Segala Puji Hanya
Asbak di atas meja. Penuh puntung dan daun kelapa bekas
bugis. Kertas berjejal juga di perutnya. Seakan mau muntah tapi tanggung
sebentar lagi.
Tisu mengamatinya. Santai saja sedari jauh. Tak bereaksi kecuali hanya
mengamati. Tak hanya asbak yang diamatinya. Tapi juga gelas yang mengandung kopi
setengah. Termos air yang isinya tandas. Kue bolu dan kaleng bekas susu tujuh
kurma.
Apa itu gambaran sempurna dari
lebaran?
Di depan rumah orang-orang banyak
hawu menyala. Ada yang sedang memasak air. Ada yang sedang merebus
sayur-sayuran. Ada yang sedang memasak berbagai camilan. Asap membubung ke
udara. Bercampur panas matahari yang perlahan menyengat. Untung saja banyak
pohon ditanam di depan rumah. Lumayanlah efeknya agak bisa dikurangi. Tidak
panas tapi teduh masih jauh.
Di kursi depan rumah. Orang-orang
berkumpul. Sembari menyesap teh atau kopi. Sambil menghisap rokok kalau yang
nongkrong bapak-bapak atau seorang pemuda. Nyaris rata. Mereka semua pasti
merokok sigaret kretek tangan. Bapak-bapak dan pemuda masa kini memanglah
produk sigaret kretek tangan masa lalu. Pikirannya tak bisa ubah. Tak mungkin
berubah hanya karena digoda sigaret kretek mesin abal-abal harga dua belas ribu
sebungkus.
Anak-anak meledakkan petasan di
sana-sini. Di depan rumahnya. Di pinggir selokan. Di lempar ke tempat sampah.
Di antara tumpukan batu bata atau kayu bakar. Di sela-sela keramaian. Membikin
suasana semakin tegang tapi sekaligus meriah. Mereka berlarian ke sana ke mari.
Saling kejar bersama kawan-kawannya. Saling menuduh menyalahkan jika ketahuan
orang dewasa. Saling memaki kalau di antara dari mereka ada yang menangis. Tapi
itu biasa. Tak sampai beberapa menit dan mereka sudah akur kembali. Klasik.
Aku yang diam. Menyaksikan semuanya.
Memikirkan segalanya. Perasaan apa ini? Apa suasana semacam ini akan terasa
juga di surga? Tentu saja kalau aku masuk surga. Kehangatan ini. Apa hanya di
sini? Apa hanya di tempat ini? Apa di kota-kota juga begini?
Oh, kawan-kawan yang sudah pada
menikah. Mereka sibuk berkunjung ke rumah mertua. Lakinya menjinjing makanan.
Bininya menggendong anak pertama. Tampak semringah walau sepertinya ingin
segera lebaran berakhir. Duit di dompet sudah menipis. Astaga! Masih banyak
saudara belum dikasih angpau. Kalau kalian bertanya, tentu saja aku iri. Iri
sekali malah. Tapi aku masih tak punya nyali buat menyebrang ke sana. Bukannya
surut, arus di hadapanku malah semakin tinggi dan deras. Mungkin aku cuma butuh
nyali. Mungkin hanya nyali satu-satunya. Tapi sering juga aku membela diri. Kalau
kawan-kawanku bisa, kenapa harus aku?
Bisa dikatakan itu tindakan cermat.
Atau juga bentuk kehati-hatian. Tapi yang pasti, tindakan itu adalah tindakan
seorang pengecut.
Allahu akbar walillahil hamd.
Komentar
Posting Komentar