Sedikit Catatan Perjalanan
Kereta
Kereta ini panjang, tahu. Seperti
jalan yang tak pernah ada ujung. Memang ada yang buntu tapi itu bukan ujung.
Setiap jalan tak pernah berujung. Setiap jalan hanya berakhir, dan akhir tak
selalu berarti ujung. Sebagaimana perjalanan dan perjuangan. Berjalan,
berjuang. Apalah maknanya kalau tak mengaso untuk sekadar ngopi dan
membayangkan apa yang telah dilewati. Semua hanya angin lalu jika sekadar terus
berjalan atau berjuang. Setiap orang perlu istirahat. Kau, apalagi kalau memang
capek, istirahat saja dahulu. Kumpulkan tenaga dan pikiran.
Seperti halnya kereta. Ia senang
berjalan jauh, ia senang berjuang keras. Tapi kereta yang tangkas dan penuh
energi pun perlu berhenti. Ia perlu rehat untuk mengambil nafas dari setiap
tujuan. Ia perlu istirahat dan mengambil tenaga dari kedatangan dan kepergian.
Setiap kedatangan mengandung gembira sedangkan setiap kepergian melahirkan
harapan. Kegembiraan dalam berharap itulah yang membuat kereta selalu kuat
berjalan jauh, selalu tahan berjuang.
Kereta, kereta. Kereta yang membawaku
dari balik gunung ke rimba raya ibu kota. Kereta yang mengantarkanku ke
belantara dunia yang disesaki harapan dan mimpi. Harapan-harapan yang sering
mati muda, mimpi-mimpi yang sekarat. Kereta inilah, kereta dari Cikuray.
Kereta ini seperti mega-mega yang
digembalakan Jibril. Pagi keluar cari angin cari makan cari kesibukan. Sore
kembali ke kandang kembali ke rumah kembali ke balik layung. Kereta ini patuh
tapi tak ikut-ikutan. Ia mengerti kalau dirinya punya tugas tapi tak kaku pada
improvisasi. Seperti hidup yang penuh kejutan. Barangkali kereta itulah hidup.
Yang terus saja berjalan menyiasati setiap rencana dengan setiap improvisasi.
Yang menuntut respon-respon cekatan demi keselamatan demi kemaslahatan.
Improvisasi, bergerak, merespon, rencanakan lagi, dan terus seperti itu.
Mengulang. Toh hidup juga hanya perkara mengulang, kok.
Setiap hari hanya ulangan. Setiap
rencana hanya mengulang yang sudah-sudah. Setiap cinta hanya kumpulan dari
ulangan patah hati. Setiap mimpi cuma mengulang harapan yang mati muda. Dan
kereta, hanyalah ulangan dari kepingan-kepingan perjalanan yang belum tuntas
atau, barangkali memang tak akan pernah tuntas.
Senen
Di sini segalanya bermula. Langit
panas nan pengap. Asap rokok dan teriakan tukang ojek mengepung udara. Di
mana-mana orang-orang berteriak; memanggil, menawarkan, bahkan untuk hanya
sekadar berbicara dengan kawannya mereka teriak. Hidup terasa diburu-buru dan
sesak. Bunyi mesin kendaraan, klakson, asap motor dan mobil, dicampur keringat
dan bau badan, huh! Malaikat memang peracik parfum yang payah.
Aku menyaksikan ini semua, setelah
sekian lama, setelah delapan tahun. Kota yang katanya ibu dari segala kota,
sudah sebegini ringkih dan rentanya. Kantun menunggu ajal saja. Mau itu mati
sendiri atau dihabisi zaman yang cerdik. Zaman yang pandai pasang strategi,
zaman yang cekatan menerapkan taktik, zaman yang—kalau tak punya kemampuan
ngeyel buat mendebatnya—akan menjebloskan kita ke dalam botol. Terjebak di sana, jadi
hiburan bagi siluman, malaikat, dan makhluk lain selain tentunya manusia.
Aduh ibu, kota, tak
kusangka kau cepat jompo begini. Padahal anakmu jutaan padahal kekayaanmu cukup
buat dipakai menyewa atau malah membeli surga. Tapi mengapa, beginilah jadimu
sekarang. Renta, uzur, kusut, kumal, terbaring tak berdaya di ranjang beralas
tikar butut.
