Hujan Ingin

 


Astagfirullah. Akhir-akhir ini aku kenapa. Apa-apa malas. Ngajar malas. Keluar kamar malas. Ke mana-mana tak ada selera. Tenaga serasa disedot lintah. Tubuh lemas, pikiran rungsing terus, hanya tidur yang bisa jadi obat.

Apa ini karena sekarang musim hujan? Hmmm… saat orang-orang asyik berkembang biak dengan bini atau kekasih atau selingkuhannya, aku hanya terjebak di kamar bersama sekumpulan bujang-bujang lapuk. Bujang-bujang tipikal madesu yang entah maju tak kena mundur tak kena. Musim hujan memang menyenangkan buat berkembang biak. Hujan mengantarkan dingin dan dingin mengantarkan ingin. Ingin untuk kelon, ingin untuk bercumbu, ingin untuk kawin dengan pasangan. Ah, apa benar rasa kawin bersama orang terkasih memang senikmat sebagaimana sering difirmankan para pendosa?

Bukannya tak ingin. Kalau bisa sudah sejak dari lulus SMA aku menikah dan mengawini perempuan yang kucintai. Karena aku memang merasa, keinginan untuk bersetubuh sudah jauh tertanam dalam diriku sedari jauh-jauh hari. Bahkan mungkin dari sekolah menengah. Namun aku bukan orang yang kafir-kafir amat. Aku tahu sedikit karena ajenganku sering menasihati kalau kawin sebelum nikah itu haram, masuk dalam dosa besar. Itulah kenapa.

Kalau dipikir-pikir, sejujurnya kalau tak dipikir-pikir pun, kawin sepertinya memang mudah. Taruhlah kamu naksir perempuan, ungkapkan kamu mencintainya, dan dia menerimamu, dan kalian jadi pasangan kekasih, dan setelah beberapa kali jalan dan jajan bersama niscaya kalian sudah bisa kawin. Kalian bisa kawin di hotel, di kosan, di kamar mandi kontrakan teman atau meminjam kamar kosan kalian yang sedang pergi ke mana, atau bisa di hutan yang sepi saat sedang naik gunung, atau bisa juga di rindang pohon ketapang di atas pasir putih saat kalian berkemah bersama. Mudah saja dan mudah sekali. Kalian bisa kawin di mana saja. Tak ada orang yang akan peduli. Tak ada aturan yang akan menegur. Tak ada kitab suci yang akan melarang. Kawin ya tinggal kawin.

Kawin memang gampang, yang susah itu menikah. Eh sebentar, mula-mulanya sebenarnya menikah pun gampang. Kalian punya kekasih, kalian saling ingin menikahi yang artinya saling menginginkan hidup bersama sampai mati, dan orang tua kalian merestuinya tanpa banyak pertimbangan takut digosipkan tetangga atau peduli pada penilaian mereka, maka jadilah kalian akan menikah. Datang ke KUA, dengan pakaian biasa saja, dengan mahar yang kekasihmu telah meridhoinya (bisa jadi maharnya hanya surat Al-Ikhlas atau selawat kepada Nabi Muhammad), dan ketika rukun dan syaratnya telah terpenuhi, jadilah kalian menikah. Mudah saja sebetulnya. Tak perlu ada resepsi. Tak perlu menghabiskan sekarung uang demi menyumpal mulut tetangga. Tak perlu berdiri pegal menyalami orang-orang yang sebagian besar tak kalian kenal. Sederhana dan tak menguras energi.

Menikah tak lagi gampang entah sejak kapan. Aku tak tahu dan ogah mencari tahu. Aku tak tahu, tapi coba bayangkan sejenak. Nabi Adam nikah dengan Siti Hawa tak ribet. Nabi-nabi yang lain pun sepertinya sama. Eh, kalau Nabi Sulaiman sepertinya tidak sederhana-sederhana juga mungkin; masa, iya? Pokoknya anggap saja begini. Dari pertama kali manusia diciptakan, menikah itu suatu hal yang sederhana dan mudah. Entah dari zaman kapan, dan entah siapa yang memulainya kemudian menikah jadi rumit seperti sekarang. Barangkali hal itu yang bikin anak muda sekarang mudah mencelupkan kelamin kawin sana-sini berganti-ganti pasangan tapi berpikir semiliar tahun cahaya sebelum memutuskan buat menikah. Hadeh, ngeri anjing!

Itu juga yang membuatku sampai sekarang masih terjebak di kamar dengan sekumpulan bujang-bujang lapuk madesu yang entah tak ke kiri tak ke kanan. Itu juga yang membuatku sampai sekarang masih berpikir jutaan tahun cahaya sebelum memutuskan menikah. Banyak hal aku pikirkan. Kerjaan dan karir masih begini-begini saja. Gaji masih belum dua ratus digit. Tanah belum punya, rumah belum ada, mobil hanya sekadar angan-angan. Belum lagi orang tua belum diberangkatkan umroh atau haji. Belum lagi bangun pagi saja masih malas, salat subuh saja sering terlewat, untuk sekadar berjemur menghangatkan badan saja enggannya minta ampun. Ngurus rambut saja masih pusing, apalagi nanti harus ngurus anak dan istri? Bayar tagihan kuota dan beli bensin saja masih puyeng, apalagi nanti harus bayar tagihan air, listrik, BPJS, bayar biaya sekolah anak dan perintilan yang lainnya. Belum lagi anak minta jajan. Belum lagi istri minta dibelikan paket skincare andalannya. Belum lagi bayar cicilan motor. Belum lagi bayar utang ke teman-teman dan saudara. Belum lagi… Aduh, bagaimana ini! Ingin kawin tapi menikah rasanya mustahil.

Bismika allahumma ahya wa bismika amut.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...