lancar. Tak sering
pusing apalagi rungsing. Segala penyakit rasanya tak mungkin hinggap. Kecuali,
ya rasa bosan itu tadi. Aku masih belum menemukan rutin. Aku butuh rutin,
rutin, rutin untuk mengisi pagiku.
Kalau sehabis salat subuh aku sih sudah
punya. Biasanya sehabis wirid aku akan membaca quran. Alangkah nikmatnya
ternyata membaca kalam Allah subuh-subuh dingin-dingin. Tenang rasanya. Adem. Damai.
Sebenarnya aku inginnya menulis. Punya
jadwal menulis pagi-pagi. Tapi, entah aku terlalu banyak alasan atau terlalu
sudah biasa menulis malam-malam, rasanya agak sulit untuk menulis di jam-jam
pagi. Sudah begitu, dari jam delapan sampai zuhur banyak orang beraktivitas
juga. Jadi banyak distraksi entah itu karena orang di luar sana sedang
mengobrol atau menggergaji kayu atau suara knalpot motor yang tak karuan. Ya, ya.
Aku tahu. Kudunya aku mencoba saja dulu. Tak perlu banyak alasan. Coba saja
terus dipaksa nanti juga terbiasa. Bukankah hidup memang biasanya begitu? Awalnya
memang kudu dipaksa sampai jadi terbiasa dan jadi kebiasaan.
Benar juga. Aku pun pertama kali
berat rasanya bangun subuh. Tapi karena terus dipaksa dan jadi terbiasa akhirnya
jadi juga kebiasaan. Butuh waktu dua bulan ternyata. Apa menulis di pagi hari
masih lebih sulit daripada bangun untuk salat subuh berjamaah di masjid? Hmmm. Kudunya
bisa. Harusnya bisa kalau terus dicoba.
Alasan, alasan. Hidup memang tak akan
ke mana-mana kalau banyak alasan. Keadaan kudu dihadapi dengan berani dengan
penuh nyali. Tak perlu banyak alasan. Terus coba dan hadapi. Kalau jatuh,
bangun lagi. Kalau gagal, coba lagi. Kalau belum berhasil, terus lakukan. Sampai
kau ahli, sampai kau mahir, sampai kau menguasai dirimu sendiri. Kalau sudah
begitu, barangkali kau akan menemukan jawaban dari pertanyaan: untuk apa hidup?
Ya, ya, ya. Untuk apa hidup,
persisnya. Aku tahu hidup untuk ibadah. Dunia hanyalah tempat untuk mengisi
kekosongan hidup dengan ibadah kepada Allah. Dunia hanyalah waktu tempat kita
menunggu salat ke salat berikutnya. Hidup hanya untuk ibadah, ibadah, ibadah. Sampai
di situ aku mengerti. Aku mengerti dunia dan waktu yang mengalir di dalamnya adalah
perahu yang harus kubawa menuju gelombang-Nya. Segalanya bisa dilakukan asal
didasarkan kepada-Nya. Begitu, jadilah ibadah. Tapi yang seperti apa?
Banyak cara banyak jalan banyak
kemungkinan untuk beribadah. Ada yang kerja keras tiap hari. Ada yang puasa Senin-Kamis.
Ada juga yang hanya menyedekahkan senyum karena gaji buruh maculnya belum
dibayar. Tak apa. Semua bagus dan boleh. Menulis pun, barangkali, kalau aku
meniatkannya dengan benar, apa jadi ibadah? Menulis sebagai ibadah. Menulis sebagai
ladang menanam pahala. Menulis sebagai tempat memanen ganjaran. Hmmm. Menarik
juga.
Jadi…
Ternyata jawabannya sesederhana itu.
Komentar
Posting Komentar