Meski begitu
anehnya tetap banyak yang suka padamu. Ingin berkunjung, merasakan seperti apa
rasanya dipeluk malam atau dikecup pagi di berandamu. Di halaman yang tak
terurus, di hutan beton, di antara kaki-kaki besi dan deretan toko-toko penjual
ikan asin serta baju-baju bekas serta barang-barang pecah belah serta
mimpi-mimpi yang dikemas semau-maunya di dalam karung. Aduh anehnya, ibu kota.
Kota ibu yang tua. Tua sekali untuk memulai segalanya lagi dari awal.
Dipayungi
gedung-gedung pencakar langit, aku merasa kerdil. Terasa sekali aku bukan
siapa-siapa. Ya memang sih, aku bukan siapa-siapa. Aku hanya kebetulan lewat
saja, cuma kebetulan mampir saja buat mengisi botol minumku. Pikiran yang
berkecamuk ditambah-tambahi saja oleh bayangan gedung-gedung tinggi yang tampak
seperti pecahan beling bentuknya. Ada yang tegak lurus, ada yang seperti pisau
raut, ada yang seperti kapak, ada yang seperti farji, dan yah begitu banyak
bentuk kalau hendak disebutkan satu per satu.
Aku merasa kerdil.
Atau mungkin dikerdilkan, siapa yang tahu bedanya. Sempat terpikir dan beberapa
kali membayangkan, apa enaknya hidup di kota ini? Mengapa orang mau datang ke
sini dari desa-desanya yang aku yakin jauh lebih indah lebih segar lebih
tenang. Apa keindahan tak berarti lagi kalau selalu kosong? Apa udara yang
segar kurang berfaedah jika dibandingkan dengan berkarung-karung duit? Apa
hidup yang tenang telah kehilangan makna kalau sudah berhadapan dengan
lampu-lampu yang gemerlap? Waduh, bukan main, bukan main. Bukan main memang.
Ibu kota, ibu kota.
Taman Ismail
Marzuki
Kompleks dengan banyak bangunan,
banyak gedung, banyak tempat. Terasa bersahabat tapi sekaligus asing. Entah
karena apa, aku tak mengerti. Suasana semacam ini sering kurasakan kala tinggal
di Yogyakarta. Matahari yang membara, langit yang mendidih, udara yang sesak.
Tapi bagaimanapun Jakarta bukanlah Yogyakarta. Kalau di Jogja masih bisa
ditemukan banyak mas-mas atau mbak-mbak yang someah, di sini sepertinya
jumlahnya sedikit. Orang sibuk dengan urusannya sendiri. Tapi kalau dipikir
memang bagusnya begitu, urus saja urusan masing-masing.
Jakarta bukan Yogyakarta, Mang. Walau
di kompleks taman ini banyak pohon gede dipiara dengan baik, tapi teduh dan
sejuk sulit didekati apalagi didapat. Tubuh gampang sekali kepanasan, kulit
rajin sekali meludahkan keringat. Sudah begitu salah kostum malah pakai baju
warna hitam. Astaga menambah-nambah pengap saja. Aku lihat ada beberapa orang
membaca buku di bawah pohon. Tidak khusyuk tapi lumayanlah mampu bikin segar
mata. Terutama kalau yang membaca teteh-teteh yang kelihatannya masih kuliah,
bikin sejuk saja. Pikir jadi tak khawatir sebab ternyata masih ada orang yang
cari makan buat otaknya. Kalau yang membaca mamang-mamang mahasiswa, itu sudah
biasa walau tetap bikin hati jadi optimis. Lumayanlah setidaknya bisa bikin
penyakit di dunia agak minder.
Banyak orang berkumpul di sini,
termasuk bocah-bocah yang iseng menertawakan mereka-mereka yang sedang latihan
teater. Ada sekumpulan orang-orang tua di pojokan sana dekat masjid Amir
Hamzah, sedang mengasuh anak-anaknya. Sekumpulan lain di dekat gedung teater
besar remaja putra-putri asyik berlatih dance kekinian. Sekumpulan lagi
ada yang mengobrol bersama kekasih, atau sekadar merokok bareng teman sambil
membicarakan tugas kuliah atau apa—yang jenis begitu ada di tiap sudut,
terutama di sudut yang dirasa teduh. Matahari memang tak kenal ampun. Jadi
sudah sewajarnya mending menyingkir saja.
