Menerka Jakarta

 

Apa yang akan kau bawa dari sana bukan soal, bukan sesuatu, bukan sebuah hal baru. Tak perlu dipikirkan tak perlu dikhawatirkan dan apalagi tak perlu dibayangkan dengan menggebu-gebu. Cukuplah kau melamun saja sebagaimana biasa. Melamunkan hal-hal sederhana saja. Seperti biasa, sebagaimana telah kau lakukan jutaan kali.

Dari sana tak perlu berpikir akan mendapat apa. Tentu saja kau tak hendak mengingkari kalau itu tak penting. Kau pun sama saja, tetap saja, manusia yang itu-itu juga. Manusia yang selalu mengharap lebih. Tapi apa yang paling penting buatmu adalah perjalanan itu sendiri. Perjalanan yang akan menyambungkan langkah-langkahmu yang patah-patah. Perjalanan yang akan membawa langkah-langkahmu ke tempat-tempat yang jauh telah tertanam di dalam tubuhmu. Perjalanan yang—kalau kau menapakinya dengan Ikhlas—akan membawamu ke sisi lain kehidupan.

Kehidupan, kehidupan. Kehidupan yang sudah ditulis jauh di dasar ruhmu. Kehidupan pendek dengan kisah yang panjang. Kehidupan tanpa henti, kehidupan tanpa tapi. Kehidupan yang selalu dijejali mimpi, kehidupan yang selalu dibayangi mati. Kehidupan, yang kudu terus kau tapaki; sendiri, sunyi, mati.

Kata orang Jakarta itu tempat segala mimpi bisa diwujudkan. Kau bertanya, apa benar begitu?

Barangkali memang benar begitu. Barangkali setiap mimpi memang bisa diwujudkan di kota itu. Tapi apa setiap mimpi bisa diwujudkan di kota itu dengan gratis? Apa segala mimpi bisa menemui pemiliknya tanpa menjual diri atau bahkan menjual kenangan? Apa mungkin dan hanya mungkin, lebih tepatnya bisa dikatakan segala mimpi bisa dan harus dibeli di kota itu? Ah ya, ya. Barangkali memang begitu. Di kota itu segalanya jadi barang dagangan sekalipun itu mimpi. Di kota itu segalanya dijual. Di kota itu mungkin memang tak ada yang gratis.

Apa Tuhan memang inginnya memang begitu, berjualan, berniaga, guna mendapat untung untuk menghasilkan banyak laba demi meraup banyak doa?

Nah! Ternyata tak ada yang gratis. Setiap hal kudu dibeli. Segalanya kudu dibayar entah dengan duit atau kerja keras atau doa-doa atau bahkan kematian. Setiap hal ternyata ada harganya. Tak ada yang benar-benar gratis di dunia ini apalagi di Jakarta. Untuk sukses kau perlu menggadaikan impian atau bahkan nyawa. Untuk berhasil kau perlu merelakan harapan atau cita-cita untuk disetubuhi kenyataan yang banal. Kenyataan, kenyataan; adakah kau punya hati nurani? Apa tak ada di dalam tubuhmu rasa welas asih?

Dua hari lagi. Dua hari lagi. Setelah Jumat bersalin Sabtu kau akan tahu jawabannya. Setelah salat subuh kau perlu berangkat. Menerabas udara kering, dingin, mencekam. Menebas segala keragu-raguan yang menjamur di sudut-sudut hatimu. Menikam segala kelam di sepanjang jalan. Kau, kau, kau lagi. Lagi-lagi kau. Apa berhasil akan membuatmu puas? Apa kepuasan memang ada di dalam keberhasilan yang kau bayangkan? Apa di dalam sana, di alam keberhasilan yang mungkin bisa membuatmu puas terdapat kebahagiaan meski sedikit? Kebahagiaan yang meski sedikit, yang sudah kau bayangkan jauh sebelum kisah hidupmu ditulis di dasar ruhmu. Tulisan yang sulit kau baca. Kisah yang sukar dimengerti. Perjalanan pendek yang rumit diterka, seperti Jakarta.

Hati. Hati-hati menggunakannya kalau tak mau celaka. Keselamatan hanya ada di dalam kehati-hatian sedangkan kesuksesan, mau tidak mau kau mengakuinya, selalu mengharuskan kau menggunakan nyali untuk melakukan hal-hal gila. Hal-hal yang tak pernah kau bayangkan akan kau lakukan. Hal-hal yang akan membuatmu tak nyaman. Hal-hal yang mungkin, kalau kau tak cekatan membaca arah angin, akan menjerumuskanmu ke jurang yang paling dalam tanpa dasar; penyesalan.

Maukah kau mencoba?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...