Lengking Si Burung

 

RESTI TAK DAPAT RESTU. Orang tuanya menolak keras kekasihnya yang saban hari hanya menggantungkan hidup pada puisi. Lelaki semacam itu bukan lelaki betulan. Tak baik buat dijadikan suami. Kalau tetap memaksa, siap-siaplah seumur hidup hanya makan kata dan rima. Mentok-mentok ditambah struktur dan bentuk.

Awalnya dia ingin tak peduli. Ingin terus memaksa orang tuanya buat merestuinya. Tapi setelah lebaran dan dia kerap berbincang dengan sepupunya yang banyak itu, keyakinannya goyah. Kalau dipikir-pikir, orang tuanya ingin menyelamatkannya dan bukannya mencelakakannya.

Dia melihat sepupu-sepupunya sudah pada menikah. Banyak dari mereka sudah gablek anak. Menimang-nimangnya di acara makan-makan keluarga. Beberapa dari mereka malah sudah punya dua anak yang bedanya hanya setahun. Dia membayangkan. Sepertinya sepupunya doyan sekali ngews sampai-sampai kondom selalu bocor dan KB tak pernah mempan. Waduh waduh. Dia iri bukan main.

Sepupunya yang banyak yang sudah pada menikah dan sudah punya banyak anak itu semuanya punya suami yang tajir. Salah satu sepupunya menikah dengan lelaki yang kerja di Kementerian. Satunya lagi kerja sebagai dosen. Satunya lagi punya usaha kuliner sukses. Dan satunya lagi menikah dengan lelaki pemilik travel haji dan umroh. Masyaallah! Pantas saja mereka doyan ngews. Segalanya sudah terjamin. Kebutuhan akan selalu terpenuhi. Hidangan di meja makan akan selalu cukup. Liburan ke mana pun bukan sekadar angan-angan. Hmmm… memang sih. Memang, memang. Kalau sudah begitu ya apalagi kalau bukan memperbanyak ngews?

Dia iri bukan main.

Dia lalu membayangkan kekasihnya yang saban hari hanya menggantungkan hidup pada puisi. Kekasihnya yang saban hari hanya melamun, merenung, menulis puisi. Menghabiskan berbungkus-bungkus roko dan ratusan liter kopi. Kekasihnya memang sering membuatnya bahagia. Kekasihnya sering membuatkannya puisi. Sering memuji-mujanya lewat rangkaian kalimat yang apik tak robotik. Tapi… tapi. Tapi dia ingin hidupnya tak cuma bahagia namun juga berkecukupan. Dia ingin kalau sedang sedih bisa belanja sepuas-puasnya. Kalau sedang suntuk bisa berlibur seenak jidat. Kalau sedang sange bisa berontak sebebas-bebasnya pada kondom dan KB seperti para sepupunya. Dia sadar hatinya memang selalu bungah kalau kekasihnya memuji-mujanya lewat puisi-puisinya. Tapi dia juga sadar nasi tetaplah nasi. Perut lapar mana mempan dijejali puisi. Anak nangis pengin susu tak bisa diredam rima dan kata-kata. Token listrik tak bisa diganti struktur dan bentuk. Aduh, celaka!

Tapi bagaimanapun dia sangat cinta kekasihnya itu. Dia juga eling walau cinta tak bisa diganti harta, tapi harta bisa menyelamatkannya dari penuaan dini. Harta bisa membuatnya langsing seketika kala dirinya telah melahirkan anak pertama. Harta bisa membikin mulutnya selalu lumer dipenuhi kue-kue kecintaannya. Terutama harta, bisa menjadikannya selow untuk bisa ngews kapan saja. Sepuas-puasnya. Sesuka hatinya.

Dia bingung tapi cekatan menyambar hapenya. Mengirimi kekasihnya pesan, “Ibuku memintamu segera mengawiniku. Dia tak sabar pengin menimang cucu.”

Dia banting hapenya ke kasur. Senyumnya merekah membayangkan dirinya bisa ngews kapan saja, sepuas-puasnya, sesuka hatinya. Ia tak perlu menunggu balasan kekasihnya sebab sudah tahu bakal seperti apa jawabannya. Dia yakin setelahnya, lelaki yang saban hari menggantungkan hidupnya pada puisi itu akan menghasilkan jutaan puisi atau bahkan miliaran puisi dari kesedihannya.

 

MANA BISA AKU MEMBENCIMU. Mana dapat aku mendendammu. Mana mungkin aku lupa padamu.

Segalanya. Kamu sudah memberi segalanya. Mulai dada sampai rasa. Mulai bibir sampai terakhir. Hingga McD sekaligus meki. Celaka. Aku sungguh celaka kalau melakukannya. Benar-benar lelaki tak tahu malu.