Namun kejadian yang paling bikin
mangkel adalah ketika kulihat satpam mendatangi segerombolan anak muda yang sedang
main musik; satu sedang menggenjreng gitar, satu memencet tuts piano, satu lagi
nyanyi. Aku saksinya. Satpam itu datang menggenggam handi-talkie, berbicara
lantang dengan rekannya yang entah di mana batang hidungnya. Ia
menginformasikan segerombolan anak muda sedang main musik, seperti sedang
konser kecil-kecilan, begitulah kira-kira. Satpam ini datang bertanya, menegur,
dan menyuruh mereka untuk berhenti. Kalau mau main di sini atau bikin konser
kecil semacam itu di tengah taman, kudu dapat izin dulu. ”Aduh, si anjing
sialan,” kataku memaki—tentu saja hanya di hati. Ruang publik yang harusnya
jadi ruang terbuka untuk sekadar bersenang-senang seperti itu pakai kudu izin
segala. Ruang terbuka yang kudunya bisa jadi wadah buat warganya berekspresi
malah jadi ruang tertutup yang dibelit administrasi amburadul. Katanya sih,
demi menjaga kenyamanan dan ketertiban bersama. Tailah! Macam zaman orba saja.
“Sekarang TIM emang jadi gini, a; gak
asik,” terang Aspar, anak Jaksel yang kena virus Jogja.
24 Jam Bersama G—Aspar
Aku suka melihat semangat anak muda
yang satu ini. Mahasiswa fotografi Insitut Seni Indonesia Yogyakarta. Rambut
gondrong ikal, kacamata, dan tentu saja kurus; tipikal mahasiswa yang bolehlah
dikatakan suka mikir. Sebab kalau ada mahasiswa tapi gendut dan berisi, aku sih
yakin jenis semacam ini belum kaffah jadi mahasiswa. Soalnya hidupnya rata-rata
sudah mapan dan senang, tentu saja karena duit dari orang tua selalu lancar dan
terutama selalu besar. Jadi tak akan kurus karena tak perlu mikir besok mau
makan apa atau ngutang di burjo mana.
Aspar banyak mengomentari hal-hal.
Setiap ada sesuatu yang sekiranya dirasa mengganjal janggal, akan
dikomentarinya. Setidaknya, walau patah-patah, ia berani mengartikulasikan isi
kepalanya tanpa tedeng aling-aling. Sederhananya, seperti kebanyakan seniman,
ia sudah senang untuk nyinyir. Dalam arti, ya silakan artikan saja sesuai
kapasitas masing-masing diri. Kalau apa-apa dijelaskan, sayang, otaknya jadi
tak terasah.
Di antara jalanan yang membelah
belantara gedung-gedung pusat bisnis, gedung-gedung niaga, gedung-gedung
pemerintahan, Aspar memacu kencang kuda besinya. Meliuk lincah menyalip
mobil-mobil dan motor-motor sambil tak kehilangan refleksnya memencet klakson
dan lampu sen. Betapa, gokil. Soalnya sudah pasti, gerakan kompleks semacam itu
sudah barang tentu butuh olah pikir yang oke. Kalau otak tak cepat merespon,
bisa-bisa nabrak atau ditabrak atau lebih parah, kecelakaan tunggal yang pasti
bikin malu bukan main. Bagiku yang cuma lelaki kabupaten, mendapati suasan
jalanan yang begini edannya, bikin kepala gampang rungsing. Kok bisa-bisanya
orang betah hidup di kota yang jalanannya semrawut begini. Hadeh…
Aspar cekatan menerangkan ini-itu
tentang kotanya. Kota yang melahirkannya, kota yang membesarkannya, kota yang
membentuk sebagian besar hidupnya—setidaknya caranya. Ini jalan ke sini, ini
perbatasannya, ini gedung tempatku dulu ngapel bareng doi, ini jalan memang
biasa padat, dan lain sebagainya. Kalau mau ke anu lewatnya jalan anu. Nah,
kalau jalan anu tembusnya ke kota anu. Lalu kota anu perbatasannya di rel depan
di samping jalan anu. Halte anu mengarah ke anu, stasiun anu berakhir di anu.
