Hujan dalam Catatan

 


HARI INI JUMAT. Setahun sudah. Di sini mendung, hujan turun malu-malu. Matahari menyusul kemudian. Seperti menegur langit yang ragu-ragu.

Aku duduk. Merenungkan perjalanan yang telah kita lalui bersama dalam pusaran waktu. Waktu yang panjang. Waktu yang lentur. Waktu yang menjadi medan perang. Apa kita bisa menang dari kekeraskepalaan dan rasa curiga?

Setahun bukan waktu yang pendek untuk masa menyesuaikan. Segala hal harus kita sesuaikan. Pikiran, harapan, dan mimpi-mimpi. Hidup di depan bukanlah surga, melainkan dunia yang harus kita menangkan. Dan tak ada jalan lain untuk merebutnya selain daripada terus berusaha dan belajar. Begitu pula setahun, bukan waktu yang panjang untuk mengarungi kisah cinta kita. Untuk mengurai seluruh usia dengan cinta, kasih sayang, dan perhatian, setahun masihlah belum apa-apa. Untuk memahami cinta, kita harus menyerahkan seluruh usia pada keyakinan.

Aku … maafkan jika sejauh ini sering membuatmu jengkel. Maafkan jika sesekali aku berubah kasar dan bisa tiba-tiba marah. Sungguh aku tak ingin begitu. Aku ingin mencintaimu sebagaimana para petani mencintai tanamannya. Selalu merawatnya dengan penuh cinta, kasih sayang, dan perhatian. Selalu sabar dalam segala cuaca. Dan selalu tak pernah kehilangan harapan untuk tumbuh, dan berbunga, dan berbuah. Sebelum akhirnya hasil dari perjuangan dan pengorbanan bisa dirasakannya sembari tersenyum menghadap Tuhan. Maafkan jika aku belum bisa seperti itu.

Aku tentu jauh dari kata sempurna. Apalagi jika tidak bersamamu. Bagiku, kamu lebih dari sekadar perempuan yang aku cintai dan sayangi. Kamu adalah perempuan yang membuatku merasa lengkap. Apalah arti hidup ini jika aku tak bisa hidup dalam keadaan utuh? Kamulah yang menutup segala kekuranganku. Kamulah yang mengisi segala lubang kosong dalam tubuh ini. Kamulah yang membalut segala luka dalam pikiran dan hati ini. Tetaplah bersamaku. Tetaplah temani aku yang ringkih.

Aku akui setahun ini tidaklah mudah. Hanya saja bagaimanapun, akhirnya kita berhasil sampai sejauh ini. Dan kita harus terus melangkah ke depan. Menapaki sisa-sisa usia bersama. Mengukir mimpi-mimpi bersama. Mewujudkan doa-doa kita bersama.


SORE ITU JIBRIL SEDANG MENGGEMBALA MEGA-MEGA DI SEBELAH TIMUR. Tak begitu jauh dari barat, tempatku menetap. Aku curiga ia agak gegabah, dan membiarkan mega-mega merumput sembarangan. Hujan adalah buktinya. Untungnya Hanuman cekatan. Kalau saja ia tak menganyam langit dengan apik, besar kemungkinan kita akan basah kuyup. Berkat inisiatif dan kecekatannya, sore itu dunia yang kerap kita takutkan serupa surga dalam dongeng orang-orang saleh.

Setelah membayar sebotol minum, aku duduk di bangku. Menunggu kamu muncul di depan gerbang. Jalan di hadapanku ramai lancar. Sesekali memang ada saja yang hendak tabrakan. Tapi semua bisa dihindari dengan klakson dan senyum yang dipaksakan. Aku menunggumu. Menatap langit sore. Menatap pohon tua di seberang jalan. Menatap penjual sedang menyiapkan makan untuk pelanggannya yang kelaparan. Menatap bayangan pertemuan kita; saat kamu akan memelukku, melingkarkan tanganmu pada pingganggku, mencium kening dan pipiku, dan membisikan ayat-ayat rindu dari bibir tipismu yang manis.

Air belum sepenuhnya menyapu tenggorokanku saat kamu tiba-tiba datang dan berteriak dan menyebut namaku dan lalu duduk di sampingku. Bayangan yang sedari kutatap ternyata keliru. Bayangan yang kupikir tadinya begitu indah dan romantis ternyata tak ada artinya di hadapanmu. Sungguh kamu, jauh lebih indah melebihi segala bayanganku. Kamu teramat cantik sore itu. Pakaian yang kamu kenakan, senyum yang kamu pahatkan, dan rindu yang kamu tebarkan. Segalanya dalam dirimu tampak serasi dan tampak indah dan tampak bercahaya. Entah aku yang rabun dekat atau memang matamu berkilauan suka cita.

