Rindu dalam Selembar Tisu

 


Banyak hal tak bisa dijelaskan. Alangkah baiknya memang tak perlu dijelaskan. Hal-hal semacam itu hanya perlu direnungkan. Karena sejauh dan sedalam apa pun kau mencari dan menggali, akhirnya akan sia-sia. Kau hanya akan menemukan lubang menganga. Kau hanya akan menjumpai kekosongan. Kau hanya akan membuang waktumu yang sedikit itu.

Kamarmu redup, kau berbaring menonton hidupmu yang diputar di dinding lembab penuh sawang dan retakan bekas gempa serta poster klub sepak bola kecintaanmu. Kau berbaring dengan bantal menyangga kepalamu. Tanganmu memainkan memutar-mutar rokok. Kau tak mengenakan apa pun kecuali celana dalam yang baru dibeli seminggu yang lalu. Entah siapa lagi yang ikut menonton bersamamu malam itu. Yang pasti kau tak merasa sendirian.

Kau menonton hidupmu diputar di dinding kamarmu yang lembab dan penuh sawang serta retakan bekas gempa. Di sana kau sedang berbincang dengan seseorang. Seorang perempuan jelita. Berparas aduhai. Hidungnya semancung janji, matanya setajam pengkhianatan, rambutnya sepanjang kehidupan; lurus dan berliku. Perempuan jelita yang sedang bercakap denganmu usianya lima tahun. Sedang lucu-lucunya. Sedang cantik-cantiknya. Sedang manja-manjanya. Kau dan perempuan itu begitu mesra. Seperti sepasang kekasih yang tengah mencurahkan rindunya.

___

Bagaimanapun kau dan perempuan itu bukan sepasang kekasih. Kau memang teramat mengenalnya, teramat akrab dengannya. Malah, kau telah mengenal perempuan itu sejak ia masih berbaring di dalam rahim. Kau telah akrab dengan perempuan itu sejak ia masih hidup di dalam kandungan. Kau dan perempuan itu bukan sepasang kekasih. Tapi kau tahu kau begitu mencintainya. Dan kau tahu ia juga begitu mencintaimu. Kau dan perempuan itu tahu kalau kalian saling mencintai. Meski tak pernah bertemu sejak hari itu, dan sesekali hanya saling berkunjung ke dalam mimpi, kau dan perempuan itu tahu kalau kalian saling mencintai, saling merindukan, saling menginginkan bertemu dan berkumpul dan berbincang bersama. Di dinding kamarmu yang lembab yang penuh sawang dan retakan bekas gempa kau dan perempuan itu berbincang.

“Papa, kenapa tak pernah menengok Jani? Umur Jani sekarang lima tahun, dan Papa tak pernah menengok Jani sekali pun. Jani sudah masuk PAUD kalau Papa ingin tahu. Om Jibril yang mengajar Jani di sana.”

Kau ingin menjawab tapi tak bisa. Bibirmu bergetar hebat, lidahmu kelu, tubuhmu dikepung keringat. Air matamu … tak ada bendungan yang sanggup menampungnya.

Segala perbuatan dan kesalahan yang pernah kau lakukan memenuhi pandanganmu. Tak peduli memandang ke mana dan kau akan melihat segala perbuatan dan kesalahan yang pernah kau lakukan. Kau melihat dirimu sedang berendam dalam hangatnya dosa. Kau melihat dirimu sedang berpelukan mesra dengan iblis. Kau melihat dirimu sedang menari gembira tertawa bersama birahi. Kau melihat dirimu sedang bermufakat mendebat nasib dan takdir. Kau melihat segalanya. Kau melihat segalanya secara jelas. Bagai peristiwa itu hidup kekal dalam dirimu. Bagai peristiwa itu baru terjadi kemarin sore.

“Papa! Papa juga sudah melewatkan ulang tahun Jani empat kali. EMPAT KALI! Jangankan datang. Mengucapkan selamat apalagi memberi hadiah pun tak pernah! Papa ke mana saja?”

Banyak hal tak bisa dijelaskan. Alangkah baiknya memang tak perlu dijelaskan. Hal-hal semacam …

“Papa! Sebentar lagi tahun berganti. Sebentar lagi tahun baru. Papa tak lupa kan? Kalau kita pernah menghabiskan malam tahun baru bersama di balkon dekat jemuran. Mendengar sorak sorai orang-orang. Mendengar bunyi terompet yang menggetarkan. Menyaksikan kembang api melukis malam. Malam itu Papa memeluk Jani. Mencium Jani. Membacakan ayat-ayat cinta. Papa, Jani ingin mengulangi semua itu! Mau ya? Mau kan, Papa?”

Banyak hal tak bisa dijelaskan. Alangkah baiknya memang tak perlu dijelaskan. Hal-hal semacam itu hanya perlu direnungkan. Karena sejauh dan sedalam apa pun kau mencari dan menggali …

“Papa! Jani tak mau tahu. Pokoknya di ulang tahun Jani yang keenam Papa harus datang. Papa harus menengok. Papa harus menjenguk Jani. Tidakkah Papa rindu Jani? Rindu anak perempuan papa yang jelita ini? Urusan ongkos tak usah Papa pikir. Nanti biar Jani minta Om Jibril menjemput Papa. Lagian Om Jibril baik. Suka traktir Jani, menjajani Jani. Kadang sehabis gajian Om Jibril juga tak segan mengajak Jani jalan-jalan naik mega mendung dari senja ke senja. Tapi Jani bosan, Pa! Bosan! Om Jibril memang baik, tapi Jani ingin melakukan semuanya bareng Papa. Jani ingin menghabiskan waktu berdua bersama Papa. Hanya Papa. Papaku tercinta.”

Kau berbaring menonton hidupmu diputar di dinding kamarmu yang lembab yang penuh sawang dan retakan bekas gempa serta poster klub …

“Papa! Papa janji kan tahun depan bakal datang, menjenguk Jani, menengok Jani? Janji, ya? Ya, Pa? Papa harus berjanji! Jangan banyak alasan. Jani tak butuh alasan. Jani hanya butuh Papa datang, menjenguk, menengok. Kalau tak punya uang tak mengapa tak perlu bawa hadiah. Yang penting Papa datang, menjenguk, menengok. Begitu pun Jani sudah senang. Lebih dari senang. Ya, Pa? Janji?”

Banyak hal tak bisa dijelaskan. Alangkah baiknya memang tak perlu dijelaskan. Hal-hal semacam itu hanya perlu direnungkan. Karena sejauh dan sedalam apa pun kau mencari dan menggali, akhirnya akan sia-sia. Kau hanya akan menemukan lubang menganga. Kau hanya akan menjumpai kekosongan …

___

Kau tak segera beranjak. Bergerak pun tidak. Tubuhmu dibekap pengap, dimangsa nyamuk. Tubuhmu mulai basah. Tubuhmu mulai bergetar, dan bergetar semakin hebat. Di puncak kesedihanmu kau mengejang, mengambil tisu, mengelap segala sesal seolah hal itu biasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...