“Anu, gimana kalo
pondasi dulu, Par?” Kataku padanya. Lampu belum hijau ia sudah menebasnya. Kabel
gas ditariknya sampai mentok.
Aku bersamanya
benar-benar selama 24 jam. Kami banyak mengobrol memperbincangkan dan
menertawakan nasib orang-orang di kota ini. Bagaimana mereka setiap hari kudu
menghadapi macet, diserang klakson, diserempet ojek, dimaki sopir truk.
Bagaimana setiap orang kudu punya tenaga terlebih mental banal di jalanan kota
ini. Nyali terutama, senjata paling ampuh. Tak apa kau salah di jalan karena
mengejar sesuatu tapi kudu berani memaki orang yang jalurnya kau rebut. Tak apa
kau berdebat di jalanan melalui klakson dan umpatan, tapi kalau ia berhenti dan
mengajak ribut maka kantun ribut saja. Toh nanti juga bakal ada pengangguran di
pinggir jalan memisahkan. Orang-orang di kota ini begitulah kesehariannya di
jalanan. Nah, kalau kau tak punya nyali dan ogah ribut, maka tinggal pakai
sarung dan peci putih saja. Dijamin, tak bakal ada yang berani menegur
sekalipun kau salah sekalipun polisi ada di hadapanmu. Heran juga sebenarnya. Ternyata
masih ada juga polisi yang takut masuk neraka.
Ya, ya, ya.
Begitulah kami menghabiskan waktu dan menyeruput usia perlahan. Di jalanan, di
kedai kopi, sambil merokok. Menertawakan nasib orang-orang di kota ini.
Sayembara
Di gedung ini
banyak orang-orang hebat. Adalah mereka yang mengabdikan hidup pada keabadian,
katanya. Itu juga kalau mau masih percaya kata-kata Uyut Pram. Tidak pun tak
mengapa. Lagian tiap orang punya motifnya sendiri-sendiri.
Teater kecil ini disesaki
penulis-penulis keren. Keren karena cerita mereka bisa dicetak, dijual, dibaca,
disebarluaskan ke seluruh penjuru mata angin. Keren karena pikiran-pikiran
mereka bisa menjelajah ke dalam otak manusia-manusia berbeda. Keren karena apa
yang menjadi kegelisahannya malah bisa jadi hiburan bagi hati yang selalu lega
pada kemanusiaan.
Sayembara,
sayembara. Apalah artinya?
Ruangan ini gelap.
Hanya mendapat sedikit cahaya dari mata hadirin yang menyala-nyala. Mungkin
karena menantikan siapa tahu dirinya menang, atau temannya menang, atau
kenalannya menang, atau siapa pun yang menang bahkan tak peduli. Sebab mereka
hanya peduli pada apa yang akan diceritakan dan dibawa oleh para pemenang ke
belantara sastra yang…
Well. Aku tak ingin berharap tapi
rasanya sulit. Tiap cahaya berpendar dari layar besar di depan sana yang
menampilkan tajuk sayembara dada rasanya bergejolak, perasaan tegang sekaligus
senang bergantian berloncatan. Akankah aku ada di sana? Berdiri di depan, speechless,
menghaturkan kata-kata patah, melemparkan kalimat-kalimat tak utuh. Bukan
main rasanya. Perut ikutan mulas tapi ke kamar mandi malas. Sebabnya aku tak
ingin melewatkan setiap bagian dari sayembara ini. Sayang rasanya kalau
ditinggal walau sebentar. Tak apalah menahan mulas atau kencing, lagi pula
tidak setiap hari ini. Daripada kudu melewatkan pembacaan pertanggungjawaban
para juri, lebih baik aku menahan kencing dan habis itu dirawat di rumah sakit.
Tak mengapa.
Pengumuman datang juga. Nah, kan,
benar saja aku tak tahu diri. Bagaimana bisa aku jadi pemenang kalau mengenal
diri sendiri saja aku tak bisa. Mereka-mereka yang menang masih pada muda,
hebat sekali kupikir. Dua dari tiga adalah mahasiswa, masih pada kuliah. Waw,
nikmat mana lagi yang akan kau dustakan anak muda? Sungguh kupikir sebuah
kemewahan bisa menjadi anak muda yang bernyali untuk hidup menurut apa yang
dipikir mengasyikan dan perlu. Idealisme, mimpi, cita-cita, sedang
menggebu-gebunya. Terasa sendiri olehku, walau belum tua-tua amat tapi
sekaligus tak bisa dikatakan masih muda, merawat hal-hal tadi rasanya sulit.
