Juli yang Rimpang

 

Kepalamu hampir menjadi tiga.

Perjalanan separuh hampir terlewati. Itu pun kalau kau masih punya waktu untuk hidup selama tiga puluh tahun lagi. Toh usia siapa yang tahu—kalau bukan malaikat.

Di sepanjang kisahmu yang pendek. Apa yang telah kau alami tentu saja tak pernah kau sangka. Lagian tak bakal ada juga orang yang dapat menyangka hidupnya akan begini, begitu, atau begini-begitu. Semuanya akan mengagetkanmu. Segalanya akan bikin kau geleng-geleng kepala seraya mengelus dada beristigfar. Astagfirullah! Apa yang telah kau perbuat. Apa yang telah kau lakukan. Apa yang telah kau rencanakan. Apa yang selalu kau inginkan. Semuanya, segalanya, adalah bahan-bahan terbaik untuk kau yang tak becus memasak. Begitu pun bagi mereka yang jago memasak. Tapi tentu saja yang jago memasak pun kudu melewati kegagalan demi kegagalan.

Kegagalan bukan aib. Kegagalan seharusnya tak membuat kau malu tapi sebaliknya, membuat kau mengerti. Mengerti kalau hidup memang begitu. Mengerti kalau kau tak bisa mendapat segalanya. Mengerti kalau kau hanya akan memiliki apa-apa yang kau perjuangkan dengan baik terutama dengan tulus. Jalan menuju tulus tak selalu mulus, tentu saja. Jalan bebas hambatan yang dibikin pemerintah pun nyatanya sering juga malah menimbulkan hambatan. Aneh? Begitulah hidup, lagi-lagi. Menuntut kau untuk selalu berpikir, merenung, supaya tetap eling dan tidak mbeling.

Telah sampai di sini. Kau mengerti kalau hidup tak harus luar biasa. Sebab kau pernah membaca, masalah dimulai ketika kau ingin menjadi orang hebat. Well, well, well. Tak perlu bawel. Tak harus rewel. Kau memang sering tak tahu diri. Malahan lebih sering tak tahu diuntung. Selalu ingin segalanya berjalan sesuai rencana. Selalu mau segalanya mengalir sebagaimana kehendak otakmu. Kau sulit sadar kalau rencanamu seringnya mentah. Kau pun sering lupa kalau otakmu itu banyak cacatnya.

Hmmm…

Ya, ya, ya. Hidup memang tak harus luar biasa. Hidup itu sederhana, yang luar biasa hanya tafsirannya saja. Makanya jangan sembrono menafsir. Punya ilmunya saja tidak. Belajar ilmunya saja tak pernah. Kau pun tak perlu ikut tafsir hidup orang lain. Kalau kau ikut-ikutan tanpa sedikit pun mencoba mengerti, kau hanya akan melesat ke dalam jurang, kau hanya akan meleset tak ketulungan.

Cukuplah hidup secukupnya. Kau itu hanya gelas, bukan lautan yang mampu menampung segala hal. Kau hanya gelas kecil. Kau hanya bisa menampung yang kecil-kecil. Kalau kau memaksakan segala hal kudu masuk, sebaiknya kau juga kudu memaksakan segala hal kudu keluar. Kalau tak begitu kau hanya akan patah, pecah, semplak. Kau akan gagal sebagai gelas. Kau akan kehilangan fungsimu, kegunaanmu, jati dirimu. Maka sebaiknya kau merencanakan yang kecil-kecil saja. Sebaiknya kau menginginkan yang kecil-kecil saja. Yang biasa-biasa saja.