Kalau bisa ngasih nyawa, mungkin kamu pun bakal melakukannya. Sepertinya kamu juga memang telah melakukannya. Aku tak mungkin sampai ke sini jika tak ada kamu. Tak ada kamu yang memberiku makan. Tak ada kamu yang menjejaliku kasih. Tak ada kamu yang menghujaniku peluk dan cium. Tak mungkin. Aku tak mungkin ada di sini. Aku tak mungkin sampai ke sini.

Aku akan ada di sana. Di kamar pengap tanpa cahaya. Di ruang lembap tanpa berdaya. Menatap nanar langit-langit penuh sawang. Menanti kamu pulang kerja. Sambil sekarat diserang mimpi-mimpi.

Hatiku akan sakit. Membayangkan segalanya. Mengutuki kegagalan demi kegagalan. Mencaci makinya. Menyalahkan diri sebagai pengecut. Menyumpahi diri sebagai lelaki tanpa upaya. Aku akan menangis di sana. Terisak pelan-pelan takut didengar orang. Air mata memang bukan air matcha. Ia pahit dan tak ada manis-manisnya.

Benar-benar. Aku ingin ke sana. Mendatangimu. Menemuimu. Menemanimu di kamar sepi keparat itu. Kalau kamu mau, buat membunuh kebosananmu, aku akan mendongengkan cerita wayang. Terserah mau versi yang mana. Pilih juga gaya dalangnya. Mau wayang kulit atau wayang golek, aku bisa melakukan keduanya. Kamu pun sudah mafhum, untuk urusan berbohong aku memang jagonya. Aku akan menghiburmu semalam suntuk.

Biar kamu betah dan tak kelaparan. Aku akan belanja makanan kesukaanmu. Nila goreng kering dengan sambal terasi dan lalapan. Ditambah goreng tempe kering dan nasi yang dimasak secara tradisional menggunakan seeng dan aseupan. Oh ya, ya. Tentu saja aku juga akan menyediakan teh tawar hangat. Aku tahu. Tahu sekali. Cerita wayang memang kadang kering makna. Lebih-lebih sering bikin rungsing kepala.

Jangan kalah oleh korona. Tak boleh sampai dikalahkan. Aku tahu kamu kuat. Aku percaya, kamulah satu-satunya perempuan kuat yang pernah kukenal.

 

ANTUM KENAPA?

Pengin kawin?

Ingin segera nikah?

Tak sabar hendak menimang anak?

Soalnya gejala yang antum alami mengarah ke sana. Tiap malam kerjaan melamun di teras depan rumah. Memandang jauh ke bunga-bunga yang dekat. Antum suka berlama-lama begitu. Sambil merokok dan ngopi. Kadang ada anjing antum menemani. Tapi kadang seringnya antum sendiri karena si anjing sudah capek dengan kelakuan antum. Mau bagaimanapun sebenarnya antum tak peduli. Mau ada anjing atau tidak. Setiap malam antum akan melamun di teras depan rumah memandang jauh bunga-bunga yang sesungguhnya dekat sembari merokok dan ngopi.

Tiap malam antum selalu gelisah. Sulit tidur tapi bangun bingung mau ngapain. Tak ada hal bisa antum lakukan di rumah ini kecuali onani. Membayangkan diri menyetubuhi perempuan pujaan hati. Padahal sebenarnya antum hanya menyetubuhi khayalan. Hanya tangan kiri dan beberapa lembar tisu. Antum tahu itu. Dan karena itu antum sedih. Sedih sesedih sedihnya lelaki sedih. Bingung kudu berbuat apa. Onani teramat menyiksa hati tapi apalagi yang bisa diperbuat?

Antum kerap membayangkan. Bagaimana kalau mencoba open BO? Lagian uang ada. Cukup untuk sekadar bersetubuh barang beberapa jam. Tapi kalau sudah begitu antum jadi takut. Bukan karena Allah dan dosa. Tapi takut kena penyakit. Dan terutama takut ketagihan. Antum takut begitu karena antum tahu antum akan ketagihan. Pasti ketagihan. Tak ada lelaki di alam dunia yang tak ketagihan memek. Semua lelaki pasti mengalaminya.

Hmmm…

Lantas antum berbaring di kursi. Menatap langit-langit penuh sawang. Menyaksikan laba-laba merajut rumah dengan terampil. Sialan sialan sialan. Kok indah sekali…. Kok terampil sekali tangan-tangannya…. Eh, apa kaki-kakinya?

Anjing!

Berisik amat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...