Tiris

 

Waktunya tiba juga.

Kau akan berangkat. Jangkar telah diangkat layar telah dikembangkan. Angin menggebu-gebu sebagaimana layung yang membara. Dadanya diliputi gemuruh ombak dan pekikan burung-burung pencari ikan. Tak ada yang akan membuatnya mundur. Sekalipun ada yang menghalanginya tapi dia tak akan mundur tapi dia tak sudi mundur. Tak akan walau selangkah meski sejengkal.

Apa pun nanti hasilnya tetaplah semua itu adalah hasil dari usahanya. Apalah artinya sukses dan gagal. Kalau dipikir itu hanya dikembangkan oleh orang-orang yang takut akan kehidupan. Jika dirasa-rasa hal itu diciptakan sebagai hiburan bagi orang-orang yang tak punya nyali untuk turun melaut menjelajahi samudera. Mereka hanya orang-orang yang tak mau kalah tak mau susah tak mau lelah. Hanya golongan memble.

Celana kargo sudah disetrika. Begitupun dengan baju Rage Against The Machine. Tempat biksu perkasa itu membakar diri sebagai bukti tekad yang telah membatu. Tekad yang membawanya menuju ke dalam buku sejarah orang-orang keren. Tekad yang mempertemukannya dengan Tuhan yang menjanjikannya ganjaran. Tapi bukan semata-mata ganjaran yang diharapkannya. Bukan semata-mata pahala yang diinginkannya. Sang Biksu hanya ingin orang-orang melihat bahwa dunia sudah kacau dan telah menjadi tugas manusialah untuk membereskannya. Bensin pun disiramkan ke sekujur tubuhnya. Api dipantik. Semangat menyala. Perlawanan membara.

Apalagi yang kudu dibawa. Hmmm. Tak usahlah bawa banyak barang. Lagian sebentar juga kan di sana. Tak perlu riringkid ridu membawa ini-itu. Apalagi membawa bekal ini-itu. Cukup dan cukup saja bawa nyali. Kalau lapar makan saja nyali. Kalau haus minum saja nyali. Tak perlu yang lain tapi hanya nyali. Nyali yang menyala.

Cuaca makin dingin. Ini tempat memang tak kenal ampun. Ampun deh! Namun ya sudahlah toh orang lain juga sama kedinginannya. Dingin-dingin begini kudu adus sebab sore tadi tak ada angin tak ada hujan mimpimu basah. Malas. Dobel-dobel saja pakaiannya. Celana panjang, kaos, jaket, topi, oh dan jangan lupa bikin mi instan dobel tanpa telur tanpa tapi tanpa toping. Habisnya telur habis. Katanya koperasi belum belanja. Jadwalnya belum diatur dan yang biasa belanja sedang sakit kena gejala demam berdarah. Waduh, celaka. Sumber protein berkurang. Tapi walau begitu otot kudu tetap dilatih, bukan? Jangan cari alasan. Hari ini otot-otot di tanganmu belum dilatih.

Suhu makin menipis. Mereka mengepung ruangan ini. Cahaya temaram tak cukup bikin hangat. Jendela tak bisa ditutup. Lubang ventilasi kudu selalu dibuka karena asap rokok berjejalan di mana-mana. Padahal di samping kamar ada dua anak kecil yang saban hari saban waktu batuk melulu kalau tidak menangis. Pusing sih, berisik, tapi ya anak kecil memang begitu. Sudah adatnya mengamuk seenak udel dan bukan seenak jidat. Maklum otaknya masih kosong melompong. Manusia, manusia. Memang makhluk lemah paling menyusahkan. Baru lahir saja sudah menyusahkan banyak orang. Eh, tangisnya makin kencang saja. Mungkin haus, mungkin ingin menyusu, mungkin kedinginan, mungkin duburnya tak enak dipenuh tai sedari sore. Pampers memang sialan. Hoekkk…

Mesin pemanas air sudah bergolak, tanda sudah panas tanda kopi sudah bisa diseduh. Bergolak saja terus tanpa diangkat. Mau ke mana? Mau terus saja bergolak? Panas, panas, air sudah mendidih panas. Kalau dipakai wudu sepertinya menarik. Secara udara dingin begini. Atau, ah ya, barangkali buat menyeduh mi instan yang dobel yang dibicarakan tadi. Wah, wah. Kentut mulai barbar tak bisa diatur. Sembarangan saja menyemprot ruangan. Tak memberi peringatan langsung semprot sana-sini. Bau, lagi. Waduh, waduh. Yok ah ke koperasi ambil mi instan. Apalagi kerjaanmu kalau bukan mengutang?

Hidup ya memang buat mengutang. Utang uang, utang nyawa, utang rasa. Segalanya soal utang. Tak ada yang tak punya utang tak ada yang suci dari utang. Karena manusia ya seperti kubilang tadi, manusia paling lemah yang tak becus hidup sendiri apalagi mandiri. Selalu butuh orang lain, selalu butuh ditemani, selalu butuh dikeloni. Munafik kalau ada orang yang berani bilang bisa hidup sendiri. Naif, tak punya otak. Sudah selazimnya manusia satu menyusakan manusia lainnya. Tak perlu malu tak usah gengsi. Manfaatkan saja kemewahan itu dengan sebaik-baiknya dengan sebijak-bijaknya. Bijaksana atau bijaksini sama saja. Yang penting bijak dan jangan sampai menginjak.

Hape terkulai di meja. Menunggu pesan entah dari siapa. Dia sih berharap ada yang peka mengirim pesan berupa ucapan selamat atau semangat. Itu, persis seperti dikatakan, manusia, manusia. Memang selemah-lemahnya makluk. Selalu berharap pada orang lain, selalu mengharap dari orang lain. Ucapan selamat atau semangat mungkin tak akan begitu memberi perubahan signifikan. Tapi lumayan, ucapan semacam itu bisa dipakai jadi selimut apalagi di musim yang rusuh begini. Ada-ada saja inginnya itu. Lagian siapa orang nganggur yang masih melek jam segini. Ini sudah malam, hampir lewat tengah malam, sebentar lagi menginjak dini hari. Mikir, dong!

Kopi, kopi. Bikin lagi kopi apa, ya? Perut sudah tak enak tapi makin tak enak kalau tak ada kopi. Tenggorokan rasanya kering. Mulut rasanya pahit dan asam. Eh, pahit atau asam? Pokoknya bercampur. Merokok tak nikmat kalau tak ada kopi. Atau minimal susu kental manis yang isinya lebih banyak gulanya daripada susunya. Sialan asu buntung memang. Apa daya, susu yang benar-benar susu sapi atau susu kambing harganya lumayan. Jadi ya terima saja kau seruput itu air gula campur cairan kental yang menurut iklan-iklan namanya susu. Oh, alangkah lezat sepertinya kalau kau bisa menyusu pada kekasihmu itu. Dadanya yang putih bersih, payudaranya yang ranum, putingnya yang menggelora. Ah, akan betapa nikmatnya walau belum ada susunya.

Sudahlah. Yok berangkat ke koperasi. Ambil itu dua bungkus mi instan. Masak matang-matang. Enak yang kuah atau goreng, kira-kira?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...