Kamu gemetar, meremas tanganku, menggenggam tanganku kemudian. Kupikir hanya aku yang tak percaya dan masih menganggap pertemuan itu hanya mimpi. Tapi ternyata kamu pun merasakannya sama. Kamu berkata teramat merindukanku. Suaramu jauh lebih merdu dari segala puisi atau nyanyian tentang rindu. Aku membalasnya. Mengelus punggungmu yang gemetar. Mengusap pingganggmu yang canggung. Mengecup hatimu yang basah. “Perjalanan barulah dimulai. Mari tapaki kerinduan ini bersama, Kekasih.”


KITA BERJALAN BERSAMA. Menyusuri ruang-ruang tawa. Mensyukuri riang-riang temu. Menggumamkan raung-raung rindu.

Waktu yang kita tapaki seolah merekah. Tanah mekar jadi sepucuk senyum di wajahmu. Udara hangat jadi debar di dalam dadamu. Aku bisa merasakannya. Walau aku lelaki biasa. Seorang lelaki biasa yang pernah sekarat oleh mimpi-mimpi. Namun aku selamat karenamu. Aku kembali terlahir dan hidup dan bahagia dan tertawa dan bersuka cita karena kamu.

Sambil berjalan tentu saja kita membicarakan banyak hal. Dunia tak hanya berisi rindu, tentu saja. Ada orang kelaparan di banyak tempat. Ada orang sulit dapat air bersih. Ada orang yang rumahnya digusur. Ada orang yang mengisap lem sepatu di kolong jembatan. Ada ustad yang memperkosa santri-santri perempuannya. Banyak hal terjadi di dunia keparat ini. Tentu kita tak boleh hanya berbincang soal rindu yang tak tahu jalan buntu.

Kita membicarakan berbagai hal dengan asyik. Sampai-sampai aku curiga di atas sana Jibril sedang menguping. Kalau Hanuman, barang tentu tak perlu ditanyakan lagi. Cinta tumbuh sehat saat dunia tak hanya berisi kita berdua. Karena kalau haus mesti kita mampir ke teteh penjual es buah di pojok pertigaan di depan sana. Karena kalau lapar mesti kita mampir ke warung nasi di seberang jalan setelah lampu merah di samping trotoar. Karena kalau kehujanan mesti kita berteduh di saung-saung di pinggiran jalan yang mengepung taman kota. Dan benar saja, hujan turun menjemput sore.

Aku dan kamu berlari kegirangan. Menyapa hujan dengan hangat. Memberi ruang. Tertawa riang. Meraung sekencang-kencangnya. Aku dan kamu berlari, berlari, berlari, berlari, dan terus berlari. Menyusuri setiap lekuk taman kota. Mensyukuri setiap bentuk kebahagiaan yang didapat. Tubuhku basah dan begitu pula tubuhmu. Aku tampak seperti gembel tapi kamu malah tampak seperti Dewi Kwan-Im. Cantik, bersinar, berkilauan welas asih.

Di hadapan kita di seberang jalan tampak sebuah saung belum sepenuhnya jadi. Kita melangkah ke sana. Biar kepala tak pusing kena hujan di awal musim, bagaimanapun kita kudu berteduh barang sebentar. Bayangan yang kupikir keliru saat sedang menunggu di warung malah jadi nyata di saung ini. Kita saling menggenggam. Saling menggamit. Saling bersandar. Memandangi butir-butir hujan.

Hingga kemudian di butir hujan yang kira-kira keseratus juta lima puluh tiga, kamu mencium pipiku dan aku balas mencium keningmu. Kamu melingkarkan tanganmu ke tubuhku seolah ular sanca, memelukku erat sekali. Aku balas mencium keningmu. Kamu mengucapkan kata-kata cinta dan rindu. Aku balas mencium keningmu. Kamu bilang sore itu tak boleh berakhir. Aku balas mencium keningmu. Apa pun yang kamu lakukan atau katakan, aku akan membalasnya dengan mencium keningmu.

Kalau Jibril tak mengirim seorang lelaki tua ke saung, barangkali sore itu memang tak akan pernah berakhir. Memang benar-benar aneh. Cinta menggelora justru ketika waktu sedang sempit-sempitnya. Sore berakhir. Hujan tetap. Jibril tertawa karena berhasil mengerjaiku. Hanuman merapal mantra penakluk sepi.

Kekasih, walau Jibril tertawa dan berpikir telah berhasil mengerjaiku, tetap saja dia kalah dariku. Dipikir dia menang, dan berhasil mengakhiri sore kita. Padahal kalau dia mau rada menggunakan perasaannya, dia akan tahu kalau aku yang menang. Dia akan tahu kalau kita adalah pemenangnya. Sebab, di benak dan di hati kita, sore itu tak pernah benar-benar berakhir. Sore itu abadi sebagaimana usia doa-doa yang sedang menapaki jalan menuju Tuhannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...