Suatu Ketika Sebelum Dunia Bermula

 


Ketika Allah bertanya apa aku setuju dengan kesepakatan ini, aku tak lantas mengangguk dan menangis. Aku bilang padanya apa boleh, dan kalau mungkin, aku ingin meninjau segala sesuatunya serta ikut campur dalam menentukan hidupku di dunia kelak. Engkau memang Tuhanku. Satu-satunya. Tak ada yang lain. Aku hormat dan taat sepenuhnya padamu. Namun sejujurnya, aku pikir itu tak menjadikan kau berhak menentukan jalan hidupku sepenuhnya. Setidaknya biarkan aku ikut menentukan beberapa hal. Terutama perkara dengan siapa aku akan menghabiskan hidup serta bagaimana aku mati dan dikenang.

“Dan bukankah Kau maha pemurah?”

Allah tersenyum.

___

Aku ingin hidup sebagai seorang musisi. Sebagai vokalis sekaligus gitaris. Aku akan banyak menciptakan lagu-lagu resah, lagu-lagu indah, lagu-lagu yang akan mengubah jalannya kehidupan, lagu-lagu yang akan dibicarakan orang-orang selama ratusan tahun. Lagu-laguku akan didengar orang-orang di seluruh dunia. Orang-orang akan menggilainya. Orang-orang akan banyak terpengaruh olehnya. Banyak band meniru band yang aku bentuk. Banyak penyanyi mencoba meniru gayaku. Dan tak sedikit malah yang berusaha mati-matian untuk menjadi diriku.

Lagu-laguku akan banyak. Ratusan lagu akan memenuhi dunia yang sudah sesak. Puluhan album akan mengembara mengelilingi dunia. Melintasi batas-batas suku, batas-batas bahasa, batas-batas budaya, batas-batas agama, batas-batas negeri. Tak ada yang tak menyukai lagu-laguku. Kecuali mungkin mereka yang tak membuka hati. Pengaruhku tak sekadar di ruang musik, ternyata. Kemudian kiprahku di dunia musik akan melebar dan berkembang. Aku akan menjadi simbol kebebasan, simbol persatuan, simbol perdamaian. Bahkan salah satu laguku akan menjadi lagu wajib di organisasi persatuan bangsa-bangsa. Sebagaimana lagu-laguku, aku, diriku, pengaruhku, juga akan menembus dan melintasi berbagai batasan.

Aku akan terkenal. Aku akan dikenal karena pengaruhku buat peradaban. Orang-orang akan banyak menceritakan diriku. Orang-orang akan banyak menulis tentangku. Orang-orang ingin tahu segalanya tentangku. Dari A sampai Z. Semuanya. Serinci-rincinya. Sampai kemudian

            “Sebentar,” Allah memotong.

            “Kenapa?”

            “Kepanjangan. Kamu menginginkan kematian seperti apa?”

            “Jadi langsung saja?”

            “Lagi pula, kamu tak akan bisa mengatur hidupmu secara rinci.”

Baiklah kalau begitu. Aku akan terkenal. Aku akan dikenal karena pengaruhku buat peradaban. Orang-orang akan banyak menceritakan diriku. Orang-orang akan banyak menulis tentang diriku. Jadi, banyak dari mereka ingin mewawancarai diriku. Supaya punya bahan untuk menulis. Supaya punya uang untuk menyediakan makan bagi keluarganya.

Dari sana kematian mulai menguntit. Ketika aku berkata pada seorang jurnalis bahwa band bentukanku lebih terkenal daripada Jesus, daripada Nabi Isa, daripada Nabimu. Seorang pengikutnya tak terima, dan merencanakan membunuhku. Aku pun ditembak orang itu. Saat berjalan hendak pulang setelah selesai latihan.

“Hadeeeh. Aku kira akan seperti apa.”

“Loh, bagus bukan?”

“John Lennon.”

“Maksudnya?”

“Aku sudah menulis kisah itu buat orang bernama John Lennon.”

“Seriusan?” Padahal kupikir kisahku sudah keren. Sudah unik. Tak ada yang menyerupainya.

            “Apa tak bisa ada dua orang di dunia yang kisahnya sama?”

            “Kamu pikir aku kurang kreatif?”

Astaga. Benar juga apa yang dikatakan Allah. Kalau ia maha segalanya, berarti ia juga maha kreatif. Hmmm. Sebentar …

      “Aku tak mati ditembak karena orang salah mengerti omonganku. Tapi aku mati karena keinginanku. Aku mati di usia muda dengan menembak kepalaku sendiri. Bagaimana, keren tidak? Lebih puitis kan?”

            “Kurt Cobain.”

Ternyata aku masih kurang cepat.

“Aku mati karena kanker yang berawal dari infeksi di bawah kuku kakiku saat sedang cedera karena main bola.”

“Bob Marley.”

Sialan.

“Kalau begitu aku mati karena HIV.”

“Freddie Mercury.”

Aduh!

Mengapa bisa-bisanya Allah selalu beberapa langkah di depanku. Aku ini manusia. Makhluk yang diciptakannya sempurna dibanding makhluk lainnya. Dikarunia otak dan insting bertahan hidup yang ampun tak ada banding. Malah katanya, manusia-manusia yang sudah lebih dulu ke dunia sudah ada yang berhasil tinggal di Mars. Sialan! Masa aku tak bisa memilih sendiri kematianku? Ini keterlaluan.

            “Aku mati karena gantung diri.”

            “Chester Bennington.”

            “Aku mati karena kecelakaan mobil.”

            “Nike Ardilla.”

            “Aku mati karena sakit keras.”

            “Mukti Mukti.”

            “Dia musisi juga?”

            “Dasar jamet! Dia musisi balada Bandung.”

            Ya maaf, aku kan tak tahu. Hmmm …

            “Ya sudah. Ini yang terakhir. Aku mati kena serangan jantung?”

            “Eben Burgerkill.”

            Aku menepuk jidat. Allah tertawa puas.

___

Ternyata Allah memang sulit dikalahkan. Ia memang tak bisa dikalahkan. Sebenarnya aku juga tak berniat mengalahkannya. Aku tahu ia maha segalanya, yang berarti ia maha tak bisa dikalahkan atau didebat atau digugat. Tadinya aku hanya penasaran saja apa aku bisa menulis kisah hidupku sendiri. Aku tahu aku ini makhluk ciptaannya. Sebagai hasil ciptaan tentu saja aku tak bisa melawan penciptaku. Eh, apa bisa ya?  Apa aku saja yang kurang berusaha? Wallahu’alam.

            “Jadi, aku akan mati sebagai guru?”

            “Juga sebagai PNS.”

            “Aku akan mati sebagai guru PNS?”

            “Betul!”

            “Di kampung?”

            “Yup!”

            “Dan menjalankan hidup yang begitu-begitu saja?”

            “Tidak salah lagi.”

Aku lantas mengangguk dan menangis. Sekencang-kencangnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...