Resi

 

Kecuali jika aku mati barangkali mimpi-mimpi tentang dia barulah benar-benar mati. Meski sebenarnya aku pun masih meragukannya.

Diam-diam dia menyelinap ke dalam tidur yang dingin. Perlahan tubuhku yang dibebat selimut ditanggalkannya satu per satu. Aku telanjang akhirnya. Dan sunyi memasukiku sebagai angin kesepian. Bagaimanapun aku tak berontak. Malah sejujurnya tak menggerakan sedikit pun tubuhku. Aku hanya diam menikmatinya. Menikmati siksaan itu lagi. Menerima segalanya hingga selesai.

Aku datang ke sebuah rumah. Menemukan seorang nenek tengah terkapar seperti sekarat. Ternyata nenek itu bukan seperti sekarat, tapi memang benar-benar sedang sekarat. Setelah kutanya pada si pemilik rumah, ternyata si nenek sekarat akibat suatu penyakit. Aku pun tak tahu persis penyakitnya itu. Penjelasan dari si pemilik rumah tak begitu aku mengerti.

Aku tak sendiri datang ke situ. Ada seseorang menemaniku yang aku lupa siapa. Mungkin kawan dekat dari masa depan? Atau keluarga yang kebetulan menjenguk dari masa lalu? Siapa yang tahu.

Lama aku berdiam di sana dan si nenek tampak semakin mengkhawatirkan. Tubuhnya menggigil seperti kedinginan. Tapi aku yakin itu bukan karena udara yang dingin. Nafasnya berat dan mengorok. Terdengar seperti ada yang mengganjal di tenggorokan atau hidungnya. Si nenek yang hanya dibalut kain jarik tua terbaring menanti mati. Pikirku begitu.

Teman yang menyaksikan si nenek bersamaku membisikan sesuatu ke telinga. Oh ya, benar juga apa katamu, kataku kepadanya. Aku lantas mencoba rencananya dengan memanggil dia. Dia yang kemudian keluar dari rumah, datang mendekatiku, parasnya ayu dengan hanya mengenakan kemben, kulitnya rada sedikit berkeringat seperti dia telah melakukan suatu kegiatan di dapur.

“Aduh! Dia kok betulan cantik,” pekik temanku.

Dia hanya tersenyum. Senyumnya sedikit dan sederhana saja. Namun alam dunia seperti tak kuat menghadapinya.

Aku tanyakan padanya apa dia menguasai seni memijat.

Dia hanya menjawab lagi-lagi dengan senyuman. Tapi kali ini senyumnya menyiratkan kata-kata. Aku menangkap senyumnya sebagai kalimat, “Aku ini keturunan langsung dari Aphrodite. Memijat hanya satu keahlian dari banyaknya yang aku kuasai.”

“Punten,” aku meminta maaf sopan.

Dia mengangguk mafhum memaklumi keteledoranku.

Kemudian kuceritakan padanya tentang si nenek yang terbaring lemah di dalam rumah. Lemahnya tak begitu jadi masalah. Yang jadi soal, si nenek sedang sekarat. Dan aku pikir, satu-satunya cara yang patut dicoba untuk menyelamatkannya adalah dengan memijatnya. Pernah kubaca di suatu buku yang aku lupa judul dan penulisnya siapa, dikatakan begitu. Jika ada seorang tengah sekarat, maka satu-satunya cara yang boleh dicoba adalah dengan memijatnya.

Dia tersenyum, mengangguk. Seolah telah mengetahui apa yang kuceritakan dan tak perlu penjelasan lebih lanjut.

Dia pun segera masuk ke dalam rumah. Kami, aku dan temanku, hanya mengintip lewat jendela yang dibiarkan terbuka. Kalau masuk ke dalam, takutnya kami hanya akan jadi gangguan.

Dia cekatan dan terampil. Si nenek yang tadinya berbaring dibuat tengkurap. Kait tali kutangnya dilepas supaya tak mengganggu jalur jari-jarinya. Dia memulai pijatannya dengan meludahi punggung si nenek beberapa kali sampai dirasanya licin. Mulailah dia menggerakan jari-jarinya yang indah itu. Menelusuri punggung si nenek. Naik-turun, kiri-kanan, berputar-putar. Kembali lagi dengan urutan dibalik. Berputar-putar, kiri-kanan, naik-turun. Terus seperti itu sampai si nenek sendawa dengan keras mengeluarkan angin yang saking kencangnya membuat bara di dapur menjadi nyala api.

Dia tersenyum menatap si nenek.

“Nenek sudah sembuh. Setelah ini, nenek tak akan mudah mati.”

Si nenek senang tak kepalang. Tergesa mencoba mencium tangan si pemijatnya sebagai ucapan terima kasih yang buru-buru ditolak. Tanpa berkata tapi hanya melalui matanya dia berkata, "Tak perlu begitu."

Dia yang berparas ayu dan hanya mengenakan kemben tampak agung dan anggun. Masyaallah! Makhluk dari jenis apa dia ini? Kok sampai sebegitu indahnya.

Ketika kakiknya melangkahi ambang pintu aku mencegatnya.

“Namamu… bolehkah aku mengetahuinya?”

“Resi.”

“Sang pertapa?”

“Yang diam menetap dan bertapa di dalam hatimu.”

Dunia runtuh diganti subuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...