Sebenarnya tidak memalukan, malah sah-sah saja kalau kau punya impian. Karena itulah yang akan membuatmu tetap hidup. Membuatmu tahu kalau segalanya butuh usaha. Tapi pilihlah mimpi-mimpi yang bisa kau jangkau dengan kakimu. Pilahlah mimpi-mimpi yang bisa kau raih dengan tanganmu. Kejarlah mimpi-mimpi yang sekiranya mampu diperdayai oleh otakmu yang banyak cacatnya itu. Segala mimpi sudah tentu bagus. Tak perlu takut dikatai mimpimu kacangan. Tak harus malu jika mimpimu dikatai biasa-biasa saja. Sebab sudah kukatakan, hidup itu sederhana dan tafsirnya saja yang luar biasa. Begitupun mimpi. Semua mimpi sederhana, yang luar biasa hanya lamunan kita tentangnya.

Huh!

Kepalamu benar-benar hampir menjadi tiga.

Tapi tenang saja, tak perlu tergesa-gesa. Tak perlu terburu-buru. Tak perlu grasak-grusuk. Untuk mengejar segalanya. Guna mewujudkan semuanya. Semua perlu waktu. Bahkan untuk ngising atau meludah saja perlu waktu. Apalagi ini buat mencapai apa yang kau inginkan dalam hidup.

Apa yang kau inginkan dalam hidup?

Apa yang kau inginkan dalam hidup…

Kau masih yakin ingin jadi penulis dan dikenal melalui novel-novelmu? Kau yakin ingin hidup di sana, di antara jutaan orang yang telah berdesak-desakan mengantre lebih dulu? Kau ingin hidup di sana; tak tentu dapat uang berapa, tak tentu kapan kudu gawe, tak tentu siapa harus diewe—karena siapa juga perempuan yang mau dengan lelaki yang hidupnya serba tak menentu? Memang masih ada perempuan yang mau? Bakal ada? Kalau kau yakin, kantun hajar saja. Tak perlu takut kalah. Tak perlu malu ditertawakan. Silakan saja yakini seyakin yakinnya jalan itu.

Atau kau ingin jadi guru seumur hidup? Mengabdi pada umat dan keserba-kekurangan? Hidup begitu, dengan jadwal pasti, dengan kegiatan yang sudah tersusun. Pagi berangkat sore pulang. Setiap hari kau meracau di dalam kelas. Menjelaskan apa beda selamat jalan dan selamat tinggal. Menerangkan apa maksud hidup memang keparat. Menceritakan bahwa ternyata nabi-nabi itu jumlahnya tak hanya dua puluh lima. Itu, yang kau inginkan?

Anggap kau menggabungkan keduanya menjadi pilihan tapi toh kedua hal itu juga tak jauh beda. Mau jadi penulis hidupmu tak menentu, mau jadi guru hidupmu tak jauh dari begitu. Sama-sama biasa saja. Sama saja tak berkelas di mata calon mertuamu. Kau akan tetap dianggap kurang kerjaan terutama penghasilan.

Dan kau akhirnya kembali bingung. Jangar. Rungsing. Kepala terasa hendak pecah. Tapi kau tentu saja tak bisa mengelak, kau tak akan mampu mengelak. Satu-satunya yang bisa kau lakukan hanyalah menghadapinya. Menghadapi semuanya. Sendirian. Kesepian. Tak akan ada yang menolong kecuali dirimu. Atau Tuhan—itu pun dengan syarat doa-doa yang kau terbangkan tak nyasar ke sarang iblis.

Well, kepalamu sedikit lagi menjadi tiga.

Kau kudu sadar. Di antara banyak pilihan sebagian memang bisa memberimu kebahagiaan—kalaupun itu benar adanya. Sedangkan sisanya, sisa dari pilihan-pilihan lain yang begitu banyaknya, hanya akan menyulitkan hidupmu. Menyengsarakanmu. Membuatmu luluh lantak. Remuk redam. Tapi tak apa, karena hidup pun banyak tapinya. Di antara banyaknya kesusahan, kau hanya perlu pandai-pandai menggunakan tapi. Kau kudu terus berlatih supaya mahir menggunakannya. Supaya ketika susah, ketika sulit, ketika keadaan hancur, masih ada tapi-tapi-tapi yang akan sedikit menghiburmu.

Selamat menjadi tua. Selamat berlatih bertapi-tapi-tapi-tapi-tapi…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...