Kembang Kamboja Biru

 

Selamat berganti kelopak, Kembang Kamboja Biru.

Pasti menyebalkan rasanya.

Kadang aku juga berpikir begitu. Mengapa kehidupan yang terhampar luas ini bisa-bisanya ditempuh oleh waktu hanya dengan secepat kilat. Padahal dunia ini luas, besar, gede. Seluas dan sebesar dan segede mimi si dia yang sering kita jadikan bahan banyolan. Sungguh waktu teramat cepat lagi mahir dalam urusan begini. Dalam urusan mengangkangi manusia-manusia seperti kita.

Kalau ditulis, akan begitu banyak hal yang bisa bikin hidup terasa jadi makin menyebalkan. Tapi karena sekarang hari anggrek bulan rindu dan tahun kesunyian, tak perlulah rasanya aku tulis hal-hal demikian itu. Cukuplah aku menulis hal-hal baik saja, yang menyenangkan, yang bisa bikin hati senang, yang bisa membuat kau tertawa. Setuju?

Yang pertama tentu saja tentang pertemuan kita. Tentu saja aneh bin ajaib bin gendeng. Kok bisa-bisanya, aku yang tanaman merambat ini bertemu denganmu yang Kembang Kamboja Biru di kelas mimpi yang membosankan. Seribu kali aku memikirkan dan merenungkannya, dan rasanya masih sangat aneh. Aku tak suka-suka amat pada hal semacam itu, dan kau, aku melihatnya sendiri, hanya cemberut dengan tangan menopang dagu. Tak ada bagus-bagusnya pertemuan kita itu. Hmmm. Tapi mungkin bagus atau tidaknya, hanya bisa dinilai di saat-saat genting seperti sekarang, siapa tahu? Karena kemudian aku berpikir, merenungkan, membayangkan, dan tampaklah segalanya dari pertemuan itu menjadi indah bermekaran. Senyummu yang pahit tapi menyehatkan. Bibirmu yang galak menggiurkan. Kilat matamu yang tajam, kalau tak hati-hati memandangnya, bisa bikin perasaan yang rawan ini tergelincir. Begitulah rasanya aku pikir. Semakin lama melamunkannya semakin adegan-adegan di pertemuan itu tampak getir tapi sekaligus melegakan.

Setelah pertemuan itu. Terbentanglah jalan di hadapan kita berdua. Jalan yang kemudian kita tapaki bersama sebagai kembang dan tanaman merambat yang menginginkan perubahan dalam hidup. Aku suka kamu yang pandai, yang bisa menyelesaikan soal-soal Bahasa Arab yang brengsek itu hanya dengan sekedipan mata. Aku kagum padamu yang bisa melipat keresek-keresek bekas jadi segitiga yang bisa dimanfaatkan buat nanti kalau belanja lagi. Aku kadang terpukau kalau melihatmu sedang mencuci pakaian, dan menjemurnya di samping kamarmu, dan menyetrikanya di hadapanku sembari mendengarkan sekaligus mendendangkan lagu-lagu picisan. Kalau sedang melakukan hal-hal itu, kau tampak cantik sekali. Dengan bulir-bulir keringat yang berkilatan di keningmu, dengan sorot matamu yang…

Sekarang aku menyadarinya. Telat tapi tak apa. Karena masih banyak hal yang bisa dipetik dan dikunyah sebagai pelajaran menyehatkan bagi pencernaan. Ketika kau menangis di ruangan gelap itu, ketika kau berurai air mata di hadapanku, ketika kau menceritakan segalanya, itu peristiwa yang sangat kuingat. Kau tidak berbohong, tapi aku yang salah tafsir. Kau hanya tidak mengatakan semuanya (tapi waktu itu aku menganggapnya begitu). Kau hanya mengatakan apa yang kau katakan ketika itu atas dorongan marah dan adrenalin saja. Barangkali perkataanmu memang berasal dari dasar hatimu, tapi bukan dari perasaan yang sesungguhnya. Karena ternyata perasasan yang sesungguhnya masih jauh tertidur di alam bawah sadarmu. Aku tak merasa rugi apalagi menyesal. Kesempatan untuk menentang matahari di pagi hari denganmu jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Bolehlah dikatakan aku begitu bersyukur atas segalanya.

Dan tiba-tiba saja sekarang kelopakmu gugur lagi, Kembang Kamboja Biru. Aku yang tanaman merambat, meski sangat ingin tapi mustahil bisa menemuimu. Musim sedang kering begini. Cuaca selalu bertingkah. Rasanya tak akan pernah ada kesempatan lagi. Kecuali jika ada seorang petani melindur dan tiba-tiba memetikmu buat ditanam di pagar bambu di dekatku. Tapi rasanya tak mungkin juga. Kalau dibikin sebaliknya pun juga tak akan mungkin. Lagi pula, siapa petani yang kurang kerjaan yang ingin memetik tanaman merambat yang saban hari kerjanya hanya menulis puisi dan bukan bikin sejuk mata dan pemandangan? Aku yakin tak ada.

Hanya melalui dinding ini. Hanya dari balik tembok ini. Aku akan terus merambat. Mendoakanmu untuk dapat tanah yang baik, yang subur, yang bisa membuat dirimu bermekaran lagi bercahaya sebagaimana dahulu. Semoga kau selalu hidup dalam cuaca sejuk yang syahdu, yang hening tak berisik. Aku selalu berdoa dengan cara paling memaksa. Percayalah. Supaya kamu mendapatkan segalanya yang terbaik, yang termanis, yang terbahagi…

Sudah waktunya tidur. Kalau kamu ingin tahu, akhir-akhir ini gampang sekali aku mengantuk. Apalagi kalau sedang melamun seperti saat ini.

Kembang Kamboja Biru…

Buatlah dunia bertekuk lutut di hadapanmu.

Bismika allahumma ahya wabismika waamut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...