Ruang No. 65
Pertemuan
demi pertemuan. Akan ke mana bakal bukan soal. Harapan tentu ada. Bukan karena
aku orang beriman, tapi sejauh bayanganku yang dekat, manusia nyatanya hanya
bisa hidup dari harapan. Di sepanjang hidupnya yang pendek, manusia hanya bisa berharap.
Kubelai
rambutmu yang hitam, yang lembut, yang memesona. Aku menatap diriku di
kedalaman sana. Sedang meliuk menapaki jalan setapak bekas kutu. Ketombe dan
kulit kepala kering sebagaimana harapan kadang memang jadi penghambat.
Untungnya, melalui orang-orang cerdas di bumi, Tuhan menciptakan sampo anti
ketombe dan kulit kepala kering. Hambatan bisa diurai dan perjalanan bisa terus
berlanjut.
Rambutmu
lebat tapi tak jadi penghalang. Aku nyaman berada di sana. Aku nyaman bisa
berkelana ke sana ke mari seraya menanti angkot. Mengunjungi bekas
mimpi-mimpimu. Menziarahi ingatan-ingatanmu. Aku merasa kosong. Aku mencapai
suwung. Aku pun mendapati segala luka-lukamu. Menemaninya, memelukinya,
menciuminya. Mereka ringkih tapi terasa hendak lekas sembuh. Ada cerita di
setiap luka. Ada derita di setiap luka.
Dengan
doa-doa kubalut lukamu. Aku menyanyikan segala lagu kebahagiaan sebagai obat.
Aku membacakan segala puisi kesedihan sebagai manfaat. Dan kamu mengerang
membuang nafas. Tanganmu mencari pinggangku. Mencengkeramnya erat bagai ular
sanca.
Aku
melangkah kembali. Menuruni keningnmu, beristirahat di sela-sela alismu,
berteduh di kelopak matamu, sebelum akhirnya menceburkan diri ke dalam bening
matamu. Segar rasanya. Selain dibasuh bening air matamu, aku juga merasa
dibasuh kasih sayangmu. Segala lelah sirna. Segala penat tiada. Segala pegal lenyap.
Di
dasar matamu, di sela-sela karang dan bebatuan, hidup beraneka ragam mimpi dan
harapan. Ada juga cita-cita, walau tampak malu-malu, tapi berenang dengan luwesnya.
Mereka barangkali sering tersesat di kedalaman sana. Namun bukan berarti tak
kenal jalan pulang. Mereka memang sengaja tersesat, untuk mencari jalan-jalan
baru, supaya mengenal kemungkinan-kemungkinan anyar.
Hidup
mimpi-mimpi dan harapan di dasar matamu tak selalu tenang, memang. Ada kalanya
mereka ditelan bulat-bulat oleh khawatir. Dimangsa ketakutan dan
ketidakpercayaan diri. Banyak mimpi dan harapan mati muda. Tergeletak membangkai
di rerumputan berlumut. Berserakan terbelit tanaman merambat. Kenyataan memang
mengerikan. Hanya saja itu bukanlah alasan untuk menyerah. Itu hanyalah tanda bahwa
mimpi dan harapan akan terlahir kembali. Berlipat ganda.
Aku
melanjutkan perjalananku. Menjejaki wilayah wajahmu yang lain. Kutemukanlah bibirmu
yang merona, yang menyala-nyala. Pada bibirmu itu aku berikrar, aku akan
tinggal dan menetap dan membangun segalanya di sana. Aku hanyut ke dalam
bibirmu. Kita berdua menjadi padu. Kita berdua ibarat madu; manis, kental, dan sulit
mencair.
Ketika
waktunya tiba, aku akan menantimu di lapisan langit kesatu. Duduk di atas mega sambil
merokok dan berbincang santai bersama Jibril. Aku menduga Hanuman bakal turut datang.
Jadi mungkin, nanti di atas mega aku akan merokok dan berbincang santai bersama
Jibril dan Hanuman.
Di
sela-sela obrolan, akan kuselipkan beberapa permintaan. Aku akan menjebak
Jibril supaya membawa seribu malaikat pengiringnya untuk datang dan membacakan
puisi di pernikahan kita. Begitu pun pada Hanuman. Aku akan mengerjainya supaya
ia dan Trijata mau memainkan kecapi suling di pernikahan kita saat prosesi
sungkeman. Tambahan ekstra: kepada Hanuman aku akan meminta ia membawa pasukan
wanaranya dari Gunung Kendalisada untuk bermain gamelan.
Segeralah
diwisuda. Sebab aku teramat bosan
jika harus terus-terusan mengobrol dengan Jibril dan
Hanuman.
Komentar
Posting Komentar