Lailatul Kopdar

 

Haji Ahmadun masih rajin saja itikaf di masjid. Masih istiqomah. Masih getol. Saat ditanya kenapa, “Jibiril dan ribuan malaikat masih belum datang, Jang!” jawabnya.

Di masjid tindak-tanduknya memanglah jempolan. Setiap malam sehabis tarawih selepas menenggak bergelas-gelas teh tawar dan mengunyah berjuz-juz al-qur’an, Haji Ahmadun sigap membereskan membersihkan masjid. Piring-piring bekas jajabur dicuci dibereskan dirapikan ditata rapi di tempat penyimpanan piring. Gelas-gelas bekas berliter-liter teh tawar dicuci dibereskan dirapikan ditata rapi di tempat penyimpanan gelas. Sampah plastik, daun pisang, sedotan, dibererskan dibuang dibakar di tempat sampah. Karpet disapu dari debu. Lantai dipel dari kotoran.

Kalau sudah beres Haji Ahmadun pulang ke rumah sebentar. Biasanya jam sembilan. Guna menunaikan kewajiban di ranjang. Jika tidak begitu, semalaman kepalanya akan migrain dan bawaannya selalu rungsing. Sejam berlalu dan ia kembali suci. Mandi besar tuntas.

Haji Ahmadun kembali ke masjid. Dengan menjinjing termos kopi di tangannya. Tasbih Mekah dikalungkannya di leher. Sorban Madinah melilit pinggangnya. Peci Bagdad lekat di kepalanya. Tak lupa baju hangat impor yang dibelinya di Pasar Gede Bage.

Masjid tentu tak pernah sepi dari pemburu lailatul kodar. Masing-masing dari mereka sama seperti Haji Ahmadun. Membawa bekal terbaiknya. Mempersiapakan senjata tempur tercanggihnya. Seperti Quran Cordova atau Gamis Pakistan. Sudah begitu, mereka akan memasang perangkap di masjid dengan salat-salat sunnah, zikir, dan mengaji. Lailatul kodar memang sulit dijerat, tapi bukannya tak mungkin.

Malam ini malam keduapuluh sembilan. Dan orang-orang resah. Karena yang hendak diburu tak juga tampak batang hidungnya. Sepuluh hari terakhir cuaca hujan melulu. Persis pada setiap malam ganjil. Orang-orang cemas karena apa yang menjadi buruan mereka dikatakan hanya datang pada malam-malam ganjil dalam cuaca cerah. Astagfirullah! Masa hewan buruan mereka tak menemukan jalannya ke masjid?

Den Oop resah.

Ustad Ujang cemas.

Haji Ahmadun khawatir.

Bagaimana ini saudara-saudara?

BBM saja selalu ingat naik; masa Jibril lupa turun?

Melingkarlah Den Oop, Ustad Ujang, dan Haji Ahmadun di teras. Hendak membahas kemungkinan lailatul kodar nyasar. Di hadapan mereka melingkar juga termos-termos berisi kopi. Berbungkus-bungkus sigaret kretek tangan. Berpiring-piring bala-bala dan pisang goreng sisa jajabur.

Den Oop memulai. Padahal abdi sudah memasok banyak makanan ke ini masjid. Setiap janari menjelang sahur, makanan tak pernah kurang. Bikin orang-orang kenyang dan ingin datang serta betah diam di masjid. Apa yang kurang, ia menggeleng tak tahu.

Ustad Ujang selanjutnya. Meski sama cemas, tapi ia mencoba menghibur kedua sahabatnya terutama dirinya dengan beberapa firman Allah. Kalem saja, katanya. Allah itu Maha Tahu keinginan dan kebutuhan hambanya. Lailatul kodar pasti datang. Dia pasti merapat. Tak mungkin tidak.

Haji Ahmadun kemudian. Semoga dan mudah-mudahan lailatul kodar memang datang. Kalau tidak, percuma saja sudah sepuluh hari getol diam itikaf di masjid. Aduh, sudah begitu sering masuk angin. Sudah habis berapa pak itu tolak angin.

Ketiganya duduk di teras sampai waktu sahur tiba. Mengisap berbungkus-bungkus sigaret kretek tangan. Menyeruput bergelas-gelas kopi hitam. Menghabiskan berpiring-piring sisa jajabur. Membicarakan lailatul kodar yang masih belum datang. Sedangkan di atas menara masjid Jibril geleng-geleng kepala mengamati tingkah ketiganya.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...