Sulit sekali. Apalagi kalau sedang butuh-butuhnya duit, astaga! Tak bohong kalau
diri bisa-bisa dijual.
Jadi apalah artinya?
Jadi apakah artinya?
Sayembara ini. Sayembara ini yang membawaku
ke jalan itu. Sayembara ini yang membawaku ke jalan itu di tempat jauh. Sayembara
ini yang membawaku ke jalan itu di tempat jauh menuju belahan dunia yang lain. Patahan-patahan
kejadian. Sempalan-sempalan peristiwa. Mimpi, gejolak, kenyataan. Seluruhnya berdebur.
Tak peduli karang tetap diterjang. Naskah sayembara ini ditulis di atas
gulungan ombak, rupanya.
Rel ke Rumah
“Merasa keberatan saya taruh sepeda
di sini, Kang?”
“Sama sekali tidak,” kataku.
Tapi dia menawar begini, “Boleh loh
kalau mau tukar tempat duduk.”
Aku menengok tempatnya. Dekat dengan
pintu menuju bordes dan kamar mandi. Kursi di sebelahnya ditempati teteh cantik—yang
akhirnya kuketahui turun di Stasiun Bandung. Huh, teteh Bandung memang tak
pernah mengecewakan. Dapat tawaran begitu tentu saja aku pindah. Kalem, maksudnya
biar dekat ke kamar mandi.
Aku duduk di samping si teteh yang
sedang menatap jendela. Sangat khidmat. Kulihat wajahnya sendu, seperti sedang
meratapi sesuatu. Barangkali ia tak mau berpisah dengan kekasihnya dan masih
ingin jalan-jalan barang dua atau tiga jam tapi apa daya besok pagi dirinya
kudu masuk kerja. Waduh, kadang aku memang terlalu sok tahu. Inginnya aku
berbasa-basi bertanya padanya. Tapi melihat si teteh begitu khusyuk aku tak
kuasa mengganggu. Lantas kubuka tas dan mengambil novel The Pearl-nya
John Steinbeck dalam terjemahan Bahasa Sunda buah tangan Kang Atep Kurnia.
Aku membaca novel itu di sepanjang
perjalanan. Hanya berhenti kalau ingin kencing. Mungkin si teteh heran tapi aku
pun tak yakin. Aku sempat memergokinya melalui sudut mataku, dia memerhatikanku
tajam. Apa sedang bertanya-tanya mengapa ada orang mau baca buku berjam-jam? Itu
sih hanya pikiranku yang kepedean. Pokoknya kulihat dia menatap, lama, sebelum lagi-lagi
kembali menatap jendela yang menyajikan keremangan malam. Di hadapanku, sepasang
suami istri duduk menyusul. Keduanya sudah tua.
“Habis menengok cucu,” katanya
setelah kutanya sehabis dari mana. Entah mengapa hatiku terasa hangat
mendengarnya.
Pertemuan… pertemuan…
Pertemuan si teteh dengan kekasihnya.
Pertemuan sepasang suami istri dengan cucunya—dan tentu anaknya sekalian. Pertemuan
memang cepat melahirkan perpisahan. Tapi pertemuan juga sabar membuahkan
kerinduan. Belum dua jam berlalu dan si teteh sudah sebegitu rindunya pada
kekasih. Belum dua jam berlalu dan si cucu menelpon pasangan suami istri di
hadapanku bertanya ini-itu. Alangkah sedapnya suasana itu. Dan belum dua jam
aku pun jadi terbawa tertular sentimental.
Eh, tiba-tiba menyeruak pertanyaan:
jadi kapan aku akan menghabiskan setiap perjalanan bersamamu?
Ampuuunnn…
Rel berakhir. Kereta berhenti. Dingin
menjemput. Aku melangkah lagi sambil membayangkan kau berjalan di sisiku. Kita saling
menggenggam, bersiap menghadapi malam yang curam.
Komentar
Posting Komentar