Bebal
Bersila di atas mega. Di
hadapanku terbentang kehidupan, di depan sana, sebagai bayangan menari-nari.
Bahwa penghulu yang kelak akan membantu menikahkan kita, sedang memberikan
mukadimah perkara pernikahan di bawah pohon angel
oak. Kita pun duduk di sana tapi tidak di atas kursi. Melainkan di buntalan
mimpi-mimpi.
Di samping kiri, telah bersiap
para penabuh gamelan. Dipimpin tentu saja oleh siapa lagi kalau bukan Hanuman.
Para nayaga walau tampak santai
merokok tapi sesungguhnya mereka orang-orang cekatan. Ada setiap diperlukan.
Berguna pada momen-momen krusial. Misalnya saat aku telah selesai mengucap
ijab, si penabuh akan memukul gong berusia seribu tahun yang suara dan
getarannya akan menggema mengguncang setiap tamu yang hadir. Atau saat sungkem meminta ampun pada orang tua
kita, si pemain kecapi dan suling akan memainkan jari-jarinya yang lentur tapi
mematikan itu untuk menyayat setiap perasaan tamu yang hadir.
Di samping kanan, telah bersiap
para malaikat. Dipimpin tentu saja oleh siapa lagi kalau bukan Jibril. Para
malaikat walau tampak serius tapi sesungguhnya mereka makhluk-makhluk yang rentan.
Akan meneteskan air mata kala mendengar ikrar pernikahan. Akan menangis haru
saat melihat kita berdua sungkem di pangkuan orang tua. Tentu bukan tanpa
alasan para malaikat yang hampir seribu jumlahnya berdiri di sana. Jibril
bertugas membacakan ayat-ayat suci tentang pernikahan dan kehidupan rumah
tangga. Sedangkan para pengiringnya yang hampir seribu jumlahnya masing-masing
akan membacakan puisi-puisi cinta.
Di hadapan kita, berkumpul–
“Bangun, keparat!”
___
Sebenarnya, apa yang kamu
inginkan?
Di dunia orang dewasa, kamu tak
bisa maju-mundur dalam memutuskan. Kamu tak boleh hari ini bilang begini dan
kali lain bilang begitu. Kamu harus benar-benar bisa menjaga ucapanmu dan
terutama janjimu. Kalau tak pandai menjaganya, kamu akan kehilangan sesuatu
paling berarti; kepercayaan.
Di dunia orang dewasa, kamu tak
boleh ragu. Kamu harus berani memutuskan sesuatu tanpa mencla-mencle. Kamu bilang
begini lakukan begini. Kamu bilang begitu lakukan begitu. Konsisten dengan
keputusanmu, dan selalu pertimbangkan konsekuensi kalau kamu ingin
melanggarnya.
Kini kamu mulai menetas dan
tumbuh. Mulai berkenalan dengan dunia sesungguhnya, dan harus banyak belajar
darinya. Kamu tentu akan banyak berbuat salah. Tapi tak apa, wajar adanya. Kalau
berbuat salah, belajarlah darinya supaya kelak tak begitu lagi. Kalau kamu tak
pernah belajar dari kesalahan dan terlalu naif untuk melakukannya lagi, kamu
hanya akan menjadi manusia tanpa nilai, tanpa rasa, manusia paling angkuh dan
egois.
Di dunia orang dewasa, kamu tak
bisa hanya mementingkan dirimu sendiri. Kamu tak boleh berbuat seenak jidat
tanpa pernah memikirkan akibat dari apa yang dilakukan. Belajarlah membaca
dengan baik. Dari segala buku, dari segala masalah, dari segala keadaan. Belajarlah
mengolah rasa. Belajarlah mengolah peka. Kalau lulus dari itu semua, barangkali
kamu akan menemukan alasan untuk bertahan hidup.
Sesudah menetas dan tumbuh,
kamu harus menanggung segalanya sendiri. Menanggung harapan, menanggung
masalah, dan menanggung segala akibat. Tak ada yang akan membantumu. Karena
setiap orang punya tanggungannya sendiri. Kamu tak bisa selalu bergantung pada
orang lain. Celaka jadinya kalau kamu hanya bisa tergantung. Kamu akan mudah
dikalahkan harapan, akan mudah dilukai masalah, akan mudah dibunuh oleh segala
akibat.
Di dunia orang dewasa, kamu tak
boleh jadi pengecut yang doyan sembunyi di balik keluguan. Kalau salah akui
salah, perbaiki. Kalau gagal akui gagal, bangkit lagi. Kalau sedih akui sedih,
mekarlah kembali. Kalau kamu selalu sembunyi di balik keluguan, di balik
alasan, di balik sandiwara murahan, maka kamu hanya perlu menunggu kehancuran
memelukmu.
Dan terutama di dunia orang
dewasa, pandai-pandailah menggunakan otak dan hati. Sebab kalau tak pandai, apa
bedanya kamu dengan daun yang hanya pasrah diterbangkan angin?
___
Bulan benderang di sepanjang malam. Ataukah itu cahaya
matamu yang berkilauan? Aku menatap ke luar jendela. Hening menyelimuti mimpi.
Dingin merangkak menyapu kulit. Gelap menghampar ke dalam resah.
Mimpi tadi malam adalah mimpiku sejak dua ratus tahun
yang lalu. Aku seperti hidup dan terlahir sebagai orang yang berbeda. Ada malam
di dalam malam. Ada dingin di sela-sela dingin. Ada kamu di reruntuhan dirimu.
Ada semesta di balik semesta.
Kau datang. Menyulut rindu yang selama ini padam.
Menuangkan genitmu ke sanubariku. Aku merasa hangat. Kehangatan yang sudah
biasa kucecap. Kehangatan yang teramat kukenal. Dengan cara apa aku harus
membalas segala kebaikanmu?
Bulan yang hilang datang lagi ke atas pangkuan.
Mengucapkan selamat malam pada luka yang tak kunjung kering. Tubuhmu menggarami
luka. Dua ratus tahun serasa kemarin saja.
___
Apa boleh, kalau bisa, dan memungkinkan, itu pun jika
ibumu tak marah, dan kamu tak keberatan, dan kebetulan waktunya tepat, aku
mencium kenangan yang tengah terbaring lelap di keningmu? Aku ingin
melakukannya. Sungguh aku ingin. Aku ingin melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Menciumi kenangan yang tengah terbaring lelap itu.
Komentar
Posting Komentar