Karang di Tubuh

 

Ada kalanya hidup memang tak terasa ke mana-mana. Kamu diam, terjebak, terombang-ambing di lautan waktu yang ganas. Tempat berbagai monster siap menyantap. Tempat perompak mencari mangsa. Tak ada angin. Tak ada harapan. Waktu mempermainkan hidupmu, menertawakan nasibmu yang sengsara. Kalau sudah begitu cobalah barangkali untuk berdoa. Siapa tahu dengan begitu hidup akan berubah. Soalnya katanya doa-doa selalu menemukan jalan kembali dan tak pernah kesasar. Setidaknya kalaupun tidak berubah, kamu bisa merasa tenang dan lega—itu pun kalau utang sudah lunas.

Mungkin yang datang hanya angin kecil yang tak membawamu berlayar jauh. Tapi itu pun tak mengapa. Angin sepoi-sepoi semacam itu juga ada manfaatnya. Minimal untuk kesehatan mentalmu yang amburadul.

Kalau dirasa doa kurang memberikan kemajuan signifikan, cobalah sedikit dibarengi bertapa. Angkatlah kedua tanganmu yang lemah itu. Mulailah mendayung dengan sisa tenaga yang ada di telapak tanganmu. Sudah pasti dampaknya tidak luar biasa. Tapi setidaknya, lumayanlah ada aktivitas fisik guna menjaga otot tetap siaga.

Apa semua akan selesai kalau aku tak pernah tidur?

___

Telah sampai di mana?

Masih banyakkah yang tertinggal?

Adakah yang tersisa walau sedikit?

Ini akan panjang sekali. Jauh. Melelahkan. Mulailah menyusun rencana.

Sudahkah menyiapkan bekal?

Banyak yang akan dikorbankan. Tak sedikit yang akan kehilangan nyawa.

Menjadi apa?

___

Apa di sana di antara para penulis besar. Hidup bergelimang tinta dan gagasan. Kerja setiap hari hanya menulis dan menulis. Menuliskan seluruh gagasan. Merayakannya menjadi buku. Menyajikannya kepada umat akhir zaman.

Apa akan bermanfaat?

Hmmm…

Manfaat hanya bisa diambil oleh mereka orang-orang yang butuh. Kalau tidak, percuma. Berpikir sewajarnya tentu akan membantu. Tapi yang menolong hanyalah mereka, pikiran-pikiran realistis.

Aku akan berakhir di mana?

Apa di sana di antara para guru yang mulia yang tapi masih bingung buat dapat uang untuk bayar listrik dari mana sebab gaji tak mampu menutupnya. Cicilan, cicilan, cicilan. Bisakah hidup tanpa utang? Kalau tanpa kutang memang sulit. Tapi kalau tanpa utang? Seharusnya bisa kalau benar-benar bisa mengelola duit yang masuk. Tapi, apanya yang mau dikelola kalau yang masuk hanya cukup buat mengutang lagi?

Rungsing.

Uang sekolah anak. Duit belanja istri. Fulus buat bayar kuota. Rokok sehari-hari. Hidup sederhana, miskin impian. Tak ada bak mandi harapan tempat kau berendam sekaligus bercinta dengan istri tercinta. Tak ada halaman yang rapi, yang asri, yang menyejukkan mata.

Aku akan berakhir di sini.

Sesak oleh harapan.

Sekarat oleh mimpi-mimpi.

___

Bayangmu memantul dari segala arah. Menabrak segala ruang. Menembus segala waktu. Mendekap segala resah. Menyelimuti mimpi-mimpi. Menyerap segala doa. Doa-doa yang mengapung. Doa-doa yang mengambang. Doa-doa yang malu-malu. Doa-doa yang itu-itu juga. Doa-doa dari mulut-mulut penuh zikir. Doa-doa dari mulut-mulut penuh maksiat. Doa-doa dari siapa saja. Dari mana saja. Segala doa kau serap. Tanpa pilih. Penuh kasih.

Impian banyak terdampar di pos ronda. Untuk sekadar main kartu gaple atau remi. Sambil menyeruput kopi yang sebenarnya campuran gilingan daun batang dan daun jagung. Mereka juga banyak terseret ke pinggir jalan. Merokok sembari membayangkan kekasihnya, atau utangnya yang banyak. Banyak juga yang tenggelam di tempat tidur. Berbaring mencekik hapenya. Bermimpi sedang berselancar menaklukkan dunia dan segala isinya. Tapi tak banyak dari mereka yang mencangkul di masjid. Tak banyak dari mereka yang menggarap lahan di sana. Tak banyak dari mereka yang menyiapkan benih. Sedikit sekali dari mereka yang menanam. Buat bekal nanti. Untuk bekal mati. Di perjalanan. Menuju tempat kelahirannya.

Sudah matikah mereka?

Atau aku saja yang tak bisa tidur?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...