Hamada
Kadang aku merindukan obrolan dengan si
Hamada, kudaku itu. Kuda yang telah bersamaku sejak lahir. Kuda yang menggigit
tali ari-ariku, kuda yang menyaksikan hampir seluruh kisah hidupku. Kuda tempat
aku membagi segalanya—kecuali tentu saja kekasih.
Hamada, Hamada, Hamada. Bagaimana kabarmu?
Apa alam liar sebegitu mempesonanya sebagaimana sering kau ceritakan di
surat-suratmu itu? Apakah padang rumput memang semenakjubkan sebagaimana sering
kau bagi di sosial mediamu? Semoga saja begitu, Hamada. Semoga. Biar enak
selalu hatiku.
Kata Ceng Abdul, rejeki yang baik itu
adalah rejeki yang barokah. Barokah katanya adalah jiyadatul khoir, yang
kira-kira artinya tambah-tambah kebaikan. Jadi rejeki yang barokah merupakan
rejeki yang selalu bisa menambah kebaikan di dalamnya. Aku harap alam liar dan
padang rumput itu adalah rejeki yang barokah buatmu. Karena di alam liar kau dapat
berbuat sesukamu semau-maumu sekehendak utekmu. Sedangkan di padang rumput kau
pun dapat melakukan segalanya sebagaimana bayanganmu. Entah mau kau habiskan
dengan membaca novel trilogi Nagabumi karya Mang Seno atau menulis puisi-puisi,
itu terserah padamu. Tapi yang pasti alam liar dan padang rumput itu menambah-nambah
kebaikan untukmu. Jadi mungkin, kalau mengikut keterangan Ceng Abdul, kau sudah
berhasil mendapat rejeki yang barokah.
Lantas Ceng Abdul melanjutkan
keterangannya. Di antara barokahnya rejeki, yang paling utama dari setiap kebarokahan
adalah berupa nikmat sehat. Katanya, segalanya akan percuma kalau kau mewujud
makhluk yang gemar sakit-sakitan. Alam liar mungkin hanya akan jadi siksaan
buatmu, sedangkan padang rumput tak lebih dari garam yang ditabur di atas sobekan
lukamu. Maka sehatlah selalu, Hamada. Rajin-rajinlah jaga kesehatan. Jangan makan
rumput sembarangan, tak usah berganti-ganti pasangan kecuali itu mendesak demi
menjaga keturunanmu. Begitulah kesehatan, Hamada. Tempatnya ada di paling
puncak dari setiap rejeki yang barokah. Dengan sehat kau bisa mengerjakan apa
pun seenak udel.
Sehat, dan kesehatan. Selanjutnya katanya,
kesehatan yang kau dapat kudu dimanfaatkan guna berbuat yang baik-baik untuk membikin
kebaikan-kebaikan. Tak perlu penting tak perlu besar, kebaikan kecil saja katanya
sudah cukup. Tak harus berpikir yang besar-besar kalau kau bisa melakukan yang
kecil-kecil. Dawamkan saja yang kecil-kecil dahulu lantas yang besar mengikuti.
Toh nanti pun ada saatnya kau akan melakukan yang besar-besar tapi sekarang,
fokus saja pada hal-hal kecil. Seperti tersenyum, rajin olah raga sebagaimana
rajin olah rasa, dan menolong sesama binatang. Kalau sudah begitu, kalau kau
sudah menanam kebaikan di dalam sehatmu, kau akan jadi makhluk dengan hati yang
lega, lebar, luas, bisa menampung apa saja.
Lega hati teramat penting dalam
hidup, Ceng Abdul mewanti. Karena segalanya akan percuma kalau hatimu tak lega.
Kau akan kelabakan, selalu merasa sesak, dan dunia terasa teramat menyiksa. Hati
yang lega membuat jiwamu tenang. Karena di dalam hati yang lega terdapat banyak
tempat untuk merenung untuk berpikir untuk menyayangi untuk memaafkan untuk apa
pun keinginanmu. Di dalam hati yang lega kau barangkali ingin membangun aras
bagi jiwamu, siapa tahu? Itu sangat mungkin dan tak mustahil. Banyak manusia
punya harta banyak tubuh sehat dan istri cantik tapi untuk melakukan sedikit
kebaikan sulitnya minta ampun, itu mengapa? Karena hatinya tak lega. Bersyukurlah
kau bukan manusia tapi seekor kuda. Seekor kuda yang dilahirkan dengan fisik
dan tekad sekeras batu. Maka guratkan ini di dalam dirimu; milikilah hati yang
lega.
Untuk memiliki hati yang lega tentu
saja kau kudu rajin-rajin berlatih, mengulang-ulang, berlatih lagi,
mengulang-ulang lagi. Tak ada yang instan di alam dunia kecuali mi instan dan
kopi saset. Tak ada jalan mudah tak ada jalan pintas. Satu-satunya jalan hanyalah
berlatih dan berlatih. Satu-satunya cara hanyalah mengulang dan mengulang. Berlatihlah
secara tekun, mengulanglah sampai mahir. Hanya itu, dengan begitu,
satu-satunya, kau barangkali akan memiliki hati yang lega.
Aku tahu satu tempat, Hamada. Satu-satunya
tempat yang kutahu tempatku berlatih bertapa. Di sanalah tempatnya, di Gunung
Kendalisada, tempat wanara agung mengasah kesaktiannya. Hanuman. Benar, Hanuman
Sang Wanara Agung. Ia adalah guruku dan kuharap juga akan menjadi gurumu. Ia benar-benar
guru yang keren yang kesaktiannya tak perlu kau ragukan. Ia yang menguasai ilmu
manusia, ilmu siluman, dan ilmu dewa-dewa. Ia yang sekali loncat bisa menabrak
matahari. Ia yang kalau menancapkan kukunya gunung paling besar pun bisa diangkat
sebegitu mudahnya. Lempengnya, ia makhluk bukan sembarang makhluk.
Barangkali ia merupakan seekor
wanara, seekor monyet, tapi percayalah ilmunya begitu matih begitu ampuh dan terutama,
akhlaknya jempolan. Benar-benar jempolan. Malah sebagian banyak manusia dan binatang
percaya kalau laku lampahnya sehari-hari selalu disandarkan kepada laku lampah Kanjeng
Nabi. Aku tak berkata akhlaknya persis seperti Kanjeng Nabi, tapi caranya
menjalani hidup, caranya menapaki dunia, selalu mengikuti apa-apa yang dikatakan
dan dicontohkan Kanjeng Nabi. Bukan, tentu saja bukan. Hanuman bukan seorang
ulama tapi hanya seekor wanara, seekor monyet. Tapi begitulah, dengan amalan
dan laku lampah yang baik, apa pun jenis makhluknya, selalu akan diangkat
derajatnya oleh Allah.
Nah. Kalau kau masih sangsi atas
kemampuan dan kecemerlangannya, maka berarti kau hanya perlu datang ke Gunung Kendalisada
dan bertemu dengannya. Jika bingung tak mengerti arah tak tahu jalan, ada
baiknya kau menghubungi Jibril dahulu. Mintalah petunjuk darinya. Jibril malaikat
yang asyik kok. Jangan sungkan-sungkan saja, maka ia akan dengan senang
hati menolongmu.
Well, Hamada. Aku mengantuk. Nanti kusambung
lagi saja. Sementara sebegini saja dulu. Sehat-sehat di sana. Jangan makan
sembarang rumput jangan mengawini sembarang betina.
Komentar
Posting Komentar