Sarapan
Gehu baik untuk perut. Tapi tidak
untuk kesehatan. Jika dikonsumsi secara masif dan terus menerus tanpa pernah
memikirkan efek minyak yang terkandung di dalamnya. Sekali-kali bolehlah gehu dipakai
sarapan. Digunakan sebagai pengganjal sebelum makan siang. Tapi sekali lagi
tidak untuk kesehatan. Sebab kesehatan hanya bisa didapat dari memakan makanan secara
teratur dan tak berlebih.
Tensi di lapangan tinggi. Setiap pemain
saling mengejar saling menjegal. Tentu saja karena rebutan bola yang mengalir. Bola
diperebutkan sebagaimana gehu di waktu sarapan. Tak peduli bagaimana caranya
tapi bola tetap harus direbut tapi perut tetap kudu dipenuhi. Kalau tidak, tak akan
ada gol di pertandingan. Kalau enggan, tak akan ada kemaslahatan dalam pencernaan.
Para pemain terus berlari, tapi sepertinya tak perlu begitu juga. Kata Andrea
Pirlo, main bola itu sembilan puluh persen pakai otak dan kaki hanyalah semacam
stik PS. Otaklah yang menciptakan operan. Otaklah yang membaca ruang. Otaklah yang
membuka gerbang imajinasi. Ke mana bola kudu dioper, ke mana bola kudu
diarahkan, kapan kudu bertahan, seperti apa kita ingin menyerang.
Sebagaimana gehu yang setiap pagi
menyerang sistem pencernaan, sistem di dalam sepak bola pun akan berantakan
kalau tak ada ritme. Strategi hanyalah air di atas daun talas kalau tak punya
ritme. Taktik tak akan berkutik kalau pemain tak menemukan ritme, tak
menciptakan aliran yang cair. Aliran, aliran. Ke manakah gehu akan mengalir? Apa
dia akan mengalir lancar melewati sistem pencernaan dengan pertahanan buruk? Apa
dia akan melaju mulus melewati usus sebagai penjaga gawang? Hmmm…
Apa mungkin gehu bisa menciptakan ritme
yang baik sebagaimana Thomas Partey?
Thomas, Thomas. Gurita di lini tengah
Arsenal. Gerakan kakinya tak lincah tapi lengket. Cerdik menempatkan diri,
piawai menemukan ruang, cekatan memotong serangan lawang. Hanya berlari jika
diperlukan. Berjalan saja dia sudah oke. Perlahan, perlahan, ritme yang
perlahan tapi mematikan seperti halnya komposisi-komposisi komposer klasik. Thomas,
bukan jenis dari aliran dangdut koplo yang enerjik. Begitulah dia mengatur ritme,
menjaga tempo, menciptakan aliran yang mengalir sampai ke sistem pencernaan
yang akan berakhir di lubang kloset.
Ada kalanya gehu kudu berimprovisasi,
memang. Gabirel Jesus pun di sana. Berlari ke kiri-ke kanan ke depan-ke
belakang ke tengah-ke pinggir. Berputar-putar, turun-naik, bergeser, memutar
lagi, lari kencang ke depan, menggiring dengan lincah, lantas ditekel barisian
lini belakang usus dua belas jari. Wasit meniup peluit. Pelanggaran. Tak diperbolehkan
makanan sembarang makanan lewat begitu saja tanpa peringatan. Walhasil,
tendangan bebas.
Dari sisi lapangan kedua pelatih
tampak memberi instruksi. Yang satu berteriak-teriak. Urat-urat di lehernya
terlihat seperti kabel-kabel besar yang sering terlihat berjuntaian silang
sengkarut di jalanan kota ini. Satu lagi tampak santai. Kalau ada sesuatu
hendak dikata kepada pemainnya, ia hanya memasukan dua jari tangan ke dalam
mulut dan melipat lidahnya. Ia bersiut kencang sebelum memberi instruksi dengan
bahasa tubuh dan gerakan tangannya. Walau begitu, walau berbeda cara, keduanya
sama-sama menginginkan pemain yang mereka mainkan bermain dengan cara yang
baik. Artinya, cara yang punya kemungkinan besar untuk memenangkan permainan.
Tapi gehu tak pernah mengerti itu.
Gehu terlalu bebal untuk sekadar mendengar apalagi menerapkan instruksi pelatih
ke dalam permainannya. Ia bermain sebagaimana biasa bermain saja. Kasar, cepat,
tanpa basa-basi, selalu mengandalkan permainan fisik daripada pikir. Ia berkilah,
namanya juga olahraga ya artinya mengolah raga atau mengolah fisik. Jadi kalau
mau main sesuai fitrah gunakan permainan fisik. Karena otak kerap kali senang
menipu dan manipulatif. Beda dengan fisik yang selalu jujur. Kalau sakit ya
sakit. Kalau capek ya capek. Kalau kalah ya kalah. Tak banyak alasan tak perlu
drama.
Lima menit menjelang pertandingan
berakhir. Skor berubah menjadi 5-3. Adalah lumrah di pertandingan percobaan semacam
itu tercipta banyak gol. Lumrah kalau sistem pencernaan banyak kebobolan akibat
kurang awas menghadapi pola makan yang spartan. Ada kalanya malah meledak-ledak.
Lumrah juga kalau kemudian kloset jadi lumbung para pemain memuntahkan
kemampuannya dalam olah gehu. Tanda bahaya mulai dinyalakan. Musim depan, benar-benar
sangat kunantikan permainan macam apa yang akan ditampilkan mereka. Kualitas seperti
apa yang akan kulihat. Gehu macam apa yang akan membombardir sistem pertahanan
pencernaan yang terkenal alot itu.
Akankah akhirnya menghasilkan gelar?
Komentar
Posting Komentar