Malam yang Lain

 

Apa kamu sehat?

Baik-baik saja di sana?

Tak kurang suatu apa, kan?

Kamu pasti sudah tahu, gubernur yang dulu dipuji kini lebih sering dicaci. Bukan karena orang-orang sepaneng dan menjadi jahat. Tapi karena dia memang layak mendapatkannya. Aku pikir sudah hilang cergas dan bijaksananya. Dalam dirinya yang rentan, rawan, kini tertanam banyak ranjau jebakan. Banyak kere jadi korban. Banyak gembel dibuatnya makin susah. Banyak orang kecil dipaksa menelan janji-janjinya yang sepahit buah maja.

Aku tak munafik. Dulu sempat suka pada dirinya. Dengan legegnya yang luwes. Dengan pembawaannya yang seperti landak bisa masuk ke mana saja. Dengan kepiawaiannya membahagiakan orang-orang. Meski begitu, dulu aku sih suka menduga, sayang. Kalau di depan sana dia bakal jadi seperti kebanyakan politikus.

Walau rasanya sulit dibayangkan.

Karena dia yang muncul ke permukaan adalah dia yang saleh. Dia yang sayang emaknya. Dia yang garis keturunannya adalah penggede-penggede zaman baheula. Tapi di suatu titik aku tetap yakin. Meyakini kalau di depan sana dia bakal jadi politikus yang janji-janjinya pabalatak tak karuan. Ada yang nyangkut di pohon rambutan. Ada yang nyungseb di selokan. Ada yang palid dibawa sungai. Ada yang musnah ditelan kuasa. Terutama aku yakin dan meyakini kalau di depan sana ia bakal jadi politikus sekaligus pejabat bermental feodal yang gila hormat dan anti kritik. Apalagi setelah tahu kalau dia akhirnya nyemplung ke partai tai koneng, keyakinanku semakin menjadi. Tai belum kering dan kelakuannya sudah lebih cunihin daripada beruk.

Hari ini korbannya seorang guru.

Guru yang gajinya tak pernah lebih gede dari tukang parkir di tempat fotokopian.

Karena kamu calon guru, artinya calon manusia yang kelak akan hidup empot-empotan dengan penghasilan tak seberapa yang selalu dirundung galau takut duitmu kurang buat makan dan bayar listrik dan beli pisang sebagai pendamping asi anakmu, kamu perlu tahu ceritanya.

Ceritanya …

Sejujurnya aku pun tak tahu persis ceritanya.

Pokoknya kalau mau tahu rinciannya, baca saja di artikel-artikel daring. Seseorang sudah menuliskannya secara rinci berdasar kronologis dan musababnya.

Kalau kamu sudah membacanya, aku mau berkata begini padamu.

Jadi guru memang profesi yang aneh. Benar, sayang. Guru sudah jadi sebuah profesi, sama seperti nelayan dan tukang tambal ban. Guru bukan lagi orang keren, bukan lagi orang yang arif bijaksana, bukan lagi orang saleh yang di hatinya selalu bermekaran bunga-bunga indah. Kini, mau selacur apa pun hidupmu, kalau kamu mengajar di sekolah atau di pesantren, kamu akan disebut “guru”.

Jadi guru memang aneh. Negara membebankan rakyatnya untuk dibikin pintar dan cerdas kepadanya. Tapi kepadanya pula negara memberi penghargaan sekecil-kecilnya. Seminim-minimnya. Alakadarnya saja. Tak ada penghargaan lebih. Kalah jika dibandingkan dengan penghargaan negara kepada si Alun yang culun yang kerjanya saban hari menilep pajak orang-orang. Padahal katanya, nasib kemajuan bangsa dan negara ada di tangan mereka. Tapi nahas, hidup mereka tak pernah dibikin sejahtera. Dan malah selalu dibikin sulit.

Sudah sewajarnya tugas dan tanggung jawab besar dibayar pula dengan serius dan besar. Supaya dalam melaksanakan tugasnya itu, dia tak kepikiran buat kerja yang lain karena dompetnya selalu kering. Kalau hidupnya sudah sejahtera, dia bisa ngajar dengan serius, dengan sungguh-sungguh. Dengan kesungguhan seorang prajurit yang rela mati demi tanah airnya. Sial tak kepalang. Negeri ini memang teramat sakit sampai ke sumsum tulang paling belakang.

Aduh!

Aku malah ngalor-ngidul begini.

Maksudku, apa yang mau kukatakan padamu, boleh jadi guru tapi jangan nyaman dibuai slogan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Percayalah! Slogan itu hanya tai. Tak bisa dimakan kala perutmu lapar. Tak bisa dijual kala kantongmu sekarat. Slogan itu tak bisa mengganti nasi di piringmu.

Kalau kelak kamu jadi seorang guru, dan aku yakin kamu akan jadi salah satunya, jadilah guru yang keren yang tahu akan hak-hakmu. Telah kukatakan guru sudah jadi profesi. Berilah dirimu penghargaan yang layak. Jangan mau dikadali dinas pendidikan atau bahkan kementerian pendidikan yang dipimpin oleh seorang yang tak becus kerja. Apalagi mendengar kata-kata pak Menteri. Tak perlulah. Tak berguna juga. Dia hanya bisa cincong omong saja. Tak ada manfaat-manfaatnya.

Selalu, kamu harus selalu tahu apa hakmu. Apa yang harus kamu dapat, apa yang wajib menjadi milikmu. Yakni, upah yang layak. Upah yang manusiawi. Upah yang bisa membuat hidupmu sejahtera. Jangan mau dibayar murah dan apalagi direndahkan. Tukang tambal ban saja bisa mematok harga, masa kamu tidak? Tuntutlah itu pada negara. Tak apa dibilang berisik dan teruslah bersuara. Teruslah bikin bising itu kuping-kuping di Senayan sana. Kalau kamu sakti, misalnya, tak apalah sesekali teluh atau santet supaya mereka-mereka yang di Senayan itu muntah paku dan insyaf dan menyadari kesalahannya. Itu kalau kamu sakti. Kalau tidak tak apa. Tak perlu. Yang penting terus bersuara, biar berisik, bikin bising telinga-telinga mereka.

Tak usah jadi guru yang mengalah melulu. Soalnya, kamu perlu nasi biar otakmu tetap jalan. Kamu perlu gizi supaya tubuhmu tetap sehat, dan dengan begitu bisa terus mengajar anak-anak sekalian mendoktrin mereka. Ajari anak-anak supaya hidup jangan culas dengan rajin membiasakan buang sampah pada tempatnya. Doktrin anak-anak supaya tak cunihin seperti beruk. Supaya tak tebal muka seperti buaya. Supaya tak pandai nyabun seperti politikus. Kalau mau lebih ekstrim bilang begini pada anak-anak, “Kalian boleh jadi apa saja dalam hidup; petani, nelayan, musisi, penyair, atlit bulu tangkis, atau bahkan jadi pelacur sekalipun. Boleh jadi apa saja asal jangan jadi politikus!”

Ha-ha-ha. Tapi kupikir kamu akan takut mengatakan itu sih. Tak apa takut untuk selamat. Yang penting kamu harus berani untuk hidup sebagai manusia yang selalu memanusiakan manusia semanusia-manusianya.

Gusti… malah melantur begini.

Okelah.

Mudah-mudahan apa yang aku bilang ini bisa menyurup ke dalam sukmamu.

Teruslah bekerja.

Jangan berharap pada negara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...