Lagi-Lagi Juli

 

Katanya pencernaan otak keduanya. Otak kedua yang menanggung semuanya. Kesepian, rasa sakit, kegagalan, kecemasan. Semua ditanggungnya. Semua diserap olehnya. Saat ia sudah lelah, kelelahan, selanjutnya ia akan mencair. Membuang semuanya ke lubang kakus. Membuang segalanya tanpa ampun. Setiap sepi, setiap rasa takut, setiap kegagalan, dan setiap kecemasan itu. Ia akan mencair dan mencair. Tak peduli waktu, tak memusingkan tempat. Kapan pun siap, ia akan melakukannya. Membersihkan dirinya dari segenap keputusasaan.

Katanya pencernaan selalu kuat. Karena itulah dia ditugasi menanggung beban yang sama dengan otak. Karena itulah kadang-kadang ia diberi tanggungan yang teramat besarnya. Untuk menjaga tubuhnya dari kepedihan yang tak tertahankan. Kepedihan yang selalu mengintai bagai lapar. Kesedihan yang mengendap-endap di dalam cabe bubuk, di dalam baso aci, di dalam seblak yang tiada duanya. Kepedihan yang siap meneror, bagai bom waktu di dalam mi instan yang siap diseduh tak peduli cuaca.

Katanya pencernaan selalu sabar. Maka dari itu ia selalu siap menampung apa saja. Menampung segala hal yang mungkin, yang dapat ditampung. Ia tak pernah pilih-pilih. Ia tak akan pilih-pilih sekalipun tak menyukai apa yang ada di hadapannya. Ia tak akan menolak apa pun yang mengantre di lorong-lorong untuk menemuinya. Ia selalu berbesar hati menerima semuanya. Meski kadang sudah merasa penuh, walau kadang tak suka, tapi tak pernah mengeluh sedikit pun. Paling-paling ia hanya akan menyayat sedikit lambung sebagai bentuk protesnya. Setelah itu ia akan kembali menjadi dirinya. Menjadi tempat bermukim segalanya.

Katanya pencernaan tak pernah kompromi. Kalau tak suka bilang tak suka. Kalau suka tentu saja tak perlu bilang dan ia akan menunjukannya ke setiap anggota tubuh. Ia disiplin, tahu waktu kapan kudu menjerit kapan kudu melilit. Ia selalu waspada. Waspada terhadap segala godaan dan tipu daya. Waspada atas kecerobohan otak pertama yang merasa lebih berkuasa atas tubuh padahal sering kelirunya. Waspada, waspada, waspada. Selalu ditanamkan, melekat, menjadi bibit, tumbuh subur di dalam dirinya.

Katanya pencernaan…

Kini ia tengah menjerit. Menyebarkan duka kepada setiap anggota tubuh. Meneriakan protes atas ketidakadilan yang dideritanya. Ia berontak dengan membuang segala yang masuk. Ia meronta dengan mengubah setiap makanan menjadi cair. Cair, cair, cair. Yang terus mengocor tak terbendung. Yang terus menggelontor tak peduli cuaca. Tak peduli anggota tubuh yang lain sedang banyak kerjaan. Tak peduli otak pertama sedang banyak pikiran dan ia terus mengocor menggelontorkan bergalon-galon makanan ke dalam lubang kakus sebagai bentuk ketidaksukaannya kepada si pemilik tubuh yang arogan. Yang selalu mencoba mengatur segalanya tapi banyak salahnya. Tak ada perhitungan pasti, hanya kecerobohan yang dibanggakannya.

Kapan segalanya akan berakhir?

Teh tawar sudah habis bergentong-gentong. Air, air, air. Tolonglah kami. Dan kau, maafkanlah kami yang sembrono. Maafkanlah kami yang arogan.

___

Apa kabar hari ini. Adakah sesuatu yang baru itu muncul ke permukaan, atau terselip di antara gigi dan tulang rusuk. Apakah mungkin mereka sedang mencari jalan menuju ke sana. Menuju ke lorong-lorong gelap tempat segala rongsokan dicerna. Apabila memang begitu, maka begitulah jadinya. Jadinya kau kudu tetap terjaga. Tak boleh terlelap barang sekedipan mata. Tak boleh berbaring barang sehembusan nafas. Tak boleh berleha apalagi bermegah-megahan dalam kebahagiaan palsu.

Maka hari ini akan menjadi hari itu. Kelak kau akan menghaturkan terima kasih kepada hari ini karena pada hari itu kau akhirnya sadar segalanya bermula di hari ini. Di hari ini, di malam ini, di malam ketika jangkrik akhirnya lelap setelah berpesta. Di malam ketika tonggeret akhirnya meledak tak bersuara lagi. Di malam ketika langit, awan, bulan, bintang, dan raut wajahnya lenyap ditelan sunyi diculik kelam.

Kau keluar kamar, duduk di kursi kayu yang baru kelar dimodifikasi bapakmu si buruh serba bisa serba guna serba tahu itu. Kau duduk menghadap jaring, pohon jambu remaja, pohon mangga simanalagi yang renta, tumpukan tapas kelapa, dan sampah yang berceceran sembarang. Kau duduk menghadapinya sendiri, mengisap dua tiga empat. Kau hanya membutuhkan hal itu saat sedang rungsing. Kau tak butuh yang lainnya. Anjingmu pun ada di sana, bergoler, menemanimu tak pernah suntuk.

Anjingmu, anjingmu, anjingmu. Kau begitu menyayangi mereka. Kalau tak ada mereka kesepian semacam itu tak mungkin pecah, tak mungkin ingkah dari diri. Karena mereka kau masih punya keinginan untuk hidup. Untuk kerja cari uang. Untuk belajar hal baru. Berkat mereka. Ya, ya, mereka yang selalu setia padamu. Tak ada cuaca yang dapat membuatnya kendur yang bisa menjadikannya mundur. Segala cuaca diterjang saja tanpa peduli risikonya. Hanya demi kau, kawan yang dicintainya, yang kadang sering kali lupa memberi makan. Tapi itu tak pernah jadi soal. Mereka hanya peduli pada dirimu. Mereka tak butuh alasan untuk menyayangimu.

Entah sudah berapa isapan. Ribuan, jutaan, miliaran, entahlah kau tak pernah ingat. Yang kau tahu kini kau tak becus lari sepuluh kilometer bolak-balik sebagaimana dulu. Kau kini beranjak ringkih, rentan masuk angin. Kecekatan otot-ototmu melemah akibat tak pernah dilatih, akibat pola makanmu yang tak karuan. Di kursi sembari mengisap dua tiga empat kau membayangkan bagaimana rasanya bisa seperti dulu. Saat tubuhmu mampu berlari sejauh bayanganmu. Alangkah menyenangkannya bisa berlari sejauh mungkin. Berlari berpuluh-puluh kilometer demi mengejar sunrise. Berlari beratus-ratus kilometer demi mengencani layung di sepanjang pantai. Alangkah menyenangkannya. Alangkah membahagiakannya. Alangkah indahnya. Kapan lagi kau bisa mendapat kenikmatan semacam itu.

Kapan lagi kau bisa hidup seperti itu jika kau tak becus menjaga pencernaanmu, mengurusi kesehatanmu, memerhatikan setiap gerak mulutmu yang inginnya selalu mengunyah sampah dan sampah. Kau sadar semua sampah jelek, busuk, menjijikan tapi toh kau tak pernah berhenti mengunyahnya, memakannya, menelannya. Kau selalu kelaparan, kau selalu butuh sampah untuk dirimu. Sampah lagi sampah lagi. Setiap hari sampah. Setiap detik terpikir sampah. Tak ada pikiran yang lain. Kau merindukannya bagai seorang pengantin baru merindukan percintaan membara. Kau teramat bernafsu. Hasratmu teramat bergelora, meletup-letup, meledak-ledak. Tak sanggup kau menahannya apalagi melupakannya.

Sejujurnya kau pun tak ingin begitu. Hidup dalam ketidakberdayaan diatur sesuatu yang mestinya kau mampu mengaturnya. Kudunya kau bisa. Kau memang bisa kalau mau bersungguh-sungguh. Tapi kesungguhan tak bisa datang begitu saja tak mungkin muncul begitu saja. Ia akan selalu berada di sana, di ruang gelap tempat keraguan dan keyakinan berdebat sampai berbusa-busa. Ia ada di sana menunggu siapakah yang akan memenangkan perdebatan itu. Apakah keraguan pemenangnya, atau keyakinan yang akan melenggang membawamu. Katakanlah keyakinan berhasil menang dan berhasil membujuk kesungguhan untuk menempati hatimu, tapi apakah kau akan mengizinkannya untuk diam di sana atau tidak, itu soal lain. Sebab nyatanya keraguan meskipun sering kalah tapi tak pernah benar-benar mati. Ia akan selalu ada di sana, datang pada setiap kesempatan, muncul dalam setiap bayang-bayang.

Ruwet sekali ternyata hidup. Tapi mati pun tak lebih menyenangkan. Hidup, mati, alangkah dua hal itu terasa sangat membatasi. Batas, batas, batas. Keduanya membatasi kau punya pikiran membatasi kau punya langkah. Keduanya, tak bisa dilepaskan, akan selalu melekat pada dirimu yang rapuh. Sebagaimana kapas yang dipermainkan angin. Sebagaimana daun yang dipermainkan nasib. Sebagaimana mimpi yang dipermainkan takdir.

Allahu akbar!

Sudah segede ini dan kau masih selalu bangun siang, tak becus bangun pagi, tak becus melaksanakan salat subuh dengan benar. Terlalu banyak alasan terlalu banyak pembenaran, terlalu banyak mengelak dari kewajiban dan tanggung jawab. Kau sudah segede ini dan belum bisa disiplin. Disiplin, disiplin, disiplin. Disiplin yang itu-itu juga. Disiplin yang sudah kau pelajari sedari kecil tapi tak pernah kau kuasai hingga segede ini. Disiplin yang mudah diingat tapi teramat sulit dikerjakan. Mau sampai kapan, sampai kapan kau akan begini. Segalanya berantakan karena waktu tak pernah jadi sahabatmu. Semuanya acak-acakan karena kau tak pernah ingin mengenal waktu. Waktu, waktu yang—lagi-lagi—itu-itu juga.

Barangkali kau perlu pergi bertapa ke Gunung Kendalisada. Kau perlu ke sana untuk bertemu Hanuman dan berguru kepadanya. Kau perlu sowan kepada gurumu itu. Sebab Hanuman satu-satunya guru yang akan membuatmu mengerti kalau mi instan dan segala makanan yang berbahan dasar aci adalah seburuk-buruknya makanan kalau dikonsumi terus menerus tanpa henti tanpa pertimbangan. Hanya Hanuman yang akan membawamu menuju jalan terang. Bahwa di setiap makanan yang disajikan di meja makan, yang terbaik untuk dimakan hanyalah